Sunday, April 30, 2006

Obituari untuk Pak Pramudya

Persis tak lama setelah pemakaman Minggu di Karet, pukul 15.00, 30 April 2006, mendung berat makin tambah ratusan ton lagi di langit gelap. Karena tak tahan menyangga maka kantongnya pecah. Lalu luber tumpah setumpah-tumpahnya. Sebagian tanah bumi lokasi istirahmu terakhir mulai basah. Air pun genang. Akulah itu asal guyuran hujan. Merembes bes-bes-bes-bes. Ke sela-sela gundukan puluhan karangan bunga sungkawa. Aku teruskan menyusup, ketuk papan yang baru ditimbuni tanah. Tak ragu aku lalu menyalam tubuhmu yang terkafan. Aku tak ragukan kau idola abad iyang baru lalu dan abad kini. Bertahun-tahun langkahmu kuikuti. Kutekuni ketegaran pisik dan spiritmu. Kau lebih dari cyborg. Tak tedas dipanggang api atau matahari. Tak gatal tak gores secuil pun walau di rerimbunan duri. Hidungmu tak sesak, tak alergi, walau mencium banyak bau bacin anyir dari bangkai macam-macam. Banyak lagi pahitmu tapi kau tetap kokoh, sehat saat pulang. Kini kau pulang ke tempat ini, Karet, di tengah gegarnya metropolitan. Jangan risau dan gerah lagi di sini. Sengaja dingin airku kuteroboskan, kupenetrasikan ke pori kulitmu. Ke otot, daging dan tulang-tulangmu yang tak berdarah lagi. Aku berkali-kali sedih dengar tragedi-tragedi yang telah kautulis dalam memoar-memoarmu wujud cerpen, novel dll-nya. Sebenarnya masih banyak lagi yang tak lepas-lepas dari pikiranmu sayang tak kesampaian lantaran waktu juga yang memutus. Barangkali kalau di sini ada mesintiktua kau pasti gairah mengetik tak-tik-tak-tik lagi seperti dulu sejak kau masih remaja. Baiknya kau istirah saja yang damai, janan ngetik-ngetik lagi. Para generasi kin lah yang wajib meneruskan semangatmu. Cara merokokmu itu yang mengesankanku waktu dulu aku mampir ke rumahmu di belakang LIA itu. Rokok kretek yang kauisap tak lepas-lepas. Asapnya mengepul. Ah! (Rahmat Ali, 1 Mei 2006).

Thursday, April 27, 2006

PESTA RAHMAT ALI

AKSARA Edisi 6 Tahun 2006, Pernik

Pesta Karya Rahmat Ali

Mula-mula t-shirt, lalu lamakelamaan juga celana panjangnya dilepas. Wah, lelaki sastrawan itu melepas pakaiannya! Apa-apaan ini? Sebuah pornoaksikah? Tunggu dulu, Anda jangan mengira adegan ini sebagai pornoaksi. Sebab di balik pakaian yang dilepas tadi ada pakaian lain yang melekat di tubuhnya. Pakaian renang! Ah, ada-ada saja penampilan sang sastrawan senior ini. Dialah Rahmat Ali, yang telah berkarya sejak 1958 dan menghasilkan berbagai penghargaan sastra. Kumpulan cerpen dan puisi Bi Gayah Sambalnya Mmmm...m adalah salah satu buku karyanya.

Sebelumnya ia memang mengatakan akan membuat kejutan dalam sosialisasi karyanya kali ini di Wapress, Senin, 27 Maret 2006. Rupanya inilah kejutan yang dimaksudkan. la mendramatisasikan cerpennya secara solo dengan mengusung properti lengkap. Sebentar kemudian dia mengganti topi baret khasnya dengan kacamata dan selang pernapasan untuk menyelam. Beberapa saat setelah itu la memakai wig, lalu kembali melafalkan cerpennya, kemudian mencopot wig dan menggantinya dengan peci. Demikianlah aksi seru Rahmat Ali malam itu.

Selain sang penulis, acara ini juga diisi oleh penampilan beberapa seniman yang tampil solo atau dengan tim. Semua pengisi acara membawakan karya Rahmat All dari buku yang sedang disosialisasikan itu.

Yonathan Rahardjo yang mewakili Penerbit Majas, sekaligus yang membuka acara, secara tak sengaja menarik gulungan kertas berisi namanya sendiri untuk tampil pertama ke atas pentas. Acara kali ini memang mengadopsi konsep undian, yakni dengan mengambil secara acak gulungan kertas berisi nama para pengisi acara. Seperti biasa, Yo membawakan Syairupa. Dia mencoretkan kuas ke atas kanvas sambil melafalkan Sajak Nglangut. Jadilah lukisan sosok lelaki bertopi baret di antara goresan beragam warna pada kanvasnya. Tak diragukan Iagi, la melukis Rahmat Ali, sang empunya pesta.

Teaterawan, A. Badri AQ. T. melafalkan sekaligus mendramatisasikan cerpen Sol demi Sol yang mengisahkan tentang sepasang sepatu tua. Sihar Ramses Simatupang tampil solo dengan gitar dan sejumlah perangkat untuk efek suara.

Irmansyah, penyair asal Sumatra Barat, membawakan puisi yang didahului oleh syair-syair dari Minang. Lain Irmansyah, lain SAM August Himmawan. la membawakan mantra dalam bahasa Jawa lengkap dengan properti hio yang diperlakukan layaknya kemenyan. Mantra itu untuk membuka kolaborasi dramatisasi sekaligus musikalisasi cerpen dengan Henny Purnama Sari dan Benmales. Mereka membawakan Moko yang Terpanah. "Seperti sandiwara radio," komentar seorang seniman.

Sementara itu, Rara Gendis, Retno, dan Miranda Putri tampil masing-masing membawakan cerpen dan puisi. Teaterawan Anas membacakan puisi bersama Debby, seorang model. Acara ditutup dengan foto bersama dengan sang penulis, RahmatAli. (Terima kasih untuk Yoyik Lembayung, Anto Baret, dan seluruh tim Wapress atas kerja samanya). []

Tuesday, April 25, 2006

Sekilas Istirah Matahari

SEKILAS
ISTIRAH
MATAHARI

/Rahmat Ali

1.
Hujan lebat, sunyi tak ada yang tahu. Saat itu lelaki digeret masuk kamar. Oleh perempuan yang telah lama takgandrung kekasih.

2.
Sama juga ulah senja gairah yang menjelma malam. Dengan nafsu memuncak matahari ditarik ke kegelapannya. Malam mendekap lumat-lumat. Entah apa yang berlangsung setelah itu kecuali derum dari dalam jiwa berdua.

3.
Bintang-gemintang tahudiri hanya memandang. Lalu tidak keberatan diminta ikut mijit kaki-kaki matahari yang penat. Burunghantu memaklumi, sukarelalah berdendang ditingkah nafiri bambu-bambu pegunungan. Cicak-cicak berdecak, iri barangkali. Desah yang gandrung walau dalam frekuensi lemah terdengar juga ke mana-mana.

4.
Beberapa saat kemudian matahari puas. Lelap tengkurap dan malam telentang. Ngorok keras sampai ke galaksi sebelah membisingi. Mata mereka kuat memejam seperti dilem. Bahagia telah renggut hasrat lampias.

5.
Matahari tak sadar-sadar. Tidur di atas onggok daging, antara daster dan kutang malam. Toh sebelum esok walau tetap lelap pejam dikejut juga untuk bangun. "Ayo cepat!"—desak malam yang terlambat kenakan tutup tubuh. "Kamu harus tugas lagi menyorot seluruh alam!"

Jakarta 20 April 2006

Sajak


DI SUKUH
DI CETHO
/Rahmat Ali

Matahari siang itu kedinginan sekali di puncak lumut piramid Sukuh dan Cetho. Kaki-kaki bengkak tak berenergi merambat sejengkal-sejengkal ke posisi lebih tinggi. Terengah mau pingsan dia. Halimun tertawa. Mengejek matahari kehabisan tenaga. Membuat batu-batu candi makin ngantuk. Tidur berabad-abad. Yang kelonan makin lengket terpahat. Janin-janin diperut tumbuh namun nyenyak. Membuat manusiakini terperanjat saksikan kearifan leluhur mencatatkan ajaran kehidupan dengan simbol-simbol wujud tugu-tugu batu dan sangkakala-sangkakala.
Solo 14 April 2006.

Monday, April 24, 2006

Empat sajak bahasa Perancis

Kawan-kawan yang budiman,
Bersama ini saya tampilkan sajak-sajak bhs Perancis dari dokumen lama sebagai kenang-kenangan waktu di CCF Jakarta. Saya persilahkan mengikuti:


CHER JANTUK
/Rahmat Ali
Dix ans après notre mariage
Jantuk est venu
Et nous l'aimons comme notre fils
Ça me fait être appelé Père Jantuk
Et ma femme Mère Jantuk
Quand la lune est cachée derrière les nuages
Mère Jantuk chante doucement devant son fils :
Dors, cher Jantuk
Il est déjà minuit
Je crois que tu es déjà très fatigué
Tu travailles toute la journée
Maintenant ferme tes grands yeux
Dors dans mes mains
Pour ta vie demain
Je lui reponds :
Pourquoi rêves-tu, Mère Jantuk
Combien de fois t'ai-je prévenue ?
Jantuk ne pourra te parler
Les mots ne sortiront jamais de sa bouche
Son corps est chaud
Mais le sang ne coule pas dedans
Il vit
Mais il est aussi mort

Jantuk est mon vrai fils, Père Jantuk
Je suis contente de lui
Il me garde nuit et jour
C'est pourquoi son visage est toujours mouillé
Plein de larmes
Qui tombent de mes yeux
Larmes de mes yeux
Larmes de mon coeur
Combien de fois t'ai- je prévenue
C'est nous-mêmes qui l'avons fabriqué
En bois
En coton
En joie
En passion
Mais
Jantuk ne dormira jamais
Ses beaux yeux sont toujours ouverts
Pas de sommeil nuit et jour
Pas de tristesse ni dans l'obscurité ni dans la lumière
Il joue avec la lune
Avec le soleil
Mais Jantuk est vraiment notre fils, chèrie
Ne sois pas triste
Ne sanglote pas
Il est vraiment notre fils.
Jkt8643R




LA BELLE CHANTEUSE DE ROCK
/Rahmat Ali
Sous la lumière de la scène
Suzy la chanteuse de rock
Avec ses longs cheveux mal coiffés
Devant cinq guitaristes qui toujours l'adorent
Continue à chanter
Une de ses histoires
Sur sa vie amoureuse
Où elle habite dans une ville avec son bébé né sans père.
Elle répète ses chansons
Sur son amant qui l'a oubliée
Celui qui est déjà parti
Et son bébé toujours le pleure
Jour et nuit
Pas de nouvelles
Toujours pas de lettre aujourd'hui
Seulement l'écho de la guitare dans la solitude
Dans les ténèbrês où elle entend
De temps en temps
Sous la lumière de la scène
Suzy la chanteuse de rock
Plonge son âme dans les applaudissements
Éclairée par les projecteurs
Sans voir tous ses yeux qui le regarde
C'est vrai, elle est très contente
Mais son coeur reste plein de larmes.
Jkt8642R

LES JEUNES MONTAGNARDES
/Rahmat Ali
Quand il y a beaucoup de brouillard sur la terre
Les jeunes montagnardes,
Quelques heures avant l'aube
En portant des corbeilles pleines de fleurs sur leurs têtes
Et avec des torches dans les mains
Commencent a quitter leur petit village
Traversent les terrains de riz et les ponts de bambou
Descendent les collines

Puis elles continuent à marcher plus vite vers une ville
Où les gens au marché des fleurs les accuillent :
"Chères montagnardes, que portez-vous ?
Qu'y a-t-il d'autre que des fleurs ?
Plusieurs jeunes hommes parmi nous sont célibataires
Nous avons envie de vous choisir
Pour être nos femmes
Il vaut mieux ainsi
Devenir de nouvelles citoyennes avec nous
Ne montez plus à la montagne
Ne descendez plus les collines !"

Les jeunes montagnardes ont déjà choisi
Les hommes de la montagne pour elles-mêmes
Quand il y a encore du brouillard sur la terre,
Comme d'habitude quelques heures avant l'aube
En portant des corbeilles pleines de fleurs sur leurs têtes
Elles quittent leurs maris
Quittent leur petit village
Descendent les collines plus vite vers cette ville
Puis, après avoir vendu toutes leurs fleurs
Elles rentrent aussitôt
Vers la montagne où le soir les attend.

Jkt8643R

BONJOUR
/Rahmat Ali

Bonjour
Dit mon coeur
À l'amour
Qui est parti de toi
Et arrive chez moi
Puis sonne à la la porte
Pas à pas y entre assurément
Tu le suis très lantement
En souriant
Après ça
Pourquoi avons-nous besoin d'être souvent ensemble
Dans la bibliotèque, le cinéma ou la mer
Pourquoi l'un de nous pense-t-il souvent être seule
Puis prend le téléphone et parle longtemps
N'importe où, n'importe quand
Sur n'importe quoi
Tu me manques, chérie
À demain
Bonjour
Dit mon coeur
À toi
Qui est déjà devant moi
Ça va
Ça va bien, merci
Elle sourit
Je l'embrasse, heureux
On va directement au spèctacle
Pourquoi pas ?
jkt8643R

(Pertama-tama disiarkan di dalam buletin "Le Coq" CCF Jakarta yang mana sajak Cher Jantuk mendapat hadiah pertama berupa bukuensiklopedi bhasa Perancis tahun 1986. Keempat saja ini lalu dimasukkan dalam kumpulan cerpen/puisi "Bi Gayah sambalnya mmmm..m" oleh penerbit Majas, Jakarta tahun 2005).

CANDI SUKUH & CETHO III



CANDI SUKUH & CETHO III
(Visuali sastra pada batu)
Pada umumnya banyak orang apriori mencap Sukuh sebagai candi porno karena yang paling menonjol adalah relief adegan persebadanan begitu terang-terangannya. Padahal itu sebenarnya sebagai ajaran bahwa itulah asal kejadian. Setelah muncul ke dunia perlulah ditauladani dengan fakta-fakta kehidupan melalui karya-karya sastra visual berbentuk relief dan patung-patung. Antara lain kisah "Sudamala", tentang seorang ibu yang kerasukan roh jahat hingga dia (Kunti) benci ke anak sendiri, Sadewa, padahal sebelumnya sangat dicintai. Anaknya setelah itu diseret ke kerajaan maut, gandamayit. Kiranya akhir kisah perlu diuraikan tersendiri.
Patung manusia bersayap (sayang tak berkepala lagi karena telah dicuri) mewakili kisah Sang Garuda. Dengan segala akal dan tenaganya dia ingin menyelamatkan bunda dari ancaman perbudakan seumur hidup. Kisah lain yang tidak kalah serunya adalah Samodramantana (Mengaduk-aduk Samodra). Di situ dikisahkan para dewa bersusahpayah mencari tirta amerta, yaitu air yang sakti, yang meminumnya bisa hidup abadi tidak mati-mati. Banyak lagi kisah-kisah lain dengan tokoh-tokoh lain pula yang direliefkan atau dipatungkan, misalnya Bima yang mencari jatidiri, dewa sebagai kura-kura, gajah, naga, kuda, peran gunung sebagai alat pengaduk samodra dll-nya. Candi Sukuh baru sebagian kecil yang diteliti, karena masih begitu banyak prasasti yang belum terbaca. Begitu juga dengan yang ada di candi Cetho. Oleh karena itu masih banyak yang misteri dan belum terungkapkan secara total. Saya perlu juga menyampaikan ucapan terimakasih kepada Endah dan tunangannya, juga termasuk ayahandanya di Palur, yang tanpa bantuan transpor sepedamotornya maka tidak mungkin terwujud laporan ini.

CANDI SUKUH & CETHO II

CANDI SUKUH & CETHO II

Kedua candi di kaki gunung Lawu yang tersebut bisa ditempuh dari Solo jarak sejauh 42 km (jika ke Sukuh) atau 46 km (jika ke Cetho). Kota-kota yang dilewati berturut-turut adalah Palur, Karanganyar dan Karangpandan. Di sini berbelok ke kiri (kalau ke kanan arah Tawangmangu). Candi Sukuh di desa Berjo, kecamatan Ngargoyoso, kabupaten Karanganyar, ketinggian 910 m di atas permukaan laut, pada posisi 07° 37,38' 85'' LS dan 111° 07,52' 65'' BB.
"Sukuh" menurut kamus Prof. PJ. Zoetmulder di dalam Old Javanese-English Dictionary II adalah "suku", foot, kaki, juga berarti kaki gunung. Bisa juga suku=anuku, sumuku, sinuku. Panuku=to go to war, go on military expedition, wage war on. Manukuh=perang, menyerang. Yang definitip "sukuh"=kaki gunung. Jadi jelaslah Sukuh adalah candi yang dibangun di kaki/lereng gunung Lawu yang menghadap ke barat berteras-teras meningkat, berakhir pada bangunan "piramid terpancung". Di balik patung garuda tertulis dalam aksara Jawa Kuno prasasti : "Lawase rajeg wesi duk Pinerep kepereg dening wong medang Ki Hembu Rama karubuh alabuh geni, harebut bumi. Kacaritane babajang mara mari."
Di teras pertama tertera relief raksasa makan manusia yang tidak lain candrasengkala 1° "buto aban wong" atau tahun 1359 Saka alias 1437 M. 2° "buto anuhut buntut" atau tahun 1359 Saka alias 1437 M juga. Di teras kedua yang berpatung dua penjaga raksasa, di situ terdapat lagi candrasengkala yang berbunyi "gajah wiku anuhut buntut" atau tahun 1378 Saka atau 1456 M. Pada lantai gerbang pertamanya tertera relief "perjumpaan phalus vaginus" itu menurut warga setempat mula-mula ditemukan oleh mBah Madyokromo yang waktu itu kaget karena melihat tanah yang numpuk-numpuk. Lalu dilaporkan ke lurah, terus ke atas hingga sampai kepada residen Surakarta pada tahun 1815, Johnson. Tahun 1842 Van der Vlis mulai meneliti. Lalu dari tahun 1864-1867 Hoepermans menulis tentang candi Sukuh. Tahun 1910 Knebel menginventarisasi dan tahun 1917 barulah ditangani oleh Dinas Purbakala. Pemugarannya pada tahun 1928.
Candi Cetho lebih tinggi lagi dari candi Sukuh berada di desa Gumeng, Jenawi, Karanganyar pada posisi 111° 09' 14'' BT dan 07° 35' 48'' LS. "Cetho" di dalam kamus PJ Zoet ditulis cệta=menebak benar. Cệtta=jelas, ahli, mengetahui hal-hal yang rahasia (=tahu). Barangkali yang dimaksud dengan candi Cetho adalah kearifan yang diperlambangkan namun akan terungkap jika dipelajari dan diteliti.
Pertama yang menangani adalah Van der Vlis tahun 1842. Tahun 1928 Dinas Purba meneliti. Lalu melibatkankan pakar-pakar sejarah/arkeologi Stutterheim, KC Crucg, NJ Krom, AJ Bernet Kempers dan Riboet Darmoseputro. Komplek percandiannya tersusun berteras-teras (berundak). Di halaman pertamanya setelah mendaki undakan terdapat relief besar yang tidak lain wujud phalus besar. Ke atas lagi ada rumah-rumah terbuka berubin batu beratap sirap kuno yang walau sudah ratusan tahun masih utuh asli. Sama juga dengan atap ijuk, tetap utuh tidak aus kena hujan panas. Didirikan pada tahun 1373 Saka atau 1451 M. Pada undakan berikutnya terdapat patung phalus di dalam rumah, di sebelahnya rumah juga berpatung seorang pedanda (atau arsitek candi itu sendiri?--RA).
Melihat model kompleknya secara keseluruhan, sepintas mengingatkan saya pada komplek pura Besakih di Bali. Jika dibanding Sukuh, Cetho lebih "jalu", kemaskulinan atau phalus. Boleh dikata Cetho artinya "jelas" dominant sebagai candi Bapak, sedangkan Sukuh candi Ibu. Terpampangnya relief besar yang menggambarkan "kluwung" alias dua ekor panjang melengkung ke bawah yang masing-masingnya kepala ular dan di dalamnya insan-insan kecil berkostum wayang-- itu semua ada di dalam guagarba Ibunda, vaginus. Di candi Cetho, kedudukan Bapak pada posisi primer, di lantai halaman terbentang relief phalus raksasa, sekilas seperti anakpanah. Sebagai Bapak tentu dihimbau lebih berperan di dalam bertanggungjawab, baik kepada keluarga, masyarakat dan juga tidak lupa beribadah, artinya selalu berkomunikasi dengan Yang Maha Pencipta. Di Cetho diwujudkan dengan rumah-rumah kecil/pondok untuk beribadah, yang bersusun-susun sampai teras paling atas.

Wednesday, April 19, 2006

Laporan ke candi Sukuh dan Cetho I


Kawan-kawan,
Sehabis melaksanakan tugas penitia menikahkan Ricoh, keponakan lelaki asal Kijang, Kep. Riau, dengan tunangannya Elly, asal Lebaksiu, Tegal, saya sendirian melanjutkan perjalanan bis ke Surabaya, Malang (nyekar di makam para orangtua) kemudian Solo, tepatnya lokasi candi Sukuh dan Cetho, lebihkurang 2 jam perjalanan sepedamotor ke kaki gunung Lawu. Ketinggian kedua candi yang "berdampingan" (masing-masing antara 5 km) tersebut sampai 80 derajat. Dekat candi kira-kira 20 m saya terpaksa turun dari boncengan karena sepedamotor tidak lagi punya energi lagi. Menanjaknya minta ampun. Selangkah demi selangkah begitu beratnya dengkul. Baik candi Sukuh dan Cetho punya tema hampir sama, mempuisikan berkonsepsi secara badaniah dalam bentuk arsitektur dan relief purba. Sukuh berteras-teras, di akhir berbentuk piramid. Pada gerbang terdepan dilindung atap lengkung terelief alat-alat konsepsi berwujud phalus dan yoni, sebagai pembuka kehidupan generasi pelanjut. Lalu simbol-simbol diarcakan dan direliefkan, sampai kepada "kluwung" alias "pelangi kehidupan" yang berisi hasil-hasil konsepsi, namun seperti sudah diramalkan begitu nantinya jika dewasa. Sesuai zamannya yang era Hindu maka tokoh-tokoh sastra masa Hindu-lah yang dimunculkan, berdasar cerita Sudamala. Pada candi Cetho walau tetap mengutamakan phalus sebagai penabur benih konsepsi, teras-teras yang makin menanjak lebih memberat kepada hal-hal kedewaan/ Ilahiyah, hingga ke altar puncak. Teras tertinggi ini hanya wujud altar kubus, tidak piramid seperti di Sukuh. Kedua candi, Sukuh dan Cetho dibuat pada zaman Mojopahit (abad ke 15 akhir).

Tuesday, April 04, 2006

Kliping kr Tempo


Melanglang Buana Bersama Rahmat Ali

JAKARTA --Selarik mantra dilantunkan bersama ruapan dupa di atas panggung. Ini adalah sebuah ritual khusus seperti dilakukan para tetua di desa adat yang hendak memulai upacara penting. Upacara ini men­jadi bagian dari perayaan sastra karya penulis Rahmat Ali. Perayaan itu berupa pembacaan sajak semba­ri melukis hingga fragmen adegan di kamar mandi, lengkap dengan baju mandi serta sepasang kaki katak.
Pekan lalu, di Warung Apresiasi Bulungan, Jakarta, beberapa karya puisi dan cerita pendek milik pensi­unan Marinir Angkatan Laut itu meluncur dalam berbagai pemak­naan. Salah satunya adalah pemba­caan cerita pendek bertajuk Moko yang Terpanah. Selain asap dupa dan mantra, pembacaan yang dila­kukan Sam dan Hen,y ini juga di­perkuat oleh iringan musik dari band Lemes. Beberapa bagian kali­mat pun dinyanyikan menjadi se­Uuah tembang merdu.
Rahmat Ali merupakan salah se­orang penulis produktif. Ia telah menulis sejak 48 tahun lalu saat masih duduk di bangku sekolah menengah di Malang, Jawa Timur. Sajak-sajaknya pada 1959 pernah mcndapat predikat terbaik di koranan Trompet Masjarakat asuhan Supri­jadi Tomoxliharjo, yang saat ini ber­mukim di Kolm, Jerman.
Ratusan bahkan ribuan karya­-karyanya telah menghiasi berbagai majalah sastra, seperti Horison. Be­lum lagi beberapa novel yang telah diluncurkan, seperti Sang Gubernur Jenderal, Nyai Dasima, hingga Na­rapidana Luar Galaksi.
Pun Pak Ali – begitu beliau disa­pa – tak hanya berkreasi dalam ba­hasa ibunya, Indonesia. Pengalaman bertahun-tahun menjelajahi negeri orang membuatnya cukup mahir berbahasa Prancis. Lihatlah, misal­nya, beberapa judul sajak bertajuk Cher Jantuk (Jantuk), Les jeunes montagnardes (Cah ayu dari Gu­nung), ataupun La chanteuse de Rock (Biduanita Rock).
Membaca karya A1i, bagi penyair Yonathan Rahardjo, seperti melihat potret jeli kehidupan manusia seha­ri-hari. Bagi Yonathan, yang juga menerbitkan kumpulan puisi-cer­pen Ali terbaru bertajuk Bi Gayah Sambalnya Mmm.., "Membaca kar­,ya Ali berarti membuka mata dan hati pembaca untuk mengerti dan menyelami apa yang terjadi pada hampir setiap profesi manusia."
Dalam karya-karya di bukit ter­baru ini, Ali membidik banyak so­sok, terutama orang kecil yang mungkin luput dari perhatian ma­syarakat. Misalnya tukang cukur dalam cerpen Sebuah Gambar di Ruangan Tukang Cukur, pembantu rumah tangga dalam Bi Gayah Sambalnya Mmm.., hingga kopral tentara dalam Narto. Kendati ditu­lis dengan ringan dan jenaka, tak berarti karya itu mengecilkan arti mereka. Ia justru meneguhkan ke­beradaan masyarakat marginal ini dalam konstelasi sosial yang lebih luas.
Sang Marinir yang lembut itu pun tak lupa memasukkan idiom-­idiom keseharian dalam karyanya. Istilah mendokdok, misalnya, mun­cul clalam cerpen Jangan Ganggu dan Byar-byur-byar-byur terlihat dalam Kopi O, Kopi Goni, Teh Obeng, Mi Lendir, dan Truck Dino­sauraus. Tak seperti menulis masa ki­ni yang begitu sibuk berkutat da­lam struktur tata bahasa, penulis kelahiran 29 Juni 1939 ini berkarya tanpa pretensi apa pun, lincah dan lancar, serta lugas apa adanya. SITA PLANASARI

(Keterangan tambahan dari Rahmat Ali: Trim atas atensi dan pemuatan kegiatan saya. Hanya saja izinkan kalau sedikit perlu saya koreksi. Bahwa tidaklah sampai ratusan bahkan ribuan karya telah saya buat. Sebenarnya masih di bawah seratus jika dirunut dari koran-koran dan majalah-majalah yang kini telah tidak terbit lagi. Sekali lagi, trim. RA).

Monday, April 03, 2006

CERPEN

(Kawan-kawan, aku ingin mendokumentasikan beberapa cerpen yang telah kucipta atau yang baru kucipta. Itu semua sebagai contoh perkembangan “karirku” di dalam berkarya. Aku senang memperoleh respon dari kawan-kawan demi kebaikanku. Inilah antara lain yang tersaji) :


BAYANG-BAYANG

Rahmat Ali

Semula aku naik oplet dari ujung gang. Dilanjutkan bis. Kemudian kereta Jabotabek. Setelah berderak-derak beberapa lama aku jadi tidak sadar apa-apa. Aku jadi tidak tahu waktu. Kayaknya tidak ada batas antara waktu kini atau yang akan datang. Tahu-tahu kurasakan sudah berada di kendaraan bulat berkaca bening. Betapa besarnya di dalam. Semua penumpang termuat. Anehnya aku. melihat istriku di situ. Bersama empat anakku. Ibuku hadir juga. Dia tampak rukun dengan kedua mertuaku. Sebelas orang iparku yang sudah berkeluarga nimbrung, seperti ikut meramaikan perjalanan.

Tidak ayal kalau kami sangat bergembira. Kami dengan seluruh penumpang seperti sedang mengelilingi pulau kecil yang belum pernah disentuh. Banyak pohonan. Tinggi, rindang, subur, dan serba hijau. Di tengah rerumputan yang halus menghampar taman. Dengan sekelompok mawar, gladiol, gerbra, anggrek berbagai jenis. Lalu di cabang-cabang burung balam, nuri, parkit, jalak, dan cenderawasih berceracah, bergantian memperdengarkan siul-siulannya yang merdu. Burung merak memekarkan ekornya yang lebar di belakang. Warna-warna yang kuat tersebut menjadi amat kontras dengan panorama latar belakangnya yang hijau. Masing-masing penumpang merasakan kesejukan, lebih-lebih ketika angin semilir meniup dari lembah di bawah sana. Sungguh perjalanan yang merupakan hadiah. Seketika terobat kebosanan-kebosanan rutin. Udara kotor dari dalam dada terpompa keluar. Terganti oleh yang segar dan penuh aroma.

Sayang beberapa detik kemudian terasa gejalanya mau berubah. Mawar dan bunga-bunga yang indah itu tampak gemulai ambles ke bumi. Tanah pasir seperti samudra melanda seluruhnya. Pohon-pohonan hijau terkubur. Unggas-unggas dengan nyanyiannya yang surgawi menjadi parau mendadak. Kesuburan dan kemewahan bukan hanya pudar tetapi juga sirna. Awan biru jadi kelabu. Di atas pasir yang bergerak itu berjatuhan burung-burung. Bulu-bulunya rontok. Gundul. Terkapar. Semua merubung. Menggerogoti daging dan kulitnya. Seketika habis tidak bersisa. Hanya tinggal tulang-tulangnya.

Atas kejadian kilat tersebut kami dan para penumpang lainnya pada membelalakkan mata. Tidak percaya tetapi nyata. Akhirnya kami menatap ke depan dengan tegang. Kendaraan tumpangan kami yang bulat tetapi tanpa roda itu seperti tetap bisa menggelinding dengan perkasa. Mula-mula hanya istriku yang mual. Lalu pusing. Kemudian anak-anakku mendapat kesulitan yang sama. Demikianpun kedua mertuaku, ibuku, dan ipar-iparku serta keluarga mereka. Akhirnya aku sendiri. Mualnya bukan kepalang: Demikian pusing kepala sehingga aku merasakan seperti digodam batu gunung Urat-urat di kepalaku terasa sakit yang senyeri-nyerinya. Laju kendaraan tidak terkendali lagi. Semula memang tidak begitu menakutkan, karena masih di atas jalanan yang rata. Tetapi setelah itu seperti dihempas-hempaskan ke jurang. Kendaraan menunjam membolak-balik, tegak, menunjam lagi. Tidak ada yang tidak muntah-muntah. Yang termuntahkan adalah darah dan nanah. Terdengar teriak yang melolong-lolong. Istriku memanggil-manggil namaku. Anak-anakku minta tolong padaku.

"Pegangi tanganku, Paak!" Teriak mereka berulang-ulang. Istriku ikut-ikut menjerit, lebih iba, kepadaku. Anak-anak dan istriku berjuang untuk memegang tanganku kuat-kuat. Menggenggami jari jariku lebih kuat.

"Tolooong...," lengking penumpang lainnya kepada anggota keluarganya yang paling dekat.

Teriakan hanya gema. Tidak punya pengaruh kepada yang sedang membutuhkan. Sama juga dengan tangan istri dan anak-anakku. Mereka terus menggenggam kuat-kuat. Tetapi kekuatan tersembunyi seperti begitu sengit memisahkan. Tanganku lepas dari tangan mereka. Secara sayup-sayup aku masih bisa mendengar teriakan mereka yang menyebut diriku sebagai bapak anak-anakku. Juga sebagai suami tercinta dari Mimi, istriku. Kami melayang-layang. Makin jauh.. Toh masing-masing dari kami masih terus menggapai-gapaikan tangan atau kaki. Sekenanya. Asal bisa mempengaruhi gerak. Agar bisa dekat kembali. Sayang tidak bisa. Sukar. Sisa-sisa kekuatan makin lumpuh. Luruh.

Mengapa pisah. Mengapa tidak sama-sama buat selamanya? Bukankah kami anakmu, Pak? Aku Mimi, Mas, istrimu. Tangkap aku. Sudah demikian dalam aku terjatuh. Tidak sampai-sampai juga ke dasar. Sampai kapan tubuh istrimu harus hancur, Mas?

Pak, Bapak! Kejar dan tangkap tanganku. Ngeri, Pak. Ngeri sekali.

Anehnya lidahku kelu. Hanya bibirku yang komat-kamit. Aku dengar seinua teriakan panik mereka. Tetapi aku tidak bisa berbuat apa-apa. Sedih sekali. Diriku seperti tertambat pada tiang besar. Aku mendengar kedua mertuaku bersesambat tidak beda pula dengan yang sudah-sudah. Bukankah kau menantuku, Li? Kami kan iparmu, Li, mengapa diam saja? Mengapa begitu tega tidak mengulurkan tangan, Li. Kamu mampu memanjangkan tanganmu sampai ke bawah jurang. Percayalah kepada kemampuanmu. Kok diam?

Bagaimana tidak diam kalau kedua tanganku tertambat pada tiang agung. Aku sudah digariskan untuk hancur bersama-sama kendaraan yang bulat tanpa roda ini. Tidakkah kaulihat muntah darahku bersama nanah-nanah dan koreng telah berubah jadi serangga gunung kapur. Tenggorokanku sudah digerogoti kepiting. Binatang bersupit runcing itu mencabut lidahku. Selama di kantor aku banyak berbohong. Aku tega menindas para pegawaiku. Kupotongi honor mereka. Kuperas tenaga mereka. Kupersulit kenaikan jenjang mereka. Lalu di hadapan atasan aku menonjolkan diri, bahwa seluruhnya adalah karyaku. Bahwa segalanya adalah ideku. Maka aku berhak dapat lebih banyak, lebih enak, lebih empuk. Lalu di rumah aku menutup pintu. Tidak kupedulikan para tetangga, mereka datang minta sumbangan. Dan segera kucaci maki. Aku jadi kaya sendiri paling mentereng sendiri.

"Pak, Bapak!" Kudengar lamat-lamat suara anakku yang terkecil. "Benarkah Bapak telah mengakui semuanya? Patutkah perbuatan Bapak selama ini dianggap merugikan orang?"

Kata-kata selanjutnya tidak kudengar. Walaupun demikian sudah cukup membuatku tersenyum dan meringis. Ya, masih banyak lagi yang lebih berat. Manipulasi pun punya tingkatan-tingkatannya, toh bapakmu sudah di dalam arus yang jelek. Yang merugikan orang lain. Ya, biarpun tidak termasuk kategori pernah memperkosa atau membunuh orang. Tidak memberontak atau merampok. Tidak kudeta atau menjual negara. Jelaslah bapakmu bukan orang yang polos. Paling sedikit Bapak sudah kemasukan pengaruhpengaruh negatifsebagai abdi negara, sebagai pegawai negeri.

Sampai di mana mereka tadi melayang-layang? Aku mengawasi dari atas kendaraanku yang aneh berlapis kaca seluruhnya ini. Tahu-tahu mereka melintas lagi di dekatku. Aku melihat perubahan dahsyat. Seperti juga pada tubuhku. Secara berangsur tanganku memucat. Urat-uratnya yang biru kentara sekali mencuat. Lama-lama makin putih. Darah berhenti bergerak. Lalu mengering. Wajah cekung. Mata loncat. Tinggal kelopak. Isi tenggorokanku juga sudah hancur oleh kepiting yang rakus. Oleh sengatan racunnya rambutku yang hitam berubah jadi coklat kemerah-merahan, lalu abu-abu. Begitu putih maka rambut anak-anakku juga ikut berwarna sama. Mereka ubanan semua. Mengapa diikutikutkan berubah jadi ubanan? Apakah artinya rriereka juga harus sama-sama dibebani siksa?

Mata anak-anak, juga istriku, sama-sama copot dari kelopaknya. Mata kedua mertuaku, mata ibuku, mata ipar-iparku serta seluruh keluarga mereka juga. Puluhan biji mata An terbang melesat ke satu jerangkong jerangkongan tanpa busana. Mereka membaur. Tidak bisa dibedakan lagi satu sama lain. Aku tidak bisa mengenali mana yang anak-anak mana pula yang istriku. Aku sepertinya man memelototkan mataku lagi. Aku memanggili mereka. Tidak dengar. Tenggorokanku sudah rusak digerogoti kepiting.

Tidak menghasilkan suara lagi. Gila! Tiba-tiba telingaku bekerja Iebih baik. Suara yang lantang itu tangkap dan aku tahu pula maknanya.

"Tidak ada lagi nama," menggema berulang. Apa maksudnya? Aku pasang lagi telingaku selagi bisa menangkap. "Kalian adalah kalian." Lalu menyusul lagi yang lain, "Kamu adalah kamu." "Lahir sendiri-sendiri, pulang juga sendiri-sendiri." "Aku adalah aku." "Tidak ada suami." "Tidak ada istri." "Tidak mertua tidak ipar." "Tidak ibu." "Sendiri-sendiri!" "Ya, kamu adalah kamu."

Begitu selesai pernyataan-pernyataan aneh ini mendadak tulang-tulang tanganku lepas dari badan. Demikian juga tulang-tulang kakiku lepas dari pinggul. Tengkorak kepalaku lepas dari leher. Dan leher sendiri copot dari persendiannya di antara dua bahu. Semuanya menyatu sesuai bagian masing-masing. Kepala. Paha. Tumit. Tangan. Dan banyak lagi bagian tubuh yang lain.

Aku tidak habis pikir. Siapa yang mengendalikan pemutusan-pemutusan ini? Tetapi biarpun bagian jerangkongku sudah terpisah-pisah anehnya tetap bisa merasa dan berpikir. Dan kendaraan bulat melaju itu tetap berkekuatan tinggi. Tengkorak dan bagian-bagian tubuhku yang lain dilanggar dan dilumatkan. Aku jadi debu. Aku jadi angin. Aku di Kutub Selatan. Di Kutub Utara kemudian ke pusar bumi. Masih juga kendaraan bulat itu mengejarku. Aku sudah terpepet. Luka paling nyeri dan senyeri-nyerinya sudah kurasakan. Toh aku mau diremukkan lagi. Aku sudah menyerah. Rela dijadikan apa saja. Lebih noda dari debu juga tidak bisa mengelak. Pasrah.

Aku sudah sepipih-pipihnya. Aku sudah sehancurhancurnya. Sudah dipojokkan ke ujung bumi yang sesepi-sepinya. Anehnya tiba-tiba tulang-belulang yang terpisah pada muncul entah - dari mana. Menggabung kembali. Berbentuk jerangkong. Lalu menyatu pula claging dan urat-urat nadi dan darah. Datang juga biji mata. Sempurnalah tubuhku. Dengan busana. Demikiaripun tubuh istri dan anak-anakku. Mereka menggapai-gapai. Secepat kilat tangan mereka kutangkap. Kami berpegangan tangan erat-erat.

"Pak! Pak!" teriak anak-anakku kegirangan. Mereka merangkulku. Aku rangkul mereka. Demikian menderitanya mereka selama dipisahkan. Itu tampak pada saat mereka menyatu kembali dalam pelukanku. Mereka ogah dipisahkan lagi jauh jauh. Sama halnya istriku. Di sini rupanya derita yang sudah diresapi dan di sini pula nilai suatu reuni. Anak-anak ceria. Senyum. Mata berbinar. Pipi kemerahmerahan, sehat!
Kedua mertuaku datang tak lama kemudian. Begitu hebat kerinduan telah terobati. Aku dan mereka bersalaman erat-erat. Tangan mereka kucium penuh hormat. Ibu datang. Aku bersimpuh penuh hormat. Ipar-iparku datang. Kami tertawa-tawa, makan dan minum bersama di satu meja.

Horison No. 3-4, Th. XVII, Maret-April 1982

(Kawan-kawan, aku ingin mendokumentasikan beberapa cerpen yang telah kucipta atau yang baru kucipta. Itu semua sebagai contoh perkembangan “karirku” di dalam berkarya. Aku senang memperoleh respon dari kawan-kawan demi kebaikanku. Inilah antara lain yang tersaji) :


BAYANG-BAYANG

Rahmat Ali

S
emula aku naik oplet dari ujung gang. Dilanjutkan bis. Kemudian kereta Jabotabek. Setelah berderak-derak beberapa lama aku jadi tidak sadar apa-apa. Aku jadi tidak tahu waktu. Kayaknya tidak ada batas antara waktu kini atau yang akan datang. Tahu-tahu kurasakan sudah berada di kendaraan bulat berkaca bening. Betapa besarnya di dalam. Semua penumpang termuat. Anehnya aku. melihat istriku di situ. Bersama empat anakku. Ibuku hadir juga. Dia tampak rukun dengan kedua mertuaku. Sebelas orang iparku yang sudah berkeluarga nimbrung, seperti ikut meramaikan perjalanan.

Tidak ayal kalau kami sangat bergembira. Kami dengan seluruh penumpang seperti sedang mengelilingi pulau kecil yang belum pernah disentuh. Banyak pohonan. Tinggi, rindang, subur, dan serba hijau. Di tengah rerumputan yang halus menghampar taman. Dengan sekelompok mawar, gladiol, gerbra, anggrek berbagai jenis. Lalu di cabang-cabang burung balam, nuri, parkit, jalak, dan cenderawasih berceracah, bergantian memperdengarkan siul-siulannya yang merdu. Burung merak memekarkan ekornya yang lebar di belakang. Warna-warna yang kuat tersebut menjadi amat kontras dengan panorama latar belakangnya yang hijau. Masing-masing penumpang merasakan kesejukan, lebih-lebih ketika angin semilir meniup dari lembah di bawah sana. Sungguh perjalanan yang merupakan hadiah. Seketika ter­obat kebosanan-kebosanan rutin. Udara kotor dari dalam dada terpompa keluar. Terganti oleh yang segar dan penuh aroma.

Sayang beberapa detik kemudian terasa gejalanya mau berubah. Mawar dan bunga-bunga yang indah itu tampak gemulai ambles ke bumi. Tanah pasir seperti samudra melanda seluruhnya. Pohon-pohonan hijau terkubur. Unggas­-unggas dengan nyanyiannya yang surgawi menjadi parau mendadak. Kesuburan dan kemewahan bukan hanya pudar tetapi juga sirna. Awan biru jadi kelabu. Di atas pasir yang bergerak itu berjatuhan burung-burung. Bulu-bulunya rontok. Gundul. Terkapar. Semua merubung. Menggerogoti daging dan kulitnya. Seketika habis tidak bersisa. Hanya tinggal tulang-tulangnya.

Atas kejadian kilat tersebut kami dan para penumpang lainnya pada membelalakkan mata. Tidak percaya tetapi nyata. Akhirnya kami menatap ke depan dengan tegang. Kendaraan tumpangan kami yang bulat tetapi tanpa roda itu seperti tetap bisa menggelinding dengan perkasa. Mula-mula hanya istriku yang mual. Lalu pusing. Kemudian anak-anakku mendapat kesulitan yang sama. Demikianpun kedua mertua­ku, ibuku, dan ipar-iparku serta keluarga mereka. Akhirnya aku sendiri. Mualnya bukan kepalang: Demikian pusing kepala sehingga aku merasakan seperti digodam batu gunung Urat-urat di kepalaku terasa sakit yang senyeri-nyerinya. Laju kendaraan tidak terkendali lagi. Semula memang tidak begitu menakutkan, karena masih di atas jalanan yang rata. Tetapi setelah itu seperti dihempas-hempaskan ke jurang. Kendaraan menunjam membolak-balik, tegak, menunjam lagi. Tidak ada yang tidak muntah-muntah. Yang termuntahkan adalah darah dan nanah. Terdengar teriak yang melolong-lolong. Istriku memanggil-manggil namaku. Anak-anakku minta tolong padaku.

"Pegangi tanganku, Paak!" Teriak mereka berulang-ulang. Istriku ikut-ikut menjerit, lebih iba, kepadaku. Anak-anak dan istriku berjuang untuk memegang tanganku kuat-kuat. Menggenggami jari jariku lebih kuat.

"Tolooong...," lengking penumpang lainnya kepada anggo­ta keluarganya yang paling dekat.

Teriakan hanya gema. Tidak punya pengaruh kepada yang sedang membutuhkan. Sama juga dengan tangan istri dan anak-anakku. Mereka terus menggenggam kuat-kuat. Tetapi kekuatan tersembunyi seperti begitu sengit memisahkan. Tanganku lepas dari tangan mereka. Secara sayup-sayup aku masih bisa mendengar teriakan mereka yang menyebut diriku sebagai bapak anak-anakku. Juga sebagai suami tercinta dari Mimi, istriku. Kami melayang-layang. Makin jauh.. Toh masing-masing dari kami masih terus menggapai-gapaikan tangan atau kaki. Sekenanya. Asal bisa mempengaruhi gerak. Agar bisa dekat kembali. Sayang tidak bisa. Sukar. Sisa-sisa kekuatan makin lumpuh. Luruh.

Mengapa pisah. Mengapa tidak sama-sama buat selama­nya? Bukankah kami anakmu, Pak? Aku Mimi, Mas, istrimu. Tangkap aku. Sudah demikian dalam aku terjatuh. Tidak sampai-sampai juga ke dasar. Sampai kapan tubuh istrimu harus hancur, Mas?

Pak, Bapak! Kejar dan tangkap tanganku. Ngeri, Pak. Ngeri sekali.

Anehnya lidahku kelu. Hanya bibirku yang komat-kamit. Aku dengar seinua teriakan panik mereka. Tetapi aku tidak bisa berbuat apa-apa. Sedih sekali. Diriku seperti tertambat pada tiang besar. Aku mendengar kedua mertuaku bersesam­bat tidak beda pula dengan yang sudah-sudah. Bukankah kau menantuku, Li? Kami kan iparmu, Li, mengapa diam saja? Mengapa begitu tega tidak mengulurkan tangan, Li. Kamu mampu memanjangkan tanganmu sampai ke bawah jurang. Percayalah kepada kemampuanmu. Kok diam?

Bagaimana tidak diam kalau kedua tanganku tertambat pada tiang agung. Aku sudah digariskan untuk hancur bersama-sama kendaraan yang bulat tanpa roda ini. Tidak­kah kaulihat muntah darahku bersama nanah-nanah dan koreng telah berubah jadi serangga gunung kapur. Tenggorok­anku sudah digerogoti kepiting. Binatang bersupit runcing itu mencabut lidahku. Selama di kantor aku banyak berbo­hong. Aku tega menindas para pegawaiku. Kupotongi honor mereka. Kuperas tenaga mereka. Kupersulit kenaikan jenjang mereka. Lalu di hadapan atasan aku menonjolkan diri, bahwa seluruhnya adalah karyaku. Bahwa segalanya adalah ideku. Maka aku berhak dapat lebih banyak, lebih enak, lebih empuk. Lalu di rumah aku menutup pintu. Tidak kupeduli­kan para tetangga, mereka datang minta sumbangan. Dan segera kucaci maki. Aku jadi kaya sendiri paling mentereng sendiri.

"Pak, Bapak!" Kudengar lamat-lamat suara anakku yang terkecil. "Benarkah Bapak telah mengakui semuanya? Patutkah perbuatan Bapak selama ini dianggap merugikan orang?"

Kata-kata selanjutnya tidak kudengar. Walaupun demikian sudah cukup membuatku tersenyum dan meringis. Ya, masih banyak lagi yang lebih berat. Manipulasi pun punya tingkatan-tingkatannya, toh bapakmu sudah di dalam arus yang jelek. Yang merugikan orang lain. Ya, biarpun tidak termasuk kategori pernah memperkosa atau membunuh orang. Tidak memberontak atau merampok. Tidak kudeta atau menjual negara. Jelaslah bapakmu bukan orang yang polos. Paling sedikit Bapak sudah kemasukan pengaruh­pengaruh negatifsebagai abdi negara, sebagai pegawai negeri.

Sampai di mana mereka tadi melayang-layang? Aku mengawasi dari atas kendaraanku yang aneh berlapis kaca seluruhnya ini. Tahu-tahu mereka melintas lagi di dekatku. Aku melihat perubahan dahsyat. Seperti juga pada tubuhku. Secara berangsur tanganku memucat. Urat-uratnya yang biru kentara sekali mencuat. Lama-lama makin putih. Darah berhenti bergerak. Lalu mengering. Wajah cekung. Mata loncat. Tinggal kelopak. Isi tenggorokanku juga sudah hancur oleh kepiting yang rakus. Oleh sengatan racunnya rambutku yang hitam berubah jadi coklat kemerah-merahan, lalu abu-abu. Begitu putih maka rambut anak-anakku juga ikut berwarna sama. Mereka ubanan semua. Mengapa diikut­ikutkan berubah jadi ubanan? Apakah artinya rriereka juga harus sama-sama dibebani siksa?

Mata anak-anak, juga istriku, sama-sama copot dari kelopaknya. Mata kedua mertuaku, mata ibuku, mata ipar-iparku serta seluruh keluarga mereka juga. Puluhan biji mata An terbang melesat ke satu jerangkong jerangkongan tanpa busana. Mereka membaur. Tidak bisa dibedakan lagi satu sama lain. Aku tidak bisa mengenali mana yang anak-anak mana pula yang istriku. Aku sepertinya man memelototkan mataku lagi. Aku memanggili mereka. Tidak dengar. Tenggorokanku sudah rusak digerogoti kepiting.

Tidak menghasilkan suara lagi. Gila! Tiba-tiba telingaku bekerja Iebih baik. Suara yang lantang itu tangkap dan aku tahu pula maknanya.

"Tidak ada lagi nama," menggema berulang. Apa maksudnya? Aku pasang lagi telingaku selagi bisa menangkap. "Kalian adalah kalian." Lalu menyusul lagi yang lain, "Kamu adalah kamu." "Lahir sendiri-sendiri, pulang juga sendiri-sendiri." "Aku adalah aku." "Tidak ada suami." "Tidak ada istri." "Tidak mertua tidak ipar." "Tidak ibu." "Sendiri-sendiri!" "Ya, kamu adalah kamu."

Begitu selesai pernyataan-pernyataan aneh ini mendadak tulang-tulang tanganku lepas dari badan. Demikian juga tulang-tulang kakiku lepas dari pinggul. Tengkorak kepalaku lepas dari leher. Dan leher sendiri copot dari persendiannya di antara dua bahu. Semuanya menyatu sesuai bagian masing-masing. Kepala. Paha. Tumit. Tangan. Dan banyak lagi bagian tubuh yang lain.

Aku tidak habis pikir. Siapa yang mengendalikan pemutusan-pemutusan ini? Tetapi biarpun bagian jerang­kongku sudah terpisah-pisah anehnya tetap bisa merasa dan berpikir. Dan kendaraan bulat melaju itu tetap berkekuatan tinggi. Tengkorak dan bagian-bagian tubuhku yang lain dilanggar dan dilumatkan. Aku jadi debu. Aku jadi angin. Aku di Kutub Selatan. Di Kutub Utara kemudian ke pusar bumi. Masih juga kendaraan bulat itu mengejarku. Aku sudah terpepet. Luka paling nyeri dan senyeri-nyerinya sudah kurasakan. Toh aku mau diremukkan lagi. Aku sudah menyerah. Rela dijadikan apa saja. Lebih noda dari debu juga tidak bisa mengelak. Pasrah.

Aku sudah sepipih-pipihnya. Aku sudah sehancur­hancurnya. Sudah dipojokkan ke ujung bumi yang sesepi­-sepinya. Anehnya tiba-tiba tulang-belulang yang terpisah pada muncul entah - dari mana. Menggabung kembali. Berbentuk jerangkong. Lalu menyatu pula claging dan urat-urat nadi dan darah. Datang juga biji mata. Sempurnalah tubuhku. Dengan busana. Demikiaripun tubuh istri dan anak-anakku. Mereka menggapai-gapai. Secepat kilat tangan mereka kutangkap. Kami berpegangan tangan erat-erat.

"Pak! Pak!" teriak anak-anakku kegirangan. Mereka merangkulku. Aku rangkul mereka. Demikian menderitanya mereka selama dipisahkan. Itu tampak pada saat mereka menyatu kembali dalam pelukanku. Mereka ogah dipisahkan lagi jauh jauh. Sama halnya istriku. Di sini rupanya derita yang sudah diresapi dan di sini pula nilai suatu reuni. Anak-anak ceria. Senyum. Mata berbinar. Pipi kemerah­merahan, sehat!
Kedua mertuaku datang tak lama kemudian. Begitu hebat kerinduan telah terobati. Aku dan mereka bersalaman erat-erat. Tangan mereka kucium penuh hormat. Ibu datang. Aku bersimpuh penuh hormat. Ipar-iparku datang. Kami tertawa-tawa, makan dan minum bersama di satu meja.

Horison No. 3-4, Th. XVII, Maret-April 1982

VERBELDING
Tekst : Rahmat Ali
Vertaling : Barry Muchtar, Harold Bergsma
Een subtiele manier om kritlek te leveren is de indirecte van beeldspraak en fantasie. Een nachchtmerrieachtige fantasie over de ontbinding van lichamen en het uiteenvallen van famileverbanden is het spookbeeld dan ieman achtervolgt die als ambtenaar misbruik heeft genmaakt van zijn positie ten koste van zijn ondergeschikten en zich voor zijn hulpbelhoevende naasten afsloot in zijn rijkdom.
Ferst stapte ik in ik een bustaxi aan het eind van de steeg. Daarma ging ik met een bus. Toen met de trein Jabotabek. Na een hevig gekraak dan enige tijd duurde, viel ik in zwijm. Ik wist niet eens meer hoe laat het was. Het leek alsof en geen grens was tussen nu en later. Opeens bevond ik me in een rond voertuig met helder glas. Wat groot was het daar binnen. Alle passagiers hadden er een plaats gevonden. Vreemd genoeg zag ik daar mijn vroum. Samen met mijn vier kinderen. Mijn moeder was er ook. Ze kon het zo te zien goed met mijn beide schoonouders vinden. Elf mensen rren ook al van de partij, alsof ze meereisden ter opvrolijking van het geheel.
Zonder twijfel vermaakten we ons best. Met alle andern maakten we een soor rondreis op een klein ongerept eiland. Veel boompartijen. Hoog, bladerrijk, vruchtbaar en alles was groen. Midden in en weiland vol fijn grasstrekte zich een tuin uit. Met bedden vol rozen, gladiolen, gerbera’s en verschillende soorten orchidereen. Verder, op de takken duiven, papegaaien, parkieten, spreeuwen en kwetterende paradijsvogenls, die beurtelings hun lieflijk gefluit ten gehore brachien. Pauwen spreidden hun staarten wijd uit. De heldere kleuren ervan vormden een tel contrast met de groene achtergrond. Stuk voor stuk voelden de passagiers de koelte, temeer toen een zacht windje opstak uit dal beneden hen. Dereis werd eeht als een geschenk ervaren. Ogengblikkelijk was men genezen van deverveling van de routine. De vieze lucht in hun longen werd eruit geblazan. Vervangen door frisse lucht vol aroma.
Helaas waren er later tekenen die wezen op verandering. Derozen en de andere mooie wiegende bloemen neigden naar de aarde. De zanderige grond zo wijd als een oceaan bedekte alles. He groene geboomte was begraven. Het gevolgelte met hun hemels gezan werd plotseling schor. De vruchtbaarheid en de weelderigheid waren niet slechts afgenomen, maar verdwenen. De blauwe lucht wer grijs. Op het voortschuitvende zand vielen vogels neer. Hun veren veielen uit. Kaal lagen zeher en der verspreid. Alles kwam erop af om aan het vless en de huid te kanbbelen. Ze lieten allen de botjes over.
Door deze plotselinge verschijnselen hadden we onze ogen opengesperd. We konden het niet geloven, maar toch was het werkelijkheid. Ten slotte keken we gespannen naar voren. Ons ronde vervocmiddel zonder wielen zou vast en zeker met geweld door kunnen rollen. Aanvankelijk werd allen mijn vrouw misselijk. Toen duitzelig. Vervolgens kregen mijn kinderen dezelfde problemen. Evenals mijn beide schoonouders, mijn moeder en mijn schoonfamilie met hun gezinnen. Ten slotte ik zelf. Ik werd ontzettend misselijk. En zo duidelijk da ik het gevoel had een klap van een rotsblok gehad te hebben. Ik had een stekende hoofdpijn. De vaart van het voertuig was niet meet te beteugelen. In het begin was dat niet zo eng, want we zaten nog op een vlakke weg. Maar daarna leek het voertuig neergesmeten te worden in een ravijn. Het duikelde loodreeht omlaag en ging een paar keer over de kop. Iedereen moest overgeven. Het braaksel beston uit bloed en etter. Kermend geschreeuw was te horen. Mijn vrouw riep telkens mijn naam. Mijn kinderen vroegen mij om hulp.
“Pak mijn hand, pap!”, riepen ze telkens. Mijn vrouw schreewde met ze mee, nog klaaglijker. De Kinderen en mijn vrouw voehten om het hardst om mijn handen vast te houden. Ze grepen mijn vingers nog steviger vart.
“Hellup....”, gilden de andere passagiers naar hun familieleden die het dichtstbij stonden.
Het gesechreeuw eehode steeds terug. Het had geen involed op hen die ze nodig hadden. Zo was het met de handen van mijn vrouw en kinderen. Ze bleven maat om het hardst knijpen. Maar het was alsof een verborgen kracht een wrede scheiding teweeg brachat. Mjin handen waren los van hun handen. Vaag kon ik hun geroep nog horen dat mij noemde als de vader van mijn kinderen. Ook als geliefde man van Mimi, mijn vrouw. Wij zweefden uiteen. Steeds verder. Toch gingen we elk voor zich door met ons vast te grijpen aan een hand of een voet. Wat we maar te pakken konden krijgen. Als we onze bewegingen maar konden beersen en weer dicht bij elkaar komen. Helaas ging het niet. Te moeilijk. Onze kracht verlamde steeds meer. Vieweg.
“Waarom ziin we niet voor altijd bij elkaat? We zijn toch he kinderen, pap?”. “Ik ben Mimi, schat, jc vrouw, Grijp mij vast.” Ik zakte steeds dieper weg zonder grond tevoelen. “Hoelang wordt het lichaam van je vrouw aan de vernietiging blootgesteld, schat?”
“Pa-ap, papa! Vlig, pak mijn hand. Ik vind het eng, pap. Erg eng.”
Vree,d genoeg kon ik geen woord nitbrengen. Slechts mijn lippen mompelden wat. Ik hoorde al het geschreeuw van hun paniek.
Maar ik kon nier\ts uitrichten. Ik was erg verdrietig. Zelf voelde ik me als het ware vastgebonden aan een grote paal. Ik hoorde mijn beide schoonouders net zo klagen als vroger. “Je bent toch mijn schoonzoon. Li,. We zijn toch je schoonfamilie, Li, waaron zwijg jedan? Waarom ben je zo hardvochtig dan je jehand niet uitsteekt, Li. Je bent toch we in staat om je handen uit te strekken naar beneden in het ravijn. Vertrouw op je capacieit, Blijf je zwijgen?”
Wat kun je anders doen dan zwijgen als je beide handen vastgeboncen zitten aan een grotepaal. Ik ben berstemd voor de vernietiging samen met het ronde voertuig zonder wielen. Zie he niet het braaksel van mijn bloed samenmet etter al veranderan in een berg kalk? Mijn keel wordt al aan gervreten door krabben. Met hun puntige scharen trekken die beesten mijn tong eruit. In de tijd dat ik op kantoor zat, loog ik veel. Ik was zo hardvochtig dat ik mijn personeel onderdrukte. Ik jortte op hunsalaris. Ik buitte hen uit. Ik bemoeilijkte hun promotie. Dan bracht ik tenover mijn meerderen naar voren, dan alles mijn werk was. Dat alles mijn idee was. Dan had ik ook het recht op het meeste, jet lekkerste, het prettigste. Dan deet ik thuis mijn deur dicht. Ik bekommerde me niet om mijn buren, als ze me om steun vroegen. Meteen schold ik ze uit. Terwijl ik rijke het zelf ‘t mooist voor elkaar had.
“Pap, papa!” horde ik sleehts vaag de stem van mijn jongste kin. “Heb je dat allemaal echt bekend? Heb je tot nutoe de mensen echt kwaad gedaan?”
Wat hij verder zei, verstond ik niet, Hoewel wat ik gehord had, al genoeg was om me te doen glimtachen en grijnzen. Ja, er was nogveel meer, dan ook nog erger was. Er bestaan manipulaties in verschillende gradaties, toch bevond je vader zich al in eem kwade fase. Die andere mensen benadeelde. Ja, hoewel het nog niet valt onder de categorie van verkrachtingen en moorden, van opstand of roof. Geen staatsgreep of landverraad. Het is duidelijk dat je vader niet meer zuiver is. Op zijn minst was hij al negatief beinvloed als staatsdienaar, als rijksambtenaat.
Waarheen waren ze zojuist gevlogen? Ik lette op vanaf mijn vreemde voertuig dat rondom helemaal van glas was. Opeens schoten ze weer vlak me. Ik zag een geweldige ver andering. Zoals ook bij mijn lichaam plaats vond. Geleidelijk werden handen bleek. De blauwe aders verden steeds meer zicht baar. Langzamerhand ook nog bleek. Het bloed hield op te vloeien. Dan droogde het op. Mijn wangen vielen in. Mijn ogen sprongen cruit. De oogleden bleven achter. De inhoud van mijn strot was al vernietigd door gulzige krabben. Door hun giftige steken was mijn haar roodbruin geworden, bervolgens grijs. Toen het zo wit was kreeg ook het haar van mijn kinderan dezelfde kleur. Waarom waren zij ook grijs geworden? Betekende het dat zij dezelfde martelingen ondergingen?
De ogen van de kinderen, ook van mijn vrouw, waren allemaal losgekomen van hun oogleden. Zo ook de ogen van mijn beide schoonouders, de ogen ban mijn moeder, de ogen van mijn schoonfamilie samen met hun gezinnen. De tientallen ogen vlogen weg naar een geramte zonder keleding. Ze werden gelijk aan elkaar, zodan de een niet van de ander te onderscheiden was. Ik kon niet meer te weten komen waar die ban mijn kinderen waren gebleven of die van mijn vrouw. Ik wilde mijn ogen als het ware weer wijd opensperren. Ik riep om ze. Maar ze hoorden me nier. Mijn keel was al kapot geknaagd door die krabben. Hij kon geen geluid meer produceren. Idioot! Plotseling functioneerden mijn oren beter. Ik ving een duidelijke stem op. Ik wist ook wat het betekende.
“Er ziin geen namen meer”, weerklonk het herhaakdelijk.
Wat was daar de bedoeling van? Ik spitste mijn oren zolang ik nog wat kon opvangen.
“Jullie zijn jullie,” Toen kwam er een andere stem achteraan. “Jij bent jij.”
“Afzonderlijk geboren, ook afzonderlijk heengegaan.”
“Ik ben ik.”
“Er is geen echtgenoot.”
“Er is geen echtgenote.”
“Noech schoonouders, noch schoonfamilie.”
“Noch moeder.”
“Afzonderlijk.”
“Ja, jij bent jij.”
Zodra deze vreemde uitspraken eindigden, kwamen de botjes van mijn handen plotseling los van mijn lichaam. Zo ook de botjes van mijn benen van mijn oderlichaam. De strot van mijn hoofd los van mijn nek. Mijn nek zelf raakte los van fundament, tussen de beide sxhouders. Soort bij soort kwamen alle onderdelen bij elkaar. Hoofden bij elkaar, dijen, hielen en handen. En nog veel meer lichaamsdelen.
Ik snapte er helemaal niets van. Wie had er de hand in dat die onderdelen ban elkaar losraaken? Maar hoewel mijn geramte uiteen was geballen, kon ik vreemd genoeg nog voelen en denken.
Het ronde voertuig ging voortdurend met hoge snelheid vooruit. Het skelet en de andere delen ban mijn lichaam werden aangereden en verpulverd. Ik werd stof. Ik werd wind. Ik was op de Zuidpool. Op de Noordpool en dan naar de navel van de aarde. Nog steeds achtervolgde mij het ronde voertuig. Ik was klem gereden. De pijnklijkste wonden en de ergste pijnscheuten had ik al gevoeld. Toch wilde ik nog eens verbrijzeld worden. Ik had me al overgegeven. Bereid om wat ook te worden. Een grote schande dan stof kon me niet te wachten staan. Ik gaf me over.
Ik was al zo verpletterd als het maar kon. Ik was in het nouw gedreven aan het einde der aarde die zo eenzaam was als maar mogelijk. Vreemd was het dan plotseing alle afzonderlijke botten weer verschenen en ik wist niet waarvandaan. Ze groepten weer samen. En vormden een generaamte:’ vlees, slagaders en bloed. Ook de ogen kwamen. Compleet was mijn lichaam. Met kleding en al. Zo ook de liehamen van mijn vrour en mijn kinderen. Ze grepen elkaar vast. In een oogwenk had ik hun handen vast. We hielden elkaars handen stavieg vast.
“Pap! Pap!”, schreeuwden mijn kinderen blij Ze omhelsden me, Ik omhelsde hen. Ze hadden er zo onder geleden zolang van mij gescheiden te zijn. Dan werd duidelijk op het moment van de hereniging bij de omhelzing. Ze eilden nooit zo ver van mij gescheiden worden. Zo was het ook met mijn vrouw. Hier werd duiddelijk hoe zeer het leed hen had aangegrepen en hier bleek ok de waarde van een hereniging. De kinderen straalden. Glimlachten. Hun ogen schitterden. Ze hadden een gezonde blos op hun wangen.
Mijn beide schoonouders kwamen jort daarna. Wat verschirikkelijk blij waren we dat we bij elkaar waren. Wij begroetten elkaar stevig. Vol eerbied kuste ik hun handen. Moeder kwam. Ik kneielde vol eerbied. Mijn schoonfamilie kwam. We lachten, aten en dronken gezamenlijk aan een tafel. (Indonesia Magazine 1992).