Obituari untuk Pak Pramudya
Persis tak lama setelah pemakaman Minggu di Karet, pukul 15.00, 30 April 2006, mendung berat makin tambah ratusan ton lagi di langit gelap. Karena tak tahan menyangga maka kantongnya pecah. Lalu luber tumpah setumpah-tumpahnya. Sebagian tanah bumi lokasi istirahmu terakhir mulai basah. Air pun genang. Akulah itu asal guyuran hujan. Merembes bes-bes-bes-bes. Ke sela-sela gundukan puluhan karangan bunga sungkawa. Aku teruskan menyusup, ketuk papan yang baru ditimbuni tanah. Tak ragu aku lalu menyalam tubuhmu yang terkafan. Aku tak ragukan kau idola abad iyang baru lalu dan abad kini. Bertahun-tahun langkahmu kuikuti. Kutekuni ketegaran pisik dan spiritmu. Kau lebih dari cyborg. Tak tedas dipanggang api atau matahari. Tak gatal tak gores secuil pun walau di rerimbunan duri. Hidungmu tak sesak, tak alergi, walau mencium banyak bau bacin anyir dari bangkai macam-macam. Banyak lagi pahitmu tapi kau tetap kokoh, sehat saat pulang. Kini kau pulang ke tempat ini, Karet, di tengah gegarnya metropolitan. Jangan risau dan gerah lagi di sini. Sengaja dingin airku kuteroboskan, kupenetrasikan ke pori kulitmu. Ke otot, daging dan tulang-tulangmu yang tak berdarah lagi. Aku berkali-kali sedih dengar tragedi-tragedi yang telah kautulis dalam memoar-memoarmu wujud cerpen, novel dll-nya. Sebenarnya masih banyak lagi yang tak lepas-lepas dari pikiranmu sayang tak kesampaian lantaran waktu juga yang memutus. Barangkali kalau di sini ada mesintiktua kau pasti gairah mengetik tak-tik-tak-tik lagi seperti dulu sejak kau masih remaja. Baiknya kau istirah saja yang damai, janan ngetik-ngetik lagi. Para generasi kin lah yang wajib meneruskan semangatmu. Cara merokokmu itu yang mengesankanku waktu dulu aku mampir ke rumahmu di belakang LIA itu. Rokok kretek yang kauisap tak lepas-lepas. Asapnya mengepul. Ah! (Rahmat Ali, 1 Mei 2006).
0 Comments:
Post a Comment
<< Home