Thursday, March 30, 2006

Cerpen "Mata Blorong"

MATA BLORONG
Rahmat Ali


SARPAN sedang dihinggapi penyakit ingin cepat kaya: Padahal kondisi sebenarnya sangat berlawanan. Inilah payahnya.

"Repot suamimu, Minah," kata mentuanya. "Dia mulai ber­gaya pula. Hampir semua persoalan dikatakan beres. Malasnya makin menjadi jadi. Baru mau bangun kalau matahari sudah di tengah langit. Matanya merah geragapan. Memandang sepele mereka yang cari rumput. Mahunya apa? Setahun yang lalu dia kupuji. Tidak malu cangkul-cangkul di sawah lurah. Tiga anak­anakmu ditugaskan pula, mengembala selusin kambing dan dua kerbau. Lurah kita orang baik. Dia menghargai Sarpan yang rajin. Harusnya anak-anakmu tidak terlibat sekeras itu. Tetapi benar juga. Daripada main-main. Tidak menghasilkan apa-apa. Lumayan hasilnya untuk sangu lebaran mereka. Banyak faedahnya meng­awasi beberapa binatang ternak itu di padarig rumput dekat hutan sana itu. Dan sekarang, beberapa bulan kemudian, kenapa tiba-tiba terbalik. Sarpan jadi kelihatan dungu. Linglung. Tidak pedulian. Seperti tidak sedar kalau punya tanggungan keluarga. Kamu di­biarkan menghadapi tungku yang tidak pernah bernyala. Lalu anak­anakmu diumbar sampai sore di sungai. Hanya main-main melulu kerja mereka. Kerbau dan kambing-kambing lurah dibengkalaikan. Yang punya kelam kabut. Kamu yang kena damprat orang. Padahal tidak tahu apa-apa. Gara-gara Si Sarpan. Ke mana suamimu, Minah? Sudah seminggu tidak pulang-pulang. Berasmu habis. Tunggakan di warung menompok. Tidak terbayar-bayar. Hairan aku melihat kelakuan menantu yang begini. Apa jawapan, Minah?"

Apa yang dikatakan bapaknya benar. Sebagai anak perempuan satu-satunya, Minah tidak bisa menjawab. Tidak baik. Via harus tetap menghormati bapaknya. Dia tumpuannya. Pagi tadi Minah dan anaknya meninggalkan rumah Klayatan. Lalu bergabung kembali ke tempat orang tua. Malu. Dan sebenarnya tidak tega merepotkan. Dia sudah tua. Sudah capek memelihara anak. Kahwin ertinya pisah dengan orang tua. Bererti Minah harus sudah pandai mandiri. Hanya kenyataannya lain.

"Sudahlah, kang," pernah menyarankan suaminya Sarpan, "kita hidup ala kadarnya saja. Bukankah sudah punya anak. Mereka harta kita yang amat mahal. Nanti lama-lama kita juga bisa lebih senang."

Tetapi tidak demikian dengan jalan fikiran Sarpan. Dia lain daripada yang lain. Biar hidup di desa dia berfikiran jauh. Itulah sebabnya mentua Sarpan sering menuduhnya suka ngelantur. Ber­khayal yang tidak-tidak. Asal bukan untuk alasan yang dibuat-buat saja. Biar dikira sableng. Padahal sebenarnya sekadar menutup­nutupi kalau dia kahwin lagi. Biasa kehidupan lelaki di desa. Kalau sudah bosan kepada isteri lalu bertingkah aneh-aneh.

Apa ya, fikir mentuanya.
Nyatanya tidak. Mentuanya geleng-geleng. Minah makin sedih. Sedangkan Sarpan tetap tidak kunjung pulang. Sehari, seminggu, sebulan. Tidak nongol juga.

Sementara itu Sarpan di tempat yang lain sedang menghadapi kecamuk. Sebagai lelaki dia ingin dipandang lebih. Oleh siapa pun. Terutama di depan mentuanya yang duda itu. Orang tua ini baik. Dia sayang kepadanya. Tetapi Sarpan tidak mahu sekadar disayang­sayang mentua. Itu tandanya kalau dia lelaki lemah. Padahal Sarpan tidak mahu dianggap lemah. Dia ingin bisa memberi pakaian yang layak kepada anak-anak dan isterinya. Ingin membuatkan rumah yang kukuh clan gede. Ingin lain-lainnya lagi.

"Tidak usah dulu, kang," Sarpan sering ingat kata-kata isteri­nya. "Kita orang hidup di desa sudah diketahui ukurannya. Pondok bambu atap lalang ini sudah lumayan untuk kita bersama anak­anak. Sabar sedikit, kang. Pokoknya sampeyan tresno kepadaku."

"Ya, ya, Minah. Aku tresno padamu."

Sarpan senyum sendiri. Itu masa-masa bahagia yang sederhana, waktu Sarpan hanya berduaan dengan Minah di rumah nginap di rumah kakeknya. Kesempatan bagi Sarpan dan Minah saling mengudar rasa. Mengungkapkan keinginan-keinginan. Atau untuk selamanya menyumbat mancurnya hasrat-hasrat, kerana sudah tidak mungkin jadi kenyataan.

Bosan rasanya memikirkan nasib yang tak kunjung berubah. Toh renungan muncul di sebarang tempat di sebarang waktu. Kapan mujur dan jadi kaya? He, he, he. Betapa senang dijuluki sebagai orang yang serba kecukupan. Rumah gede. Lombong penuh. Ker­bau setiap tahun bertambah. Kambing dan ayam tak terhitung lagi. Seberapa pun wang dibutuhkan bisa bergemerincing dengan mulus. Mengalir tak berkeputusan. Para tetangga dan kenalan-kenalan pasti lebih sering berkunjung. Omong-omong sambil menikmati teh nasgitel. Dicampuri nyamikan ubi, jagung atau pisang rebus. Atau siang hari dia tidak lupa melambai mereka yang lewat depan rumah. Begitu tamu duduk Sarpan bisa langsung' teriak kepada Minah di dapur. Untuk cepat-cepat angkat nasi dan menghidangkannya di atas tikar berserta lauk-pauknya yang lengkap. Jangan lupa lalapannya, Minah. Sambal dengan air degan. Amboi, betapa sedap. Ah. Begitu kira-kira harapan Sarpan. Terhormat. Dipuji-puji, disegani. Tetapi mengapa sekarang tetap sebagai Sarpan yang dulu­dulu juga. Petani miskin. Isterinya membantu sebagai penumbuk padi di rumah lurah. Bahu sudah begitu capek menumbukkan alu ke dalam lumpang. Upah hanya tiga tempurung beras. Tidak seimbang. Tidak tahan hidup terus-menerus begitu keras. Aku harus mening­galkan keluargaku, demi kebahagiaan mereka, keputusan Sarpan. Dia lalu menghilang. Tanpa pamit. Berbulan-bulan tidak memberi khabar.

Tahu-tahu Sarpan sudah di atas trak barang. Kerja sebagai kenek pembantu yang belum ngerti apa-apa. Dengan cepat belajar bagaimana harus gantikan oli, ngisi air radiator dan memasang atau nyopot kabel aki. Rupanya tidak begitu sukar. Waktu hujan dia harus buru-buru mendirikan tenda terpal di atas bak truk. Ke­ringatnya bercucuran. Rupanya lebih berat dari macul. Tetapi enak juga setelah terlaksana. Beras, gula atau terigu yang berkarung­karung aman dari titisan hujan. Sarpan sendiri nyenyak tidur di bawah tenda trak itu. Hangat. Kota-kota pantai di Jawa Timur makin sering dijelajahnya satu demi satu. Kemudian giliran Jawa Tengah. Kesempatan berikutnya Jawa Barat. Senang sekali.

Dengan sang sopir trak yang dilayaninya tiap hari Sarpan sering ngobrol. Hampir tentang segala masalah. Tentang berbagai lapangan pekerjaan. Tentang guru yang kurang mendapat perhatian, gaji sering lambat dibayar, murid-murid yang kurang ajar dan tidak
terkendali. Lebih enak jadi pedagang kelontong. Bikin warung di depan rumah. Harga-harga naik pedagang ikut naik. Tidak bakalan rugi.

"Itu hanya pandangan orang saja," jawab sopir menanggapi perkiraan Sarpan, bahawa jadi pedagang lebih enak dari guru, bahawa sopir lebih enak dari kenek. "Masing-masing punya tang­gungjawab, Kang Sarpan. Aku nyopir punya beban berat sekali. Harus bisa mengirimkan barang-barang pesanan sampai di tempat tujuan. Padahal di jalanan banyak sekali rintangan. Pada setiap pos tidak boleh diam. Selalu bayar, kang. Biar tidak begitu besar tetapi puluhan kali. Sudah berapa? Belum lagi kalau ban meletus, mesin mogok, atau macet kerana tabrakan antara kenderaan satu dengan lainnya. Ya, pokoknya menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya. Mahu apa sekarang? Jadi guru sudah diketahui umum bagaimana nasib mereka. Dan aku jadi sopir, umum sudah lebih tahu. Sudahlah, kang. Omong lain saja dah."

Sopir ini biar masih muda tetapi lebih banyak pengalamannya, fikir Sarpan. Berkat kerjanya tiap hari yang menglanglang dari kota ke kota. Juga lantaran pergaulannya dengan banyak orang. Cuba dulu-dulu Sarpan jadi kenek, barangkali sudah jauh berlainan hidupnya. Obrolan lalu pindah ke bidang lain. Yang banyak sangkutannya dengan nasib, peruntungan, hari-hari baik dan sebaliknya. Serta perempuan.

Tiba-tiba sang sopir tertawa ngakak. "Memang hari-hari baik kita, peruntungan dan kekayaan kita, banyak dipengaruhi perem­puan. Benar, kang. Makanya untuk sementara aku belum mahu kahwin. Payah. Menimbulkan banyak fikiran. Aku sekarang ingin bebas dulu. Sepuas-puasnya. Soal perempuan bisa dicari, kalau sekadar pemuas. Kakang lihat sendiri antara Surabaya sampai Rembang. Berderet. Belum lagi kalau trak kita meluncur di jalan lebar menuju Cirebon, terus menggelinding ke arah Jakarta. Bagaimanapun sama saja, kang. Maaf. Itu rahsia lelaki. Ha, ha, ha, ha."

Sarpan terdiam. Dia ingat isterinya di rumah. Hanya sepintas. Ingat anak-anak dan mentua. Juga hanya sepintas. Kemudian mencuba hanyut lagi dalam obrolan. Sementara itu mesin tetap menderum. Sekali-kali klakson melengking.

"Kang Sarpan, sudahlah. Tidak usah pusing-pusing mikir. Apa adanya saja. Sehari dapat dan habis dimakan sudah lumayan. Kalau mbah-mbah kita dulu mungkin lain. Mereka banyak percaya kepada hal-hal yang tidak nyata. Tetapi kerana yakin betul akhirnya jadi kenyataan juga. Seperti nunggu telur Nyi Blorong. Bersemadi di pinggir Laut Kidul. Toh hasil juga. Bukankah hal begitu tidak masuk nalar? Zaman sekarang tidak mungkin, kang. Ya dari kerja keras kita menabung sedikit-sedikit. Beli cincin, beli kalung untuk perempuan di rumah. Lain kali beli berikutnya. Begitu cara menompok harta. Atau dijual setelah beberapa hari dibeli."

Sarpan tetap Sarpan. Tidak lama kemudian penyakit lamanya kambuh. Malas-malasan. Teledor tidak isi air radiator. Oli mesin kecampur sabun. Sopir marah besar. Sarpan akhirnya minta diting­gal di Jakarta saja. Tinggal di Priok. Hidup sebagai pengurnpul kaleng-kaleng bekas dan besi-besi tua. Tiap hari keliling kampung. Masuk halaman-halaman rumah orang. Belakangan dia pindah di Depok. Ikut orang pegawai Pea Cukai yang wangnya banyak. Sarpan diangkat sebagai tukang kebun. Tanah yang luas dipacul sendirian oleh Sarpan. Biasa baginya, seperti di desa Klayatan dulu. Kalau kerjaan selesai di perintahkan ke kota cari bibit tanaman serta pupuk-pupuk yang diperlukan. Sarpan mulai berkenalan dengan kereta Jabotabek. Selalu periuh. Segala lapisan masyarakat tumplek di dalam gerbung. Pada berdiri semua di dalam ruangan yang sangat pengap. Tangan-tangan mereka tergantung. Mereka semua menyandarkan nasib pada kereta Jabotabek. Wajah-wajah yang tegang itu sudah tidak asing ditatap Sarpan. Waktu pintu tersorong otomatis kaki-kaki mereka segera, berlompatan keluar. Sementara itu yang mahu masuk juga bergegas mendorong ke dalam. Saling tidak mahu mengalah. Setelah di dalam gerbung para penumpang yang baru pada repot cari gantungan tangan.

Kehidupan keras semua, fikir Sarpan makin yakin. Di mana ada laut yang ganas di Jakarta, fikirnya kemudian, masih di dalam kereta. Ancol. Ya, Ancol, jawabnya sendiri. Majikannya memberi Sarpan sangu banyak untuk beli bibit clan pupuk. Kesempatan Sarpan tidak mahu pulang ke Depok. Dia ingin beli karcis masuk Ancol. Dia segera turun di Kota. Ikut oplet jurusan Priok. Berhenti di hujung Gunung Sahari. Di situ dia mulai jalan. Hanya sebentar. Lalu tiba di depan loket. Dia jalan lagi. Mampir di Pasar Seni beberapa jam. Lihat seniman-seniman membuat gambar di atas kulit kambing. Mengagumi mereka yang mencukil-cukil kayu sawo. Mereka dapat duit lumayan dari pekerjaan itu. Tanpa susah-susah naik Jabotabek. Tanpa terdesak-desak. Mereka kerja di tempat yang terbuka. Enak begitu. Ah, nasib mereka lebih baik, fikir Sarpan.

Dengan wang majikannya yang lumayan Sarpan memasuki restoran yang lapang dan segar. Dipesannya lauk-lauk yang lazat. Juga bir. Malamnya kebetulan ada tontonan. Di tengah pasar, Sarpan menikmatinya di tengah para pengunjung lainnya yang berjubel. Dan tengah malam dia sulah di pinggir pantai. Dia menolak gangguan-gangguan cewek yang sudah berkali-kali datang. Malam itu dia ingin memahami Laut Ancol lebih akrab. Dia lihat kelap-ke­lip kapal di kejauhan di tengah laut. Mengapa tidak turun hujan lebat dan laut Teluk Jakarta tidak mengamuk dengan ganas? Sayang. Andai kata lautnya ganas seperti yang di Pelabuhan Ratu. Hanya angin sepoi yang melandanya. Memberinya sedikit dingin yang tidak bererti.

"Aku datang lantaran panggilanmu, Nyai Blorong," kata Sar­pan pelan-pelan. ,

"Aku sudah bersenang-senang. Sekarang aku mau bersusah­susah. Aku ingin membersihkan diri. Lantaran ingin menemuimu, Nyai Blorong. Menemuimu di Pantai Ancol ini. Aku yakin biar ombak di sini tidak besar, tetapi kamu ada. Segera timbul dari te­ngah laut. Lalu memberiku nasihat-nasihat. Agar aku bisa pulang kampung dengan nama baik. Ah, kukira kau tetap nyai yang baik. Tiap hari matamu mengikuti perjalananku. Matamu terus mengin­tai. Tanda yang baik bagiku. Maka pada kesempatan ini aku ke tepi laut. Agar bertemu mata dengan mata. Mata Sarpan dengan mata Nyai Blorong."

Seketika cewek-cewek menjauh mendengar ucapan Sarpan. Orang bisa jadi macam-macam setelah masuk Ancol, fikir si cewek. Lebih baik cari lelaki yang hanya mahu menghamburkan wang dan berasyik-asyik. Daripada melayani mereka yang sinting­sinting. Bukan hanya sekali dua kali orang lalu senewen di pinggir laut. Pernah ada yang ketemu Mariam si penjaga jambatan Ancol. Pernah juga seorang insinyur jadi sebleng. Dan sekarang giliran lelaki yang bicara sendirian itu. Baikan kabur ke tempat lain. Sarpan tidak peduli kepada gunjingan cewek. Tidak ambil pu­sing. Dia meneruskan bicaranya.

"Kamu mahu apa, Pan? Kaya, terkenal, dihormati, disanjung­sanjung dengan harta yang bertompok-tompok tanpa korupsi? Ba­gus, bagus. Tidak sukar yang harus kamu kerjakan. Asal mahu."

"Jelas aku mau, Nyai Blorong. Mau, mau. Aku sudah me­nunggu-nunggu petua darimu. Terima kasih, terima kasih." Sebenarnya Sarpan hanya mendengar angin yang sepoi. Lampu kapal tetap kelap-kelip di kejauhan. Tertawa cewek-cewek malam sekali-kali mengejek di balik pohon-pohon kelapa.

"Aku senang mendengar tertawamu yang meriah itu, Nyai Blorong. Katakan apa yang harus kukerjakan. Sekarang juga aku sudah siap melaksanakan perintahmu."

"Ya, ya, ya. Aku katakan. Begini. Kamu kumpulkan batu-batu putih dan bakar di tungkumu di rumah Klayatan sana. Bagi setiap nyala yang besar kamu segera mendapat setompok emas. Bisa kamu tukar dengan barang apa saja yang jadi keinginanmu. Tetapi hanya selama tujuh tahun. Setelah itu kamu jadi milikku. Mengerti, Sarpan?"

"Mengerti, Nyai Blorong. Aku mengerti."

"Nah, pulanglah. Temui anak-anak clan isterimu. Kemudian kerjakan sendirian di tempat yang sunyi. Tidak boleh seorang pun tahu."

Sarpan seperti sadar. Dia tertawa sendirian. Dia lihat Ancol sudah sepi sekali. Restoran-restoran pada tutup. Kerusi-kerusinya sudah terbalik. Dia menyeringai keluar. Tukang-tukang sapu menoleh kepadanya dengan perasaan agak hairan dan aneh. Sarpan tidak juga peduli. Benarkah dia sudah bicara dengan Nyai Blorong? Menurut orang-orang tua ceritanya menyeramkan. Kalau sudah memperlihatkan diri bererti orang tersebut sudah mendekat ajalnya sendiri. Sarpan jadi takut. Mengumpulkan batu-batu putih tidak lain mencopoti tulang belulang anak-anaknya. Untuk dibakar biar tungku menyala lebih besar. Wah, wah. Celaka. Celaka. Tidak mau. Setelah tujuh tahun jadi milik Nyai Blorong. Tidak mau. Sarpan bagaimanapun tidak bersedia diperbudak oleh siapa Saja. Untung sadar dan cepat-cepat meninggalkan Pantai Ancol. Pantai itu menimbulkan fikiran yang tidak-tidak. Serba ngaco.

Sarpan lebih sedar lagi. Sudah tujuh tahun dia mengembara, tidak pernah pulang. Mungkin Nyai Blorong yang dibayangkannya semalam tidak lain Kala, dewa waktu di Jakarta. Dia menagih Sarpan, tidak seyogianya hidup di Jakarta secara santai-santai. Tiap orang harus punya pegangan tetap sebagai apa saja. Sopir juga pekerjaan mulai di samping kenek. Juga sebagai tukang kebun di rumah pegawai Bea Cukai di Depok itu. Tetapi Sarpan sudah mem­bawa lari wangnya untuk foya-foya di pantai Ancol. Bagaimana? Ah, Sarpan bingung. Tidak punya pendirian harus apa. Akhirnya diputuskan untuk kembali ke kampung. Klayatan di sana tanah kelahirannya. Di sana dia mulai tumbuh jadi manusia, dapat isteri dan anak-anak. Apa yang dicari lebih dari hidup sehari-hari yang biasa-biasa saja. Sudah dibuktikan ke Surabaya, ke Semarang, Cirebon atau Jakarta juga tidak punya perbedaan. Malah lebih re­koso. Lebih keras. Penuh risiko. Bisa-bisa sableng, sinting, urakan dan gila. Sarpan tidak mau. Atau mungkin itu sudah merupakan hukuman dari Nyai Blorong, yang matanya selalu mengintai dan menggoda iman manusia. Yang mempermainkan mimpi-mimpi Sarpan selama ini? Ya, Sarpan tidak merasakan. Tidak sedar lan­taran hipnotis mata Blorong itu sendiri? Benarkah sudah sejauh itu jiwa dan fikiranku terpengaruh, tanya Sarpan kurang yakin.

Yakin atau tidak sudah jadi kenyataan. Sedar atau tidak Sarpan sudah mengembara jauh, melupakan anak-anak, menjauhi isteri yang tidak tahu apa-apa, membikin gelisah mentua, menjauhkan jarak hubungan desa dengan dirinya'yang di kota. Apakah keisti­mewaan Jakarta sehingga dia tertarik, tersedot, terpental, dan hidup sendirian tanpa tujuan?

Sarpan lalu didera oleh petualangannya sendiri. Dia menangis. Dia dipermainkan mimpi yang disihirkan dari mata Blorong. Dia melihat tulang-tulang kaki anak-anaknya dipotong-potong. Lalu dijadikan kayu-kayu pembakar tungku kehidupan Sarpan yang tidak menentu. Bah: Dosanya. Dosanya melebihi Gunung Semeru. Maafkan aku, Minah. Ampuni suamimu.

Kala telah berubah jadi Siwa. Wajahnya menyeringai menatap marah terhadap Sarpan. Ketakutanlah dia. Bersembunyi balik bantal. Berteriak-teriak di dalam rumah kontrakan dari kardus di pinggir Ciliwung. Pulang, Sarpan. Lebih baik pulang ke Klayatan. Anak isterimu serta mentuamu masih mau menerima kedatangan­mu.. Daripada kamu jadi sampah tong-tong Jakarta. Kereta Jabotabek bukan tempatmu menyandarkan nasib. Kaleng-kaleng dan besi tua bisa melibatkan dirimu ke dalam pencurian dan pemalsuan besar. Pulang saja, Sarpan. Pulang masih jauh lebih mulia daripada mengais-ngais di Jakarta.

Gelaplah dunia di dalam rumah kontrakan Sarpan yang dari kardus di tepi Ciliwung itu, ketika Siwa telah berubah kembali jadi Kala. Lalu kembali lagi menjelma mata Blorong. Menyeringai mendelik. Mengedip-ngedipkan kegenitan. Kemudian seperti am­bles, bolong tanpa biji mata. Blorong jadi jerangkung. Berwujud kerangka tanpa daging. Menari-nari, berputar-putar di sekeliling Sarpan.
Sarpan tidak tahan. Dia p-ulang dengan bis. Kenapa aku jadi gila? Kalau dulu tidak pergi-pergi sudah lumayan hidupku di desa. Di Jakarta penuh Blorong. Mereka berwujud kawan-kawan yang jadi majikan, jadi bos, jadi cukong. Jadi tauke, bahkan koruptor­koruptor. Mereka bisa memperbudak diriku. Mereka bisa meme­rintahku jadi penipu. Dan Sarpan yang lupa bisa kaya sendiri, hidup dari tulang-tulang bangsanya.

"Minah, Minah," teriak Sarpan setiba di rumah. Isterinya ke­hairanan. Dia sudah tampak reyot, tua, kurang makan, penyakitan. Anak-anaknya juga kurus. Kurang gizi. Mentua sudah setahun meninggal. Tetapi tidak apa, fikirnya. Dia kembali untuk memben­tuk hal-hal baru, tidak mengulangi kesalahan-kesalahan lama. Sarpan tersenyum.

Horison

(Cerita Pendek ini dimuat di “Cerpen-Cerpen Nusantara Mutakhir” diselenggaran oleh Suratman Markasan. Di terbitkan oleh Dewan Bahasa dan Pustaka Kermenterian Pendidikan Malaysia, Kuala Lumpur 1991)

0 Comments:

Post a Comment

<< Home