Tuesday, March 07, 2006

Sang Gubernur Jendral karya Rahmat Ali

SATU

TAHUN BARU 1619 dirayakan dengan meriah di kediaman resmi. Semua pejabat tinggi militer dan sipil datang bersama istri-istrinya secara berduyun-duyun. Suasana di dalam ruangan yang besar dan megah itu serba gemerlapan.

Musik pun mengalun, mengiringi para pembesar yang ngobrol-ngobrol tak berketentuan. Tentu saja para nyonya besar tidak ketinggalan berceloteh sambil memamerkan berlian-berliannya. Sekali-kali mereka lalu menyatukan diri dalam derai-derai tertawa yang panjang. Semua orang tampak bahagia malam itu. Siapa yang tidak, karena dalam beberapa tahun saja membuka usaha perdagangan - VOC telah kelihatan untung berlimpah-limpah. Jan Pieterszoon Coen sebagai Gubernur Jendral sudah tersebar keharumannya sampai di ujung Eropa sana. Terpuji sekali dia.

Upacara pesta mencapai puncaknya ketika berdentang dua belas- kali lonceng gubernuran. Semua hadirin berhenti sebentar mendextgarkan. Begitu selesai lonceng segera mereka teriak lebih gembira. Para nyonya besar dengan suami-suaminya berpelukan di tengah ruangan itu. Serentak pada saat yang bersamaan kapal-kapal yang sejak tadi tenang bersandar di dermaga pelabuhan segera pula membunyikan meriam-meriamnya ke . arah laut. Kapal-kapal itu penuh lampu-lampu hingga laut ikut benderang. Pemandangari ini menjadi sangat . indahnya dan orang-orang yang habis mengalami saat-saat yang berbahagia di dalam ruangan dansa gubernuran itu pada keluar satu persatu menyaksikan pelabuhan itu.

Sang Gubernur Jendral sudah menerima ucapanucapan selamat tahun baru dari para undangan. Dia mengajak para undangan tersebut lebih bersukaria lagi. Minuman-minuman keras dituangkan luberluber ke gelas yang bening. Dan isi gelas itu segera pula diregukkan ke dalam tenggorokan.

"Belum datang juga itu pangeran, Carpentier?" "Belum, Yang Mulia," jawabnya kepada Sang Gubernur Jendral.

"Biarlah kalau tidak mau. Pokoknya undangan sudah dikirimkan. Mari kita rayakan tahun baru ini lebih hidup. Kita keluar saja sekarang!"

Terutama Carpentier mengikuti perintah Sang Gubernur Jendral itu. Para pejabat lainnya dengan terpaksa mengikuti dari belakang. Dalam hati mereka memang tidak berani tinggal di dalam sementara atasannya sudah mengajak menikmati suasana taman di luar ruangan yang sudah panas itu.

Pakaian Sang Gubernur Jendral adalah pakaian kebesaran. Lengan bajunya ngepres dan bermotip kain renda. Krah baju tebal menggelembung hingga menutupi seluruh lehernya, juga dengan kain dari bahan rendaan yang bersusun. Rambutnya pendek potongan serdadu. Kumisnya melengkung diberati dengan dagu yang agak tebal. Pedangnya, yang seluruh sarung dan 15egangannya selalu berkilauan itu, tak henti-hentinya menjadi perhatian para nyonya besar yang berada tidak jauh dari Sang Gubernur Jendral ini. Pedang itu pedang emas. Pejabat-pejabat lain yang berada di bawahnya tidak berhak menggunakannya.

Ny. Eva Ment, istri Gubernur Jendral, seperti suaminya juga dirubung dan diikuti oleh istri para pejabat lainnya. Kipas-angin yang dikipas-kipaskan terbuat dari bulu merak yang indah.Pakaiannya yang dikenakan juga panjang berekor sampai menyapu lantai, seperti ekor merak, berwarna hijau muda. Jenis pakaian begini jadi mode pada abadabad tujubelasan dan hampir rata-rata istri pejabat memamerkannya pada malam-malam resepsi, apalagi di taman gubernuran waktu itu.

Sloki demi sloki sudah banyak yang diregukkan ke dalam tenggorokan para tamu. Terlebih Sang Gubernur Jendral sendiri. Pada saat itulah dia mengajak tamu-tamunya menaiki tembok benteng.

Tembok benteng itu cukup lebar untuk prajuritprajurit berdiri. Dan Jan Pieterszoon Coen sudah berdiri di atasnya sambil mengawasi sektor-sektor di luar benteng.

"Pemandangan di sini lebih indah lagi, Carpentier," katanya kemudian. "Tidakkah saudara lihat hal-hal yang lebih indah?"

"Memang demikianlah, Yang Mulia."
"Pada malam tahun baru 1619 ini aku berdiri di atas tembok bentengku yang hanya seluas 9000 meter lpersegi. Catatkanlah di dalam buku-buku kalian, bahwa tidak lama lagi aku segera meluaskannya lebih besar. Sebagai pembukaan ke cita-cita itu saksikanlah malam ini aku memberi tanda!"

Sang Gubernur Jendral dengan tidak disangkasangka lalu menyulut meriam yang berada di depannya. Meriam pun menggelegar dengan dahsyat. Pelurunya melayang melewati atap kraton Pangerkn Wijayakrama.

Para pengikut Sang Gubernur Jendral terperanjat bukan,kepalang. Lebih-lebih lagi prajurit-prajurit yang sebagian waktu itu sedang berjaga di posnya masing-masing di dalam benteng. Para prajurit kraton yang tidak jauh dari benteng Belanda itu juga terperanjat. Belum selesai mereka terheran-heran kedengaran lagi tembakan berikutnya. Dan tembakan-tembakan itu lewat lagi di atas atap kraton. Pangeran Wijayakrama terbangun- dari tidurnya dan memanggil Kyai Ganar.

"Kenapa semakin gila tindakan si Kapten Jangkung itu, Kyai Ganar? Apa dia menantang berperang? Aku sebenarnya sudah tidak sabar lagi kepadanya. Tapi sekali lagi tanyakan kepada Kapten Jangkung, apa sebab dia membuang-buang pelurunya sampai lewat atap kraton kita. Dia harus membayar denda atau menanggung resiko yang fatal."

Kyai Ganar malam itu juga datang ke Gubernur Jendral dan menyampaikan pesan.

"Maafkan aku, Kyai Ganar,' jawab Sang Gubernur Jendral. "Aku begitu terbuai di dalam pestaku. Kebahagiaan tahun baru tidak bisa kubendung di dalam jiwaku. Aku jadi mabok dan tidak sadar, ketika tanganku yang jahil ini menyulut meriam."

"Ada beberapa orang yang menjadi korban penembakan meriam tersebut, Kapten".

"Sekali lagi kukatakan aku lagi rnabok. Aku tidak sengaja, Kyai: Karena itu sampaikan maafku". Sang Gubernur Jendral lalu membayar seribu real. Tetapi sehabis membayar denda besok malamnya menembaki lagi ke arah istana Pangeran Wijayakrama. Inilah benih-benih permusuhan yang sengaja ditanam sendiri oleh Gubernur Jendral.

Beberapa minggu kemudian terdengar kabar yang' menggemparkan kraton.

"Benarkah kejadian itu, Kyai Ganar?" tanya Pangeran Wijayakrama kepada pembantunya yang setia pada suatu hari.

"Semua orang di Jayakarta ini tahu, Tubagus. Sayangnya hanya itulah. Orang-orang itu tertangkap. Tapi beritanya sudah tersebar luas, bahwa Kapten Jangkung hampir terbunuh". "Orang-orang Banten memang tidak memperdulikan benteng yang kokoh dan terjaga ketat, Kyai Ganar. Coba kalau penjaganya tidak tahu. Sudah jadi bangkai itu Kapten Jangkung yang sombong!" "Dan sejak sekarang kita harus lebih waspada, Tubagus", kata Kyai Ganar. "Biar bagaimanapun mereka yang di benteng menuduh kita yang mengirimkan pembunuh-pembunuh yang tertangkap itu".

"Soalnya orang-orang Banten dan kita sama juga, Kyai. Jadi kita siapkan saja pasukan kita. Daripada diserang lebih baik kita menyerang lebih dulu ke Benteng!"

Dan peristiwa itu terjadilah. Benteng Belanda diserbu dengan mendadak. Jan Pieterszoon Ccen melarikan diri dengan kapal penyelamat ke Ambon. Pangeran Jayakarta atau Wijayakrama berhasil dengan pasukannya menawan Carpentier, orang kedua setelah Gubernur Jendral. Tapi tidak lama kemudian datang lagi Jan Pieterszoon Coen dengan pasukan bantuannya sebanyak enam belas kapal. Kraton Pangeran Wijayakrama dibumihanguskan. Rakyat kacaubalau. Entah bagaimana nasib Pangeran Wijayakrama dan Kyai Ganar. Ada yang mengatakan mereka lari ke Pontang. Setelah itu tidak ada berita.

***


0 Comments:

Post a Comment

<< Home