Sang Gubernur Jendral karya Rahmat Ali (II)
DUA
SEMENTARA itu di suatu kerajaan yang jauh dari wilayah kraton Jayakarta. Terlihat sesosok tubuh kekar yang sedang termenung-menung seperti tidak ingat lagi siapa dirinya.
Dia tidak menyangka peronda-peronda itu datang dengan serentak dan demikian banyak. Dengan tiba-tiba beberapa orang dari mereka memberikan pukulan keras tepat pada tengkuknya. Pande Wulung nyelosor ke bumi. Begitu juga nasib kawankawannya yang lain. Bersamaan dengan itu menggelegarlah dari mulut mereka tawa yang keras. Pande Wulung dan kawan-kawannya sudah tidak sadar lagi. Tubuhnya diseret dan dimasukkan ke dalam tempat yang gelap.
Orang-orang yang tinggal tidak jauh dari tempat mereka disekap itu tentu tahu kalau ada tangkapan yang tidak lama lagi akan diadili ram ai-ramai seperti biasanya. Dan mereka yang tidak bisa melihat sinar terang di dalam kerangkeng itu kepengapan. Baunya apek. Tidak ada jendela. Hanya ada satu pintu besar di ujungnya. Pintu yang kuat dan digembok rapat-rapat.
Keluarga-keluarga yang tinggal tidak jauh dari rumah kerangkeng itu mulai bergunjing.
"Benar mereka orang-orang Surabaya?" salah seorang istri bertanya kepada suaminya yang baru kembali dari ronda.
"Pokoknya mereka bukan orang daerah kita. Mungkin juga Surabaya. Dan kalau dari sana tentunya mereka bermaksud jelek. Mereka sengaja mau menyelidiki rahasia Mataram. Tapi Mataram tidak mempunyai kelemahan. Ha-ha-ha. Baru saja sampai di desa yang paling depan mereka sudah ketangkap. Besok mereka akan tahu!"
Peronda yang sudah tiduran di samping istrinya itu tertawa lagi keras-keras.
"Tapi orang lain bilang bahwa mereka datang dari tempat yang lebih jauh lagi, kangmas;" istrinya mencoba meneruskan pembicaraan.
"Memang mereka ngotot mengatakan bukan orang Surabaya. Mereka datang dari arah barat sana. Pakaiannya sudah sangat lusuh dan compang-camping. Tapi mereka sehat-sehat nampaknya. Salah seorang sangat tegap. Itu sebabnya kami pukul yang paling besar lebih dulu. Dengan demikian amanlah negeri kita dari perusuh-perusuh yang bermaksud jelek."
Tidak lama kemudian terdengar suasana malam di desa itu. Suara gambang ditabuh lamat-lamat, diikuti tembang asmaradana seorang wanita. Malam pun berlalu.
Ketika Pande Wulung membuka mata dia heran melihat badannya sudah basah. Justru keheranan ini yang membuat orang-orang yang bersenjata lengkap tidak jauh dari dia menggelegarkan tawa lagi seperti kemarin. Seseorang dengan bejana air yang besar segera menggebyurkan ke arah Pande Wulung.
"Bangun, pahlawan!" teriak mereka mengejek. Pande Wulung mulai menyadari dirinya. Dia melihat ketujuh kawannya. Mereka juga baru sadar. Di mana mereka sekarang? Pande Wulung mengawasi sekitar. Dia tidak lagi di dalam rumah kerangkeng. Rupanya orang-orang tadi malam telah memindahkan mereka ke tempatnya sekarang. Tempat itu dikelilingi tembok-tembok tinggi. Pada beberapa sudut terlihat jeriji besi yang tertutup rapat. Beberapa ratus prajurit berdiri di atas tembok-tembok itu, menyaksikan ke bawah. Setelah diketahui Pande Wulung dan kawan-kawannya sudah siuman mereka yang tertawa-tawa tadi meninggalkan mereka. Seketika sepilah tempat itu untuk beberapa detik. Pande Wulung mengitari tempat itu dengan matanya. Sudut demi sudut ditataphya. Semua tembok tinggi, ada beberapa jeriji besi pada beberapa sudut, ada pula dua pintu besar yang ditutup dari luar. Pada salah satu tempat di atas tembok besar itu terdapat panggung kecil. Di situ duduk seseorang yang rupanya mempunyai kekuasaan di daerah itu. Dialah kemudian yang memberi isyarat kepada salah seorang bawahannya.
Orang-orang yang berdiri di atas tembok mulai bersorak. Pande Wulung dan ketujuh kawannya heran mengapa mereka tiba-tiba begitu bersemangat. Tidak lama kemudian salah satu jeriji besi dibuka dari atas dan seekor macan yang belang-belang mengaum. Tiba-tiba dua bekas perisai dilemparkan dari atas ke arah mereka, disusul ke2nudian dua bilah tombak. Pande Wulung menatap mereka yang melemparkan senjata-senjata itu dan mereka berteriak cepat-cepat untuk mengambil dan mempertahankan diri. Pande Wulung melihat kawan-kawannya. Mereka seperti terpaku. Tidak bisa bergerak dari tempatnya berdiri. Sedang macan itu dengan pelan tapi pasti makin mendekati mereka.
Pande Wulung tidak tahu pula apa yang harus dilakukan. Tapi kakinya sudah yakin melangkah ke arah tombak dan perisai di depannya.
Memang sering seperti ada kekuatan gaib dari luar memaksa mereka yang semula pemberani menjadi pengecut. Sebenarnya mereka bisa berbuat sesuatu, sehingga bahaya yang besar terhindar. Tapi justru terpukau ini mereka jadi patung hidup.
Apa yang harus dilakukan Pande Wulung? Dia bingung. Tapi dengan mendadak Pande Wulung mengeluarkan teriakan keras dan macan yang sudah dekat itu kaget dan lari ke belakang. Pada saat itu Pande Wulung menggenggamkan tombak yang satunya kepada seorang kawannya yang terpercaya. Dipungutkan pula sebilah perisai dan dipasangkan pada tangan kiri kawannya tadi.
"Kamu jaga di sini, Parta, melindungi kawan-kawan yang tidak bersenjata!"
Singkat saja perintah Pande Wulung, sementara dia sendiri mengambil posisi di luar kawan-kawannya yang menggerombol.
Macan itu seperti sudah tahu, bahwa salah seorang dari calon korbannya sudah mulai siap menyambut. Dia mulai mengaiskan kuku-kukunya pada tanah, demikian pula moncongnya mulai dihembuskan ke tanah. Ke mana saja Pande Wulung berjalan dia mengikuti dengan matanya yang kuning tajam. Tapi macan itu juga mulai menyadari bahwa serombongan calon korbar. yang lain menunggu di tempat lain. Mereka ini diam saja. Seperti pasrah. Tapi Parta yang sudah diserahi tombak mulai mendapatkan kepercayaan diri kembali. Ke mana saja langkah macan ke situ pula arah mata tombaknya.
Pande Wulung mulai yakin, bahwa macan itu lebih banyak memperhatikan kawannya. Jadi terang kalau dia tidak berhati-hati, kawan-kawannya akan jadi korban lebih dulu. Seekor macan yang sudah mengisap darah dan mencabik-cabik daging manusia biasanya makin buas. Ini jarang menimpa dirinya. Tapi dia yakin pula, kalau dia teledor, pasti hal itu bisa menimpa kawan-kawannya, mungkin pula dirinya sendiri. Tiba-tiba oleh gerak dia sendiri yang terburu-buru tangkai tombaknya yang dari kayu itu patah. Praktis tinggal mata tombaknya saja: Tepat pada waktu itu juga sang macan melompat ke arah kawan-kawannya. Bahaya. Dengan untung-untungan Pande Wulung menyambar puntung tombak itu dan dia terbang menyongsong macan.
(Cuplikan dari cerbung di Sinar Harapan tahun 1975/76 kemudian diterbitkan oleh Gramedia Jkt th 1976)
0 Comments:
Post a Comment
<< Home