Tuesday, April 04, 2006

Kliping kr Tempo


Melanglang Buana Bersama Rahmat Ali

JAKARTA --Selarik mantra dilantunkan bersama ruapan dupa di atas panggung. Ini adalah sebuah ritual khusus seperti dilakukan para tetua di desa adat yang hendak memulai upacara penting. Upacara ini men­jadi bagian dari perayaan sastra karya penulis Rahmat Ali. Perayaan itu berupa pembacaan sajak semba­ri melukis hingga fragmen adegan di kamar mandi, lengkap dengan baju mandi serta sepasang kaki katak.
Pekan lalu, di Warung Apresiasi Bulungan, Jakarta, beberapa karya puisi dan cerita pendek milik pensi­unan Marinir Angkatan Laut itu meluncur dalam berbagai pemak­naan. Salah satunya adalah pemba­caan cerita pendek bertajuk Moko yang Terpanah. Selain asap dupa dan mantra, pembacaan yang dila­kukan Sam dan Hen,y ini juga di­perkuat oleh iringan musik dari band Lemes. Beberapa bagian kali­mat pun dinyanyikan menjadi se­Uuah tembang merdu.
Rahmat Ali merupakan salah se­orang penulis produktif. Ia telah menulis sejak 48 tahun lalu saat masih duduk di bangku sekolah menengah di Malang, Jawa Timur. Sajak-sajaknya pada 1959 pernah mcndapat predikat terbaik di koranan Trompet Masjarakat asuhan Supri­jadi Tomoxliharjo, yang saat ini ber­mukim di Kolm, Jerman.
Ratusan bahkan ribuan karya­-karyanya telah menghiasi berbagai majalah sastra, seperti Horison. Be­lum lagi beberapa novel yang telah diluncurkan, seperti Sang Gubernur Jenderal, Nyai Dasima, hingga Na­rapidana Luar Galaksi.
Pun Pak Ali – begitu beliau disa­pa – tak hanya berkreasi dalam ba­hasa ibunya, Indonesia. Pengalaman bertahun-tahun menjelajahi negeri orang membuatnya cukup mahir berbahasa Prancis. Lihatlah, misal­nya, beberapa judul sajak bertajuk Cher Jantuk (Jantuk), Les jeunes montagnardes (Cah ayu dari Gu­nung), ataupun La chanteuse de Rock (Biduanita Rock).
Membaca karya A1i, bagi penyair Yonathan Rahardjo, seperti melihat potret jeli kehidupan manusia seha­ri-hari. Bagi Yonathan, yang juga menerbitkan kumpulan puisi-cer­pen Ali terbaru bertajuk Bi Gayah Sambalnya Mmm.., "Membaca kar­,ya Ali berarti membuka mata dan hati pembaca untuk mengerti dan menyelami apa yang terjadi pada hampir setiap profesi manusia."
Dalam karya-karya di bukit ter­baru ini, Ali membidik banyak so­sok, terutama orang kecil yang mungkin luput dari perhatian ma­syarakat. Misalnya tukang cukur dalam cerpen Sebuah Gambar di Ruangan Tukang Cukur, pembantu rumah tangga dalam Bi Gayah Sambalnya Mmm.., hingga kopral tentara dalam Narto. Kendati ditu­lis dengan ringan dan jenaka, tak berarti karya itu mengecilkan arti mereka. Ia justru meneguhkan ke­beradaan masyarakat marginal ini dalam konstelasi sosial yang lebih luas.
Sang Marinir yang lembut itu pun tak lupa memasukkan idiom-­idiom keseharian dalam karyanya. Istilah mendokdok, misalnya, mun­cul clalam cerpen Jangan Ganggu dan Byar-byur-byar-byur terlihat dalam Kopi O, Kopi Goni, Teh Obeng, Mi Lendir, dan Truck Dino­sauraus. Tak seperti menulis masa ki­ni yang begitu sibuk berkutat da­lam struktur tata bahasa, penulis kelahiran 29 Juni 1939 ini berkarya tanpa pretensi apa pun, lincah dan lancar, serta lugas apa adanya. SITA PLANASARI

(Keterangan tambahan dari Rahmat Ali: Trim atas atensi dan pemuatan kegiatan saya. Hanya saja izinkan kalau sedikit perlu saya koreksi. Bahwa tidaklah sampai ratusan bahkan ribuan karya telah saya buat. Sebenarnya masih di bawah seratus jika dirunut dari koran-koran dan majalah-majalah yang kini telah tidak terbit lagi. Sekali lagi, trim. RA).

0 Comments:

Post a Comment

<< Home