Monday, April 03, 2006

CERPEN

(Kawan-kawan, aku ingin mendokumentasikan beberapa cerpen yang telah kucipta atau yang baru kucipta. Itu semua sebagai contoh perkembangan “karirku” di dalam berkarya. Aku senang memperoleh respon dari kawan-kawan demi kebaikanku. Inilah antara lain yang tersaji) :


BAYANG-BAYANG

Rahmat Ali

Semula aku naik oplet dari ujung gang. Dilanjutkan bis. Kemudian kereta Jabotabek. Setelah berderak-derak beberapa lama aku jadi tidak sadar apa-apa. Aku jadi tidak tahu waktu. Kayaknya tidak ada batas antara waktu kini atau yang akan datang. Tahu-tahu kurasakan sudah berada di kendaraan bulat berkaca bening. Betapa besarnya di dalam. Semua penumpang termuat. Anehnya aku. melihat istriku di situ. Bersama empat anakku. Ibuku hadir juga. Dia tampak rukun dengan kedua mertuaku. Sebelas orang iparku yang sudah berkeluarga nimbrung, seperti ikut meramaikan perjalanan.

Tidak ayal kalau kami sangat bergembira. Kami dengan seluruh penumpang seperti sedang mengelilingi pulau kecil yang belum pernah disentuh. Banyak pohonan. Tinggi, rindang, subur, dan serba hijau. Di tengah rerumputan yang halus menghampar taman. Dengan sekelompok mawar, gladiol, gerbra, anggrek berbagai jenis. Lalu di cabang-cabang burung balam, nuri, parkit, jalak, dan cenderawasih berceracah, bergantian memperdengarkan siul-siulannya yang merdu. Burung merak memekarkan ekornya yang lebar di belakang. Warna-warna yang kuat tersebut menjadi amat kontras dengan panorama latar belakangnya yang hijau. Masing-masing penumpang merasakan kesejukan, lebih-lebih ketika angin semilir meniup dari lembah di bawah sana. Sungguh perjalanan yang merupakan hadiah. Seketika terobat kebosanan-kebosanan rutin. Udara kotor dari dalam dada terpompa keluar. Terganti oleh yang segar dan penuh aroma.

Sayang beberapa detik kemudian terasa gejalanya mau berubah. Mawar dan bunga-bunga yang indah itu tampak gemulai ambles ke bumi. Tanah pasir seperti samudra melanda seluruhnya. Pohon-pohonan hijau terkubur. Unggas-unggas dengan nyanyiannya yang surgawi menjadi parau mendadak. Kesuburan dan kemewahan bukan hanya pudar tetapi juga sirna. Awan biru jadi kelabu. Di atas pasir yang bergerak itu berjatuhan burung-burung. Bulu-bulunya rontok. Gundul. Terkapar. Semua merubung. Menggerogoti daging dan kulitnya. Seketika habis tidak bersisa. Hanya tinggal tulang-tulangnya.

Atas kejadian kilat tersebut kami dan para penumpang lainnya pada membelalakkan mata. Tidak percaya tetapi nyata. Akhirnya kami menatap ke depan dengan tegang. Kendaraan tumpangan kami yang bulat tetapi tanpa roda itu seperti tetap bisa menggelinding dengan perkasa. Mula-mula hanya istriku yang mual. Lalu pusing. Kemudian anak-anakku mendapat kesulitan yang sama. Demikianpun kedua mertuaku, ibuku, dan ipar-iparku serta keluarga mereka. Akhirnya aku sendiri. Mualnya bukan kepalang: Demikian pusing kepala sehingga aku merasakan seperti digodam batu gunung Urat-urat di kepalaku terasa sakit yang senyeri-nyerinya. Laju kendaraan tidak terkendali lagi. Semula memang tidak begitu menakutkan, karena masih di atas jalanan yang rata. Tetapi setelah itu seperti dihempas-hempaskan ke jurang. Kendaraan menunjam membolak-balik, tegak, menunjam lagi. Tidak ada yang tidak muntah-muntah. Yang termuntahkan adalah darah dan nanah. Terdengar teriak yang melolong-lolong. Istriku memanggil-manggil namaku. Anak-anakku minta tolong padaku.

"Pegangi tanganku, Paak!" Teriak mereka berulang-ulang. Istriku ikut-ikut menjerit, lebih iba, kepadaku. Anak-anak dan istriku berjuang untuk memegang tanganku kuat-kuat. Menggenggami jari jariku lebih kuat.

"Tolooong...," lengking penumpang lainnya kepada anggota keluarganya yang paling dekat.

Teriakan hanya gema. Tidak punya pengaruh kepada yang sedang membutuhkan. Sama juga dengan tangan istri dan anak-anakku. Mereka terus menggenggam kuat-kuat. Tetapi kekuatan tersembunyi seperti begitu sengit memisahkan. Tanganku lepas dari tangan mereka. Secara sayup-sayup aku masih bisa mendengar teriakan mereka yang menyebut diriku sebagai bapak anak-anakku. Juga sebagai suami tercinta dari Mimi, istriku. Kami melayang-layang. Makin jauh.. Toh masing-masing dari kami masih terus menggapai-gapaikan tangan atau kaki. Sekenanya. Asal bisa mempengaruhi gerak. Agar bisa dekat kembali. Sayang tidak bisa. Sukar. Sisa-sisa kekuatan makin lumpuh. Luruh.

Mengapa pisah. Mengapa tidak sama-sama buat selamanya? Bukankah kami anakmu, Pak? Aku Mimi, Mas, istrimu. Tangkap aku. Sudah demikian dalam aku terjatuh. Tidak sampai-sampai juga ke dasar. Sampai kapan tubuh istrimu harus hancur, Mas?

Pak, Bapak! Kejar dan tangkap tanganku. Ngeri, Pak. Ngeri sekali.

Anehnya lidahku kelu. Hanya bibirku yang komat-kamit. Aku dengar seinua teriakan panik mereka. Tetapi aku tidak bisa berbuat apa-apa. Sedih sekali. Diriku seperti tertambat pada tiang besar. Aku mendengar kedua mertuaku bersesambat tidak beda pula dengan yang sudah-sudah. Bukankah kau menantuku, Li? Kami kan iparmu, Li, mengapa diam saja? Mengapa begitu tega tidak mengulurkan tangan, Li. Kamu mampu memanjangkan tanganmu sampai ke bawah jurang. Percayalah kepada kemampuanmu. Kok diam?

Bagaimana tidak diam kalau kedua tanganku tertambat pada tiang agung. Aku sudah digariskan untuk hancur bersama-sama kendaraan yang bulat tanpa roda ini. Tidakkah kaulihat muntah darahku bersama nanah-nanah dan koreng telah berubah jadi serangga gunung kapur. Tenggorokanku sudah digerogoti kepiting. Binatang bersupit runcing itu mencabut lidahku. Selama di kantor aku banyak berbohong. Aku tega menindas para pegawaiku. Kupotongi honor mereka. Kuperas tenaga mereka. Kupersulit kenaikan jenjang mereka. Lalu di hadapan atasan aku menonjolkan diri, bahwa seluruhnya adalah karyaku. Bahwa segalanya adalah ideku. Maka aku berhak dapat lebih banyak, lebih enak, lebih empuk. Lalu di rumah aku menutup pintu. Tidak kupedulikan para tetangga, mereka datang minta sumbangan. Dan segera kucaci maki. Aku jadi kaya sendiri paling mentereng sendiri.

"Pak, Bapak!" Kudengar lamat-lamat suara anakku yang terkecil. "Benarkah Bapak telah mengakui semuanya? Patutkah perbuatan Bapak selama ini dianggap merugikan orang?"

Kata-kata selanjutnya tidak kudengar. Walaupun demikian sudah cukup membuatku tersenyum dan meringis. Ya, masih banyak lagi yang lebih berat. Manipulasi pun punya tingkatan-tingkatannya, toh bapakmu sudah di dalam arus yang jelek. Yang merugikan orang lain. Ya, biarpun tidak termasuk kategori pernah memperkosa atau membunuh orang. Tidak memberontak atau merampok. Tidak kudeta atau menjual negara. Jelaslah bapakmu bukan orang yang polos. Paling sedikit Bapak sudah kemasukan pengaruhpengaruh negatifsebagai abdi negara, sebagai pegawai negeri.

Sampai di mana mereka tadi melayang-layang? Aku mengawasi dari atas kendaraanku yang aneh berlapis kaca seluruhnya ini. Tahu-tahu mereka melintas lagi di dekatku. Aku melihat perubahan dahsyat. Seperti juga pada tubuhku. Secara berangsur tanganku memucat. Urat-uratnya yang biru kentara sekali mencuat. Lama-lama makin putih. Darah berhenti bergerak. Lalu mengering. Wajah cekung. Mata loncat. Tinggal kelopak. Isi tenggorokanku juga sudah hancur oleh kepiting yang rakus. Oleh sengatan racunnya rambutku yang hitam berubah jadi coklat kemerah-merahan, lalu abu-abu. Begitu putih maka rambut anak-anakku juga ikut berwarna sama. Mereka ubanan semua. Mengapa diikutikutkan berubah jadi ubanan? Apakah artinya rriereka juga harus sama-sama dibebani siksa?

Mata anak-anak, juga istriku, sama-sama copot dari kelopaknya. Mata kedua mertuaku, mata ibuku, mata ipar-iparku serta seluruh keluarga mereka juga. Puluhan biji mata An terbang melesat ke satu jerangkong jerangkongan tanpa busana. Mereka membaur. Tidak bisa dibedakan lagi satu sama lain. Aku tidak bisa mengenali mana yang anak-anak mana pula yang istriku. Aku sepertinya man memelototkan mataku lagi. Aku memanggili mereka. Tidak dengar. Tenggorokanku sudah rusak digerogoti kepiting.

Tidak menghasilkan suara lagi. Gila! Tiba-tiba telingaku bekerja Iebih baik. Suara yang lantang itu tangkap dan aku tahu pula maknanya.

"Tidak ada lagi nama," menggema berulang. Apa maksudnya? Aku pasang lagi telingaku selagi bisa menangkap. "Kalian adalah kalian." Lalu menyusul lagi yang lain, "Kamu adalah kamu." "Lahir sendiri-sendiri, pulang juga sendiri-sendiri." "Aku adalah aku." "Tidak ada suami." "Tidak ada istri." "Tidak mertua tidak ipar." "Tidak ibu." "Sendiri-sendiri!" "Ya, kamu adalah kamu."

Begitu selesai pernyataan-pernyataan aneh ini mendadak tulang-tulang tanganku lepas dari badan. Demikian juga tulang-tulang kakiku lepas dari pinggul. Tengkorak kepalaku lepas dari leher. Dan leher sendiri copot dari persendiannya di antara dua bahu. Semuanya menyatu sesuai bagian masing-masing. Kepala. Paha. Tumit. Tangan. Dan banyak lagi bagian tubuh yang lain.

Aku tidak habis pikir. Siapa yang mengendalikan pemutusan-pemutusan ini? Tetapi biarpun bagian jerangkongku sudah terpisah-pisah anehnya tetap bisa merasa dan berpikir. Dan kendaraan bulat melaju itu tetap berkekuatan tinggi. Tengkorak dan bagian-bagian tubuhku yang lain dilanggar dan dilumatkan. Aku jadi debu. Aku jadi angin. Aku di Kutub Selatan. Di Kutub Utara kemudian ke pusar bumi. Masih juga kendaraan bulat itu mengejarku. Aku sudah terpepet. Luka paling nyeri dan senyeri-nyerinya sudah kurasakan. Toh aku mau diremukkan lagi. Aku sudah menyerah. Rela dijadikan apa saja. Lebih noda dari debu juga tidak bisa mengelak. Pasrah.

Aku sudah sepipih-pipihnya. Aku sudah sehancurhancurnya. Sudah dipojokkan ke ujung bumi yang sesepi-sepinya. Anehnya tiba-tiba tulang-belulang yang terpisah pada muncul entah - dari mana. Menggabung kembali. Berbentuk jerangkong. Lalu menyatu pula claging dan urat-urat nadi dan darah. Datang juga biji mata. Sempurnalah tubuhku. Dengan busana. Demikiaripun tubuh istri dan anak-anakku. Mereka menggapai-gapai. Secepat kilat tangan mereka kutangkap. Kami berpegangan tangan erat-erat.

"Pak! Pak!" teriak anak-anakku kegirangan. Mereka merangkulku. Aku rangkul mereka. Demikian menderitanya mereka selama dipisahkan. Itu tampak pada saat mereka menyatu kembali dalam pelukanku. Mereka ogah dipisahkan lagi jauh jauh. Sama halnya istriku. Di sini rupanya derita yang sudah diresapi dan di sini pula nilai suatu reuni. Anak-anak ceria. Senyum. Mata berbinar. Pipi kemerahmerahan, sehat!
Kedua mertuaku datang tak lama kemudian. Begitu hebat kerinduan telah terobati. Aku dan mereka bersalaman erat-erat. Tangan mereka kucium penuh hormat. Ibu datang. Aku bersimpuh penuh hormat. Ipar-iparku datang. Kami tertawa-tawa, makan dan minum bersama di satu meja.

Horison No. 3-4, Th. XVII, Maret-April 1982

(Kawan-kawan, aku ingin mendokumentasikan beberapa cerpen yang telah kucipta atau yang baru kucipta. Itu semua sebagai contoh perkembangan “karirku” di dalam berkarya. Aku senang memperoleh respon dari kawan-kawan demi kebaikanku. Inilah antara lain yang tersaji) :


BAYANG-BAYANG

Rahmat Ali

S
emula aku naik oplet dari ujung gang. Dilanjutkan bis. Kemudian kereta Jabotabek. Setelah berderak-derak beberapa lama aku jadi tidak sadar apa-apa. Aku jadi tidak tahu waktu. Kayaknya tidak ada batas antara waktu kini atau yang akan datang. Tahu-tahu kurasakan sudah berada di kendaraan bulat berkaca bening. Betapa besarnya di dalam. Semua penumpang termuat. Anehnya aku. melihat istriku di situ. Bersama empat anakku. Ibuku hadir juga. Dia tampak rukun dengan kedua mertuaku. Sebelas orang iparku yang sudah berkeluarga nimbrung, seperti ikut meramaikan perjalanan.

Tidak ayal kalau kami sangat bergembira. Kami dengan seluruh penumpang seperti sedang mengelilingi pulau kecil yang belum pernah disentuh. Banyak pohonan. Tinggi, rindang, subur, dan serba hijau. Di tengah rerumputan yang halus menghampar taman. Dengan sekelompok mawar, gladiol, gerbra, anggrek berbagai jenis. Lalu di cabang-cabang burung balam, nuri, parkit, jalak, dan cenderawasih berceracah, bergantian memperdengarkan siul-siulannya yang merdu. Burung merak memekarkan ekornya yang lebar di belakang. Warna-warna yang kuat tersebut menjadi amat kontras dengan panorama latar belakangnya yang hijau. Masing-masing penumpang merasakan kesejukan, lebih-lebih ketika angin semilir meniup dari lembah di bawah sana. Sungguh perjalanan yang merupakan hadiah. Seketika ter­obat kebosanan-kebosanan rutin. Udara kotor dari dalam dada terpompa keluar. Terganti oleh yang segar dan penuh aroma.

Sayang beberapa detik kemudian terasa gejalanya mau berubah. Mawar dan bunga-bunga yang indah itu tampak gemulai ambles ke bumi. Tanah pasir seperti samudra melanda seluruhnya. Pohon-pohonan hijau terkubur. Unggas­-unggas dengan nyanyiannya yang surgawi menjadi parau mendadak. Kesuburan dan kemewahan bukan hanya pudar tetapi juga sirna. Awan biru jadi kelabu. Di atas pasir yang bergerak itu berjatuhan burung-burung. Bulu-bulunya rontok. Gundul. Terkapar. Semua merubung. Menggerogoti daging dan kulitnya. Seketika habis tidak bersisa. Hanya tinggal tulang-tulangnya.

Atas kejadian kilat tersebut kami dan para penumpang lainnya pada membelalakkan mata. Tidak percaya tetapi nyata. Akhirnya kami menatap ke depan dengan tegang. Kendaraan tumpangan kami yang bulat tetapi tanpa roda itu seperti tetap bisa menggelinding dengan perkasa. Mula-mula hanya istriku yang mual. Lalu pusing. Kemudian anak-anakku mendapat kesulitan yang sama. Demikianpun kedua mertua­ku, ibuku, dan ipar-iparku serta keluarga mereka. Akhirnya aku sendiri. Mualnya bukan kepalang: Demikian pusing kepala sehingga aku merasakan seperti digodam batu gunung Urat-urat di kepalaku terasa sakit yang senyeri-nyerinya. Laju kendaraan tidak terkendali lagi. Semula memang tidak begitu menakutkan, karena masih di atas jalanan yang rata. Tetapi setelah itu seperti dihempas-hempaskan ke jurang. Kendaraan menunjam membolak-balik, tegak, menunjam lagi. Tidak ada yang tidak muntah-muntah. Yang termuntahkan adalah darah dan nanah. Terdengar teriak yang melolong-lolong. Istriku memanggil-manggil namaku. Anak-anakku minta tolong padaku.

"Pegangi tanganku, Paak!" Teriak mereka berulang-ulang. Istriku ikut-ikut menjerit, lebih iba, kepadaku. Anak-anak dan istriku berjuang untuk memegang tanganku kuat-kuat. Menggenggami jari jariku lebih kuat.

"Tolooong...," lengking penumpang lainnya kepada anggo­ta keluarganya yang paling dekat.

Teriakan hanya gema. Tidak punya pengaruh kepada yang sedang membutuhkan. Sama juga dengan tangan istri dan anak-anakku. Mereka terus menggenggam kuat-kuat. Tetapi kekuatan tersembunyi seperti begitu sengit memisahkan. Tanganku lepas dari tangan mereka. Secara sayup-sayup aku masih bisa mendengar teriakan mereka yang menyebut diriku sebagai bapak anak-anakku. Juga sebagai suami tercinta dari Mimi, istriku. Kami melayang-layang. Makin jauh.. Toh masing-masing dari kami masih terus menggapai-gapaikan tangan atau kaki. Sekenanya. Asal bisa mempengaruhi gerak. Agar bisa dekat kembali. Sayang tidak bisa. Sukar. Sisa-sisa kekuatan makin lumpuh. Luruh.

Mengapa pisah. Mengapa tidak sama-sama buat selama­nya? Bukankah kami anakmu, Pak? Aku Mimi, Mas, istrimu. Tangkap aku. Sudah demikian dalam aku terjatuh. Tidak sampai-sampai juga ke dasar. Sampai kapan tubuh istrimu harus hancur, Mas?

Pak, Bapak! Kejar dan tangkap tanganku. Ngeri, Pak. Ngeri sekali.

Anehnya lidahku kelu. Hanya bibirku yang komat-kamit. Aku dengar seinua teriakan panik mereka. Tetapi aku tidak bisa berbuat apa-apa. Sedih sekali. Diriku seperti tertambat pada tiang besar. Aku mendengar kedua mertuaku bersesam­bat tidak beda pula dengan yang sudah-sudah. Bukankah kau menantuku, Li? Kami kan iparmu, Li, mengapa diam saja? Mengapa begitu tega tidak mengulurkan tangan, Li. Kamu mampu memanjangkan tanganmu sampai ke bawah jurang. Percayalah kepada kemampuanmu. Kok diam?

Bagaimana tidak diam kalau kedua tanganku tertambat pada tiang agung. Aku sudah digariskan untuk hancur bersama-sama kendaraan yang bulat tanpa roda ini. Tidak­kah kaulihat muntah darahku bersama nanah-nanah dan koreng telah berubah jadi serangga gunung kapur. Tenggorok­anku sudah digerogoti kepiting. Binatang bersupit runcing itu mencabut lidahku. Selama di kantor aku banyak berbo­hong. Aku tega menindas para pegawaiku. Kupotongi honor mereka. Kuperas tenaga mereka. Kupersulit kenaikan jenjang mereka. Lalu di hadapan atasan aku menonjolkan diri, bahwa seluruhnya adalah karyaku. Bahwa segalanya adalah ideku. Maka aku berhak dapat lebih banyak, lebih enak, lebih empuk. Lalu di rumah aku menutup pintu. Tidak kupeduli­kan para tetangga, mereka datang minta sumbangan. Dan segera kucaci maki. Aku jadi kaya sendiri paling mentereng sendiri.

"Pak, Bapak!" Kudengar lamat-lamat suara anakku yang terkecil. "Benarkah Bapak telah mengakui semuanya? Patutkah perbuatan Bapak selama ini dianggap merugikan orang?"

Kata-kata selanjutnya tidak kudengar. Walaupun demikian sudah cukup membuatku tersenyum dan meringis. Ya, masih banyak lagi yang lebih berat. Manipulasi pun punya tingkatan-tingkatannya, toh bapakmu sudah di dalam arus yang jelek. Yang merugikan orang lain. Ya, biarpun tidak termasuk kategori pernah memperkosa atau membunuh orang. Tidak memberontak atau merampok. Tidak kudeta atau menjual negara. Jelaslah bapakmu bukan orang yang polos. Paling sedikit Bapak sudah kemasukan pengaruh­pengaruh negatifsebagai abdi negara, sebagai pegawai negeri.

Sampai di mana mereka tadi melayang-layang? Aku mengawasi dari atas kendaraanku yang aneh berlapis kaca seluruhnya ini. Tahu-tahu mereka melintas lagi di dekatku. Aku melihat perubahan dahsyat. Seperti juga pada tubuhku. Secara berangsur tanganku memucat. Urat-uratnya yang biru kentara sekali mencuat. Lama-lama makin putih. Darah berhenti bergerak. Lalu mengering. Wajah cekung. Mata loncat. Tinggal kelopak. Isi tenggorokanku juga sudah hancur oleh kepiting yang rakus. Oleh sengatan racunnya rambutku yang hitam berubah jadi coklat kemerah-merahan, lalu abu-abu. Begitu putih maka rambut anak-anakku juga ikut berwarna sama. Mereka ubanan semua. Mengapa diikut­ikutkan berubah jadi ubanan? Apakah artinya rriereka juga harus sama-sama dibebani siksa?

Mata anak-anak, juga istriku, sama-sama copot dari kelopaknya. Mata kedua mertuaku, mata ibuku, mata ipar-iparku serta seluruh keluarga mereka juga. Puluhan biji mata An terbang melesat ke satu jerangkong jerangkongan tanpa busana. Mereka membaur. Tidak bisa dibedakan lagi satu sama lain. Aku tidak bisa mengenali mana yang anak-anak mana pula yang istriku. Aku sepertinya man memelototkan mataku lagi. Aku memanggili mereka. Tidak dengar. Tenggorokanku sudah rusak digerogoti kepiting.

Tidak menghasilkan suara lagi. Gila! Tiba-tiba telingaku bekerja Iebih baik. Suara yang lantang itu tangkap dan aku tahu pula maknanya.

"Tidak ada lagi nama," menggema berulang. Apa maksudnya? Aku pasang lagi telingaku selagi bisa menangkap. "Kalian adalah kalian." Lalu menyusul lagi yang lain, "Kamu adalah kamu." "Lahir sendiri-sendiri, pulang juga sendiri-sendiri." "Aku adalah aku." "Tidak ada suami." "Tidak ada istri." "Tidak mertua tidak ipar." "Tidak ibu." "Sendiri-sendiri!" "Ya, kamu adalah kamu."

Begitu selesai pernyataan-pernyataan aneh ini mendadak tulang-tulang tanganku lepas dari badan. Demikian juga tulang-tulang kakiku lepas dari pinggul. Tengkorak kepalaku lepas dari leher. Dan leher sendiri copot dari persendiannya di antara dua bahu. Semuanya menyatu sesuai bagian masing-masing. Kepala. Paha. Tumit. Tangan. Dan banyak lagi bagian tubuh yang lain.

Aku tidak habis pikir. Siapa yang mengendalikan pemutusan-pemutusan ini? Tetapi biarpun bagian jerang­kongku sudah terpisah-pisah anehnya tetap bisa merasa dan berpikir. Dan kendaraan bulat melaju itu tetap berkekuatan tinggi. Tengkorak dan bagian-bagian tubuhku yang lain dilanggar dan dilumatkan. Aku jadi debu. Aku jadi angin. Aku di Kutub Selatan. Di Kutub Utara kemudian ke pusar bumi. Masih juga kendaraan bulat itu mengejarku. Aku sudah terpepet. Luka paling nyeri dan senyeri-nyerinya sudah kurasakan. Toh aku mau diremukkan lagi. Aku sudah menyerah. Rela dijadikan apa saja. Lebih noda dari debu juga tidak bisa mengelak. Pasrah.

Aku sudah sepipih-pipihnya. Aku sudah sehancur­hancurnya. Sudah dipojokkan ke ujung bumi yang sesepi­-sepinya. Anehnya tiba-tiba tulang-belulang yang terpisah pada muncul entah - dari mana. Menggabung kembali. Berbentuk jerangkong. Lalu menyatu pula claging dan urat-urat nadi dan darah. Datang juga biji mata. Sempurnalah tubuhku. Dengan busana. Demikiaripun tubuh istri dan anak-anakku. Mereka menggapai-gapai. Secepat kilat tangan mereka kutangkap. Kami berpegangan tangan erat-erat.

"Pak! Pak!" teriak anak-anakku kegirangan. Mereka merangkulku. Aku rangkul mereka. Demikian menderitanya mereka selama dipisahkan. Itu tampak pada saat mereka menyatu kembali dalam pelukanku. Mereka ogah dipisahkan lagi jauh jauh. Sama halnya istriku. Di sini rupanya derita yang sudah diresapi dan di sini pula nilai suatu reuni. Anak-anak ceria. Senyum. Mata berbinar. Pipi kemerah­merahan, sehat!
Kedua mertuaku datang tak lama kemudian. Begitu hebat kerinduan telah terobati. Aku dan mereka bersalaman erat-erat. Tangan mereka kucium penuh hormat. Ibu datang. Aku bersimpuh penuh hormat. Ipar-iparku datang. Kami tertawa-tawa, makan dan minum bersama di satu meja.

Horison No. 3-4, Th. XVII, Maret-April 1982

VERBELDING
Tekst : Rahmat Ali
Vertaling : Barry Muchtar, Harold Bergsma
Een subtiele manier om kritlek te leveren is de indirecte van beeldspraak en fantasie. Een nachchtmerrieachtige fantasie over de ontbinding van lichamen en het uiteenvallen van famileverbanden is het spookbeeld dan ieman achtervolgt die als ambtenaar misbruik heeft genmaakt van zijn positie ten koste van zijn ondergeschikten en zich voor zijn hulpbelhoevende naasten afsloot in zijn rijkdom.
Ferst stapte ik in ik een bustaxi aan het eind van de steeg. Daarma ging ik met een bus. Toen met de trein Jabotabek. Na een hevig gekraak dan enige tijd duurde, viel ik in zwijm. Ik wist niet eens meer hoe laat het was. Het leek alsof en geen grens was tussen nu en later. Opeens bevond ik me in een rond voertuig met helder glas. Wat groot was het daar binnen. Alle passagiers hadden er een plaats gevonden. Vreemd genoeg zag ik daar mijn vroum. Samen met mijn vier kinderen. Mijn moeder was er ook. Ze kon het zo te zien goed met mijn beide schoonouders vinden. Elf mensen rren ook al van de partij, alsof ze meereisden ter opvrolijking van het geheel.
Zonder twijfel vermaakten we ons best. Met alle andern maakten we een soor rondreis op een klein ongerept eiland. Veel boompartijen. Hoog, bladerrijk, vruchtbaar en alles was groen. Midden in en weiland vol fijn grasstrekte zich een tuin uit. Met bedden vol rozen, gladiolen, gerbera’s en verschillende soorten orchidereen. Verder, op de takken duiven, papegaaien, parkieten, spreeuwen en kwetterende paradijsvogenls, die beurtelings hun lieflijk gefluit ten gehore brachien. Pauwen spreidden hun staarten wijd uit. De heldere kleuren ervan vormden een tel contrast met de groene achtergrond. Stuk voor stuk voelden de passagiers de koelte, temeer toen een zacht windje opstak uit dal beneden hen. Dereis werd eeht als een geschenk ervaren. Ogengblikkelijk was men genezen van deverveling van de routine. De vieze lucht in hun longen werd eruit geblazan. Vervangen door frisse lucht vol aroma.
Helaas waren er later tekenen die wezen op verandering. Derozen en de andere mooie wiegende bloemen neigden naar de aarde. De zanderige grond zo wijd als een oceaan bedekte alles. He groene geboomte was begraven. Het gevolgelte met hun hemels gezan werd plotseling schor. De vruchtbaarheid en de weelderigheid waren niet slechts afgenomen, maar verdwenen. De blauwe lucht wer grijs. Op het voortschuitvende zand vielen vogels neer. Hun veren veielen uit. Kaal lagen zeher en der verspreid. Alles kwam erop af om aan het vless en de huid te kanbbelen. Ze lieten allen de botjes over.
Door deze plotselinge verschijnselen hadden we onze ogen opengesperd. We konden het niet geloven, maar toch was het werkelijkheid. Ten slotte keken we gespannen naar voren. Ons ronde vervocmiddel zonder wielen zou vast en zeker met geweld door kunnen rollen. Aanvankelijk werd allen mijn vrouw misselijk. Toen duitzelig. Vervolgens kregen mijn kinderen dezelfde problemen. Evenals mijn beide schoonouders, mijn moeder en mijn schoonfamilie met hun gezinnen. Ten slotte ik zelf. Ik werd ontzettend misselijk. En zo duidelijk da ik het gevoel had een klap van een rotsblok gehad te hebben. Ik had een stekende hoofdpijn. De vaart van het voertuig was niet meet te beteugelen. In het begin was dat niet zo eng, want we zaten nog op een vlakke weg. Maar daarna leek het voertuig neergesmeten te worden in een ravijn. Het duikelde loodreeht omlaag en ging een paar keer over de kop. Iedereen moest overgeven. Het braaksel beston uit bloed en etter. Kermend geschreeuw was te horen. Mijn vrouw riep telkens mijn naam. Mijn kinderen vroegen mij om hulp.
“Pak mijn hand, pap!”, riepen ze telkens. Mijn vrouw schreewde met ze mee, nog klaaglijker. De Kinderen en mijn vrouw voehten om het hardst om mijn handen vast te houden. Ze grepen mijn vingers nog steviger vart.
“Hellup....”, gilden de andere passagiers naar hun familieleden die het dichtstbij stonden.
Het gesechreeuw eehode steeds terug. Het had geen involed op hen die ze nodig hadden. Zo was het met de handen van mijn vrouw en kinderen. Ze bleven maat om het hardst knijpen. Maar het was alsof een verborgen kracht een wrede scheiding teweeg brachat. Mjin handen waren los van hun handen. Vaag kon ik hun geroep nog horen dat mij noemde als de vader van mijn kinderen. Ook als geliefde man van Mimi, mijn vrouw. Wij zweefden uiteen. Steeds verder. Toch gingen we elk voor zich door met ons vast te grijpen aan een hand of een voet. Wat we maar te pakken konden krijgen. Als we onze bewegingen maar konden beersen en weer dicht bij elkaar komen. Helaas ging het niet. Te moeilijk. Onze kracht verlamde steeds meer. Vieweg.
“Waarom ziin we niet voor altijd bij elkaat? We zijn toch he kinderen, pap?”. “Ik ben Mimi, schat, jc vrouw, Grijp mij vast.” Ik zakte steeds dieper weg zonder grond tevoelen. “Hoelang wordt het lichaam van je vrouw aan de vernietiging blootgesteld, schat?”
“Pa-ap, papa! Vlig, pak mijn hand. Ik vind het eng, pap. Erg eng.”
Vree,d genoeg kon ik geen woord nitbrengen. Slechts mijn lippen mompelden wat. Ik hoorde al het geschreeuw van hun paniek.
Maar ik kon nier\ts uitrichten. Ik was erg verdrietig. Zelf voelde ik me als het ware vastgebonden aan een grote paal. Ik hoorde mijn beide schoonouders net zo klagen als vroger. “Je bent toch mijn schoonzoon. Li,. We zijn toch je schoonfamilie, Li, waaron zwijg jedan? Waarom ben je zo hardvochtig dan je jehand niet uitsteekt, Li. Je bent toch we in staat om je handen uit te strekken naar beneden in het ravijn. Vertrouw op je capacieit, Blijf je zwijgen?”
Wat kun je anders doen dan zwijgen als je beide handen vastgeboncen zitten aan een grotepaal. Ik ben berstemd voor de vernietiging samen met het ronde voertuig zonder wielen. Zie he niet het braaksel van mijn bloed samenmet etter al veranderan in een berg kalk? Mijn keel wordt al aan gervreten door krabben. Met hun puntige scharen trekken die beesten mijn tong eruit. In de tijd dat ik op kantoor zat, loog ik veel. Ik was zo hardvochtig dat ik mijn personeel onderdrukte. Ik jortte op hunsalaris. Ik buitte hen uit. Ik bemoeilijkte hun promotie. Dan bracht ik tenover mijn meerderen naar voren, dan alles mijn werk was. Dat alles mijn idee was. Dan had ik ook het recht op het meeste, jet lekkerste, het prettigste. Dan deet ik thuis mijn deur dicht. Ik bekommerde me niet om mijn buren, als ze me om steun vroegen. Meteen schold ik ze uit. Terwijl ik rijke het zelf ‘t mooist voor elkaar had.
“Pap, papa!” horde ik sleehts vaag de stem van mijn jongste kin. “Heb je dat allemaal echt bekend? Heb je tot nutoe de mensen echt kwaad gedaan?”
Wat hij verder zei, verstond ik niet, Hoewel wat ik gehord had, al genoeg was om me te doen glimtachen en grijnzen. Ja, er was nogveel meer, dan ook nog erger was. Er bestaan manipulaties in verschillende gradaties, toch bevond je vader zich al in eem kwade fase. Die andere mensen benadeelde. Ja, hoewel het nog niet valt onder de categorie van verkrachtingen en moorden, van opstand of roof. Geen staatsgreep of landverraad. Het is duidelijk dat je vader niet meer zuiver is. Op zijn minst was hij al negatief beinvloed als staatsdienaar, als rijksambtenaat.
Waarheen waren ze zojuist gevlogen? Ik lette op vanaf mijn vreemde voertuig dat rondom helemaal van glas was. Opeens schoten ze weer vlak me. Ik zag een geweldige ver andering. Zoals ook bij mijn lichaam plaats vond. Geleidelijk werden handen bleek. De blauwe aders verden steeds meer zicht baar. Langzamerhand ook nog bleek. Het bloed hield op te vloeien. Dan droogde het op. Mijn wangen vielen in. Mijn ogen sprongen cruit. De oogleden bleven achter. De inhoud van mijn strot was al vernietigd door gulzige krabben. Door hun giftige steken was mijn haar roodbruin geworden, bervolgens grijs. Toen het zo wit was kreeg ook het haar van mijn kinderan dezelfde kleur. Waarom waren zij ook grijs geworden? Betekende het dat zij dezelfde martelingen ondergingen?
De ogen van de kinderen, ook van mijn vrouw, waren allemaal losgekomen van hun oogleden. Zo ook de ogen van mijn beide schoonouders, de ogen ban mijn moeder, de ogen van mijn schoonfamilie samen met hun gezinnen. De tientallen ogen vlogen weg naar een geramte zonder keleding. Ze werden gelijk aan elkaar, zodan de een niet van de ander te onderscheiden was. Ik kon niet meer te weten komen waar die ban mijn kinderen waren gebleven of die van mijn vrouw. Ik wilde mijn ogen als het ware weer wijd opensperren. Ik riep om ze. Maar ze hoorden me nier. Mijn keel was al kapot geknaagd door die krabben. Hij kon geen geluid meer produceren. Idioot! Plotseling functioneerden mijn oren beter. Ik ving een duidelijke stem op. Ik wist ook wat het betekende.
“Er ziin geen namen meer”, weerklonk het herhaakdelijk.
Wat was daar de bedoeling van? Ik spitste mijn oren zolang ik nog wat kon opvangen.
“Jullie zijn jullie,” Toen kwam er een andere stem achteraan. “Jij bent jij.”
“Afzonderlijk geboren, ook afzonderlijk heengegaan.”
“Ik ben ik.”
“Er is geen echtgenoot.”
“Er is geen echtgenote.”
“Noech schoonouders, noch schoonfamilie.”
“Noch moeder.”
“Afzonderlijk.”
“Ja, jij bent jij.”
Zodra deze vreemde uitspraken eindigden, kwamen de botjes van mijn handen plotseling los van mijn lichaam. Zo ook de botjes van mijn benen van mijn oderlichaam. De strot van mijn hoofd los van mijn nek. Mijn nek zelf raakte los van fundament, tussen de beide sxhouders. Soort bij soort kwamen alle onderdelen bij elkaar. Hoofden bij elkaar, dijen, hielen en handen. En nog veel meer lichaamsdelen.
Ik snapte er helemaal niets van. Wie had er de hand in dat die onderdelen ban elkaar losraaken? Maar hoewel mijn geramte uiteen was geballen, kon ik vreemd genoeg nog voelen en denken.
Het ronde voertuig ging voortdurend met hoge snelheid vooruit. Het skelet en de andere delen ban mijn lichaam werden aangereden en verpulverd. Ik werd stof. Ik werd wind. Ik was op de Zuidpool. Op de Noordpool en dan naar de navel van de aarde. Nog steeds achtervolgde mij het ronde voertuig. Ik was klem gereden. De pijnklijkste wonden en de ergste pijnscheuten had ik al gevoeld. Toch wilde ik nog eens verbrijzeld worden. Ik had me al overgegeven. Bereid om wat ook te worden. Een grote schande dan stof kon me niet te wachten staan. Ik gaf me over.
Ik was al zo verpletterd als het maar kon. Ik was in het nouw gedreven aan het einde der aarde die zo eenzaam was als maar mogelijk. Vreemd was het dan plotseing alle afzonderlijke botten weer verschenen en ik wist niet waarvandaan. Ze groepten weer samen. En vormden een generaamte:’ vlees, slagaders en bloed. Ook de ogen kwamen. Compleet was mijn lichaam. Met kleding en al. Zo ook de liehamen van mijn vrour en mijn kinderen. Ze grepen elkaar vast. In een oogwenk had ik hun handen vast. We hielden elkaars handen stavieg vast.
“Pap! Pap!”, schreeuwden mijn kinderen blij Ze omhelsden me, Ik omhelsde hen. Ze hadden er zo onder geleden zolang van mij gescheiden te zijn. Dan werd duidelijk op het moment van de hereniging bij de omhelzing. Ze eilden nooit zo ver van mij gescheiden worden. Zo was het ook met mijn vrouw. Hier werd duiddelijk hoe zeer het leed hen had aangegrepen en hier bleek ok de waarde van een hereniging. De kinderen straalden. Glimlachten. Hun ogen schitterden. Ze hadden een gezonde blos op hun wangen.
Mijn beide schoonouders kwamen jort daarna. Wat verschirikkelijk blij waren we dat we bij elkaar waren. Wij begroetten elkaar stevig. Vol eerbied kuste ik hun handen. Moeder kwam. Ik kneielde vol eerbied. Mijn schoonfamilie kwam. We lachten, aten en dronken gezamenlijk aan een tafel. (Indonesia Magazine 1992).

0 Comments:

Post a Comment

<< Home