Wednesday, May 10, 2006

MALANG KOTA TERCINTA,
MALANG YANG TAK TERLUPAKAN
/ Rahmat Ali
I.
PEMBUKA
Ada beberapa indikator kuat untuk membenarkan seseorang itu berasal dari kota Malang atau paling sedikit dari Surabaya. Yaitu dari gaya bahasa JawaTimuran-nya. Di dalam berbicaranya selalu pakai kata-kata "kon" atau "ko-ện" (kamu), "ndik" atau "ệndik" (di), "yok opo sé..éééééé?" (bagaimana/gimana sih?), "nangdi?" (ke mana?), “molih” (pulang). Termasuk juga slank atau kata balikan khas Malang antara lain "wanyik nès hoo" (ini bagus kawan"), "kadit" (tidak), "ayas" (saya), "kèra Ngalam" (arek Malang), "raijo kanyab" (banyak duit), "ayakmèn" (orang kaya), "èbès" (bapak), "kèwut" (tua), “ngalup” (pulang), “amrin” (pacar) dan banyak lagi. Tidak dilupakan kata maki-makian, yang bukannya tidak sopan atau buruk namun justru itu menunjukkan akrab. Karena sudah lama tidak ketemu maka seorang kawan langsung menegur: "Héi diancuk suwé gak ketemu nangdi aé ko-ên?" (Hai kawan lama tidak ketemu ke mana saja kamu?) Begitu juga kata-kata "jangkrik!", "diamput!", "bêdès!" (monyet) dll-nya yang diucapkan keras-keras tanpa malu di hadapan orang banyak sambil tertawa cekakak-cekikik. Begitulah beberapa indikator seseorang itu dari kota Malang alias "Arema". Tidak adalah kata-kata yang demikian diucapkan oleh warga kota lain di Indonesia bahkan di seluruh dunia kecuali di kota Malang.

I.
MASA SEKOLAH
Kotaku Malang dengan udaranya yang sejuk karena dikelilingi banyak gunung serta candi serta peninggalan bersejarah serba unik lainnya, merupakan lahan cerita tak pernah habis-habis dalam hidupku. Awal-awalnya mengapa aku di kemudian hari memilih profesi tukang bercerita alias penulis adalah berkat di SD Blakangloji, sekolah negeri yang banyak dilupakan. Di situ Bu Endang dan guru-guru lain umumnya wanita telah mengajarkan dasar-dasar ilmu serta motivasi pada diriku untuk gemar membaca, membaca dan membaca, ditambah agar mencintai kesenian di samping tidak lupa berolahraga.
SD Blakangloji di Malang waktu itu, awal tahun 1950-an memang benar-benar memungkinkan kami murid-muridnya maju. Dulunya ALS (Algemene Lagere School) atau SR/Sekolah Rakyat. Halamannya luas di depan, terutama lagi di belakang--- memberi kami peluang berlari-lari, berlempar-lemparan bola kasti, bal-balan dan juga permainan lainnya. Dia waktu itu merupakan satu-satunya sekolah yang menerapkan amat pentingnya koordinasi antara para orangtua murid dan para guru. Dari yuran-yuran para orangtua akhirnya terselenggara sistem peningkatan pelayanan dan perhatian terhadap para murid a.l. menyediakan air minum matang di wadahnya yang higienis untuk kami yang haus saat istirahat dan secara rutin sebulan sekali mendatangkan dokter memeriksa kesehatan, terutama telinga, hidung, tenggorokan serta gigi. Saat begitulah semua murid diperiksa teliti. Termasuk aku. Gigi lubang perlu dibor kemudian ditambal pakai timah hingga tertutup rapi tidak usah dicabut. Selanjutnya sampai sekarang gigi-gigiku penuh plombiran namun tetap utuh.
Selain itu kami murid-murid tiap bulan rutin memperoleh pembagian selusin buku tulis serta mata pena sekaligus. Saat itu pada bangku kami masing-masing disediakan pot kecil dari gelas isi tinta. Pihak sekolahlah yang menyediakan tinta di botol besar. Tiap pagi kami memeriksa pot tinta. Jika ternyata berkurang kami ramai-ramai antri di gudang untuk mengisikan tinta baru ke pot. Tradisi waktu itu para murid memang harus menulis pakai tangkai kayu.
Mata pena yang sudah tebal oleh endapan tinta celup bahkan seperti berkarat menjadikan kurang efektip dipakai menulis. Dengan mata pena baru bentuk tulisan pada kertas bisa "runcing". Agar tidak kotor kami harus bermodal "flui" (pengisap tinta). Dengan begitu akan lebih cepat kering tulisan di kertas. Fasilitas lain yang bisa menambah pengetahuan dan wawasan kami di luar pelajaran adalah tersedianya perpustakaan kecil yang oleh Bu Endang dibuka tiap istirahat. Buku-bukunya baru dibeli dari toko dan memuat berbagai disiplin meliputi sejarah, falsafah, pengetahuan tentang berbagai bangsa di dunia dan lain-lainnya. Keadaan buku telah tersampul rapi, lengkapi nomor perpustakaan. Kami maksimal dibolehkan meminjam seminggu kemudian harus kembali. Sayangnya buku-buku roman amat cepat dipinjam kawan-kawan kelas lain. Aku hanya mendapatkan buku biasa-biasa saja, kurang terkenal.

Padahal waktu itu aku menginginkan roman seperti "Salah Asuhan", "Sitti Nurbaya", "Tenggelamnya Kapal van der Wijck", "Layar Terkembang", "Atheist" dan lain-lain yang amat "top" zaman itu. Agar supaya tidak ketinggalan kawan-kawan sekelas yang maniak baca, aku mencari akal dengan mendaftar jadi anggota perpustakaan Departemen P & K Jl. Arjuna. Di situ aku jadi kenal petugasnya yang ramah, Pak Wid, yang hafal di luar kepala judul buku-buku sastra. Di situ pula aku berhasil memperoleh buku bagus antara lain: "Mereka yang dilumpuhkan", "Di sudut-sudut Balkan", "Winnetou" serta "Sebatang Kara"-nya Hector Malot dan lain-lain. Waktu itu aku baru kelas 5 mau naik ke kelas 6.
Seseorang bisa dilihat kefasihan berbahasanya dari cara membaca di kelas. Bu Endang itulah yang mentes kami dalam membaca secara cepat namun berseni. Pembacaan bergilir namun mendadak. Jadi tiap murid menyimak sebaik-baiknya penuh waspada jika tidak ingin gelagapan kemudian dimarahi Bu Endang. Cukup satu dua paragrap saja dibaca. Atas penampilan yang ditunjuk membaca, dengan mudah bisa disimpulkan, seseorang sering membaca atau tidak. Di kelas pula kami sering ditanya Bu Endang apa saja isi salah satu buku. Yang ditanya segera memaparkan. Akan malulah murid yang diam saja. Berarti tidak pernah pinjam buku di perpustakaan.
Ukuran Bu Endang kecil, mungkin tinggi tidak lebih dari 150 senti. Dia beda dari guru-guru lain yang sudah berumahtangga. Dia belum bersuami juga. Tampaknya mempertahankan tetap berstatus lajang. Karena itu pagi-pagi sekali sudah siap di kelas. Roknya selalu terusan rapi. Rambut dikelabang namun dilekatkan lagi melingkar di kepala. Kuku tangan dipotong runcing, terpelihara. Dialah yang mengajar bahasa Indonesia dan mempersiapkan kami agar lulus dengan baik.
Guruku yang lain Bu Imam, mengajar tumbuh-tumbuhan. Yang kuingat di antaranya dia mengajar kami perkembangan kacang mulai dari biji sampai tumbuh tunas, lalu tampak batang kemudian berdaun dan seterusnya. Selain itu Bu Imam juga merangkap mengajar kesenian. Yang diutamakan seni suara. Kawan-kawan yang menyanyi kor. Aku ditugaskan sebagai tukang seruling. Serulingku bambu yang kubeli di pasar. Karena tiap hari pelajaran menyanyi aku sebagai penyulingnya aku terbiasa selalu ditunjuk. Makanya di rumah aku berlatih agar penyajian di kelas tidak mengecewakan Bu Imam.

Ukuran fisik bangunan SD-ku cukup besar dan luas. Di belakang gedung sekolah berbentuk U terbalik terbentang halaman luas tanpa rumput, bisa dimanfaatkan untuk bermain kasti, badminton dan "yokari" (pukul bola tenis terikat tali karet panjang, alat pemukulnya berwujud tampel kayu). Di tengah halaman tersebut beringin tinggi dan kokoh serta rindang. Di sebelahnya berdiri rumah tua ditempati Pak Kebon. Dia yang bertanggungjawab keamanan dan kebersihan sekolah. Isterinya diizinkan Ibu Kepala Sekolah berjualanan makanan untuk para murid saat beristirahat. Toh pagi-pagi para murid sudah banyak berkerumun-kerumun di warung Pak Kebon untuk ngobrol sambil jajan tahu petis, yang lain menikmati "menjes" (tempe bungkil tepung gorengan), "rondo royal" alias "janda matrek" yang tidak lain tape goreng dan "kontol kambing" (memang nama porno hingga para murid wanita suka memendekkannya saja "kambing", kuwe kacang ijo dua kepalan kecil gorengan). Minumannya belum ada botolan atau aqua seperti abad ke 21 sekarang. Saat itu cukup segelas teh hangat, kopi atau kacang ijo.
Di depan gedung sekolah terbentang halaman cukup luas pula ditumbuhi beringin besar di tengahnya. Halaman depan ini ditabur kerikil. Jika orang berjalan di atasnya akan terdengar gesekan atau saling beradunya antara batu kerikil yang satu dengan lainnya. Lalu di depannya lagi berdiri pagar tembok setinggi satu setengah meter sebagai pembatas dari jalan raya yang dilewati pejalan kaki dan kendaraan umum. Guru-guru yang datang dan pulangnya belum ada yang membawa kendaraan, bersepeda pun tidak. Umumya naik becak.
Satu-satunya guru lelaki di sekolahku hanya Pak Yusuf. Agaknya waktu itu dia baru lulus dari Sekolah Guru. Jadi belum luwes mengajar kami. Kepada kawan-kawanku perempuan dia canggung sekali. Dia guru olahraga. Kami biasa berlatih kasti di lapangan rumput di Sawahan. Ke sananya kami berjalan kaki ke arah selatan kira-kira dua kilometer. Pulangnya juga berjalan kaki. Waktu itu rata-rata kami masih tidak bersepatu. Aku bercelana pendek. Yang hebat di dalam kasti, Krisna. Usianya paling tua di antara kami semua sekelas. Tampelannya keras sekali. Bola terpukul jauh sampai di luar garis. Kalau tanding lawan sekolah lain dialah jago kami. Pasti lawan terkecoh. Sekolah kami menang. Krisna hero.

Namun di bidang lain, maksudku pelajaran-pelajaran di kelas, dia lemah. Boleh dikata banyak nilai jeblok. Mungkin anggapannya kasti saja pelajaran yang paling penting, lainnya tidak. Aku tidak tahu di mana Krisna sekarang.
Beberapa belas tahun berselang setelah aku tinggal di Jakarta, bekas SD Blakangloji yang penuh kenangan tersebut rupanya telah sirna ditelan bumi. Telah dibimsalabim jadi rumah milik cukong kota Malang. Entah pejabat mana dan periode walikota siapa akhirnya SD Blakangloji yang luas dan rindang jadi pindah hak. Padahal gedung tersebut telah berjasa di dalam mencetak para putera bangsa. Kok sangat mentolo-mentolonya sang oknum pejabat bikin rekayasa hingga gedung sekolah untuk rakyat dijual kepada cukong. Apa alasan dan motipnya? Padahal setelah diteliti, di depan gedung SD Blakangloji itu terdapat bekas ditemukannya prasasti peninggalan raja Airlangga!

II.
MASA BERMAIN & BERTUALANG
Saat bersekolah memang amat indah. Banyak kawan. Beberapa dari wajah mereka masih bisa kubayangkan. Banyak pula kesan, baik yang bagus maupun buruk. Yang baik dan menyenangkan saat gurau dengan kawan-kawan sekelas dengan topik obrolan aneka macam. Juga dengan kawan-kawan sekampung. Yang buruk dan tidak membahagiakan serta paling menohok menyakitkan: saat Bapak meninggal mendadak. Akibatnya aku yang baru usia 8 tahun tidak seperti kawan-kawan sekolah yang masih punya ortu lengkap. Beaya apa saja pada mereka dari Bapak, apa dia sebagai pekerja, pegawai biasa, guru, tentara, polisi, atau pedagang dll-nya. Sedangkan aku sendiri? Bayangkan, yang membeayai sekolahku hanya Bunda satu-satunya. Karena aku anak lelaki dari dua anak, saat kematian Bapak aku merasa jadi dewasa sebelum waktu. Mauku cepat-cepat tamat sekolah, bekerja dapat hasil. Nyatanya tidak. Masih lama. Harus menjalani hampir segalanya proseduril. Aku harus pandai-pandai gaul dengan kawan baik di lingkung sekolah maupun lingkung kampung semua demi terhiburnya diriku. Jika tidak demikian aku bisa "nelongso" (sedih dukana) terus dan akhirnya menderita tbc berat. Aku tidak mau mengalami nasib begitu sedih dan bodoh.
Tidak ada jalan lain sehabis pulang sekolah dan makan di rumah sekedarnya, aku manfaatkan waktuku banyak-banyak untuk main dengan kawan sekampung. Aku jadi tahu betul mainan zaman itu, mulai dari "entik" (memukul kayu sejengkal pakai kayu lebih panjang sedikit, ada yang jaga di depan, kalau kayu yang dipukul melayang bisa ditangkap berarti ganti giliranlah yang jaga. Kalau tidak, pihak penjaga, begitu kayu yang dipukul jatuh di tanah haruslah melempar balik, dan pihak yang sudah memukul bisa memukul lagi. Lalu dari titik jatuh, dihitung pakai gagang kayu. Jika saat memukulnya ganda, dan tetap kayu yang melayang tidak bisa ditangkap, menghitungnya boleh pakai peniti hingga amat banyaklah jumlahnya), "sepaktekong" (menendang kaleng ukuran bekas kaleng susu sampai ke jalanan besar yang penuh kendaraan), "kenekeran" alias main kelereng, "kekehan” (adu gasing kayu ujung berpaku dibentuk menyerupai kapak pembelah gasing lawan), mengejar layang-layang putus, mencari buah asam yang telah jatuh di tanah, memanjat buah tanjung di halaman gedung kabupaten, sampai main bola di Alun-alun atau terjunan dari buk (tembok) jembatan "Splendid" ke lubuk sungai Brantas yang lokasinya tepat di bawah sekali.
Berkat tiap sore tak perduli panas hujan terus saja main bola di Alun-alun, tim kami sering menang di pertandingan-pertandingan antar kampung. Yang dipergunakan gol kami tidak lain ya baju-baju ditumpuk di sebelah kanan kiri kiper. Kami bertelanjang dada, kaki cekeran tanpa pelindung berupa sepatu. Waktu itu zamannya "bola perut ayam" (bola putih murah mudah meletus atau gembos). Resiko lainnya jika melanting ke jalan raya. Banyak tergantung ke masing-masing sopir. Kalau mengerti itu bola kami, sopir akan ngerem hingga bola selamat dari gilasan. Jika sopir raja tega dan terus saja mengegas, meletuslah bola grup kami satu-satunya. Kami harus urunan lagi beli baru. Saat berikutnya main bola kami lebih meningkat. Tidak lagi pakai "bola perut ayam". Ganti bola karet: lebih tebal, lebih kuat dan tentu saja lebih mahal sedikit (kami urunan sepuluh senan, kurs nonton bioskop zaman tahun 1950-an itu 50 sen kelas kambing, jika beli pada calo jadi 75 sen. Itu cukup mahal buat kami anak-anak). Biarpun bola karet, karena tiap hari berlatih, sundulan kepala maupun tendangan kami pakai kaki kanan atau kiri cukup bagus, bisa dibanggakan orang lain.

Tidak sombong, kami bisa bagi-bagi bola mungkin lebih kompak dari permainan orang dewasa di stadion. Mahir mendribel bola, mengecoh apalagi. Kaki masih cekeran saja, belum masanya pakai sepatu bola seperti orang dewasa. Kalau kebetulan kena batu ya berdarah-darahlah jari kaki kami. Kalau beradu antara kaki dengan kaki ya berakibat keseleo dan kesakitan. Saat berlangsung pertandingan besar di stadion pasti kami aegrup nonton. Istilah kami “browot”, masuk tanpa beli karcis lewat pagar yang banyak ditumbuhi pohon lamtoro alias petai Cina. Biar dilapisi kawat duri kami bias saja menyilang-nyilangkan badan. Yang jaga keamanan pasti kuwalahan karena yang membrowot jauh lebih banyak. Bukan anak-anak sepantaran kami saja, bahkan orang-orang dewasa nimbrung pula. Justru mereka yang seperti panutan kami. Jika penjagaan benar-benar ketat maka kami memanjat pohon yang tumbuh tegak dan banyak dahan serta cabangnya yang menjorok ke dalam pagar stadion. Dari atas pohon tampak jelas namun harus waspada, jangan sampai jatuh (kini pagar hidup pohon-pohon lamtoro sudah dipangkas, diganti tembok kokoh, tidak mungkin lagi menerobos). Yang paling enak memang nonton di dalam. Bisa melihat pemain-pemain Malang berlaga. Waktu itu kiper Persema adalah Mursanyoto, hebat dia. Dia seperti Paijo juga pernah dipilih jadi kiper PSSI. Sebagai bek adalah Gisman. Lawan bebuyutan Persema adalah Persibaya. Mereka punya penyerang San Liong dan beknya Sidi. Mereka ini pemain PSSI. Pernah juga PSM dari Makassar datang bertanding melawan Persema. Waktu itu penyerangnya Ramang. Dia lebih hebat lagi, larinya kilat tak terduga, tendangannya bertubi-tubi ke gawang, mungkin setaraf Pele. Hanya Ramang kalah ekspos. Buktinya ketika PSSI melawan kesebelasan Rusia di Melbourne, Australia, mampu bertahan mati-matian hingga skor tetap 0 - 0. Saat diulang lagi esoknya jelas PSSI keok karena kelelahan sekali.
Aku selain pemain kiri luar pernah juga menjadi penjaga gawang di dalam tanding-tanding. Pada suatu hari aku menangkap bola rendah dan saat itu juga kaki seorang penyerang tepat menendang mukaku. Mulut, pipi dan mataku bengkak. Untuk beberapa hari aku tidak masuk sekolah. Toh aku tidak kapok-kapok ke Alun-alun lagi untuk main bola.

III.
TUALANG KE PUSAT-PUSAT WISATA
Karena jarang sekali mendapat bekal uang dari Bunda seringlah aku tidak bisa ikut acara-acara sekolah dalam rangka darmawisata. Lebih baik tinggal di rumah. Sebagai ganti pada kesempatan lain aku dengan beberapa kawan sekampung pergi ke beberapa pusat wisata secara jalan kaki saja. Pertama-tama kami ke pemandian Wendit, sekitar 8 km timur laut kota Malang. Kami tidak lewat jalanan utara via Blimbing kemudian setelah itu belok kanan. Yang kami tempuh perjalanan potong kompas via Rampal, lalu menyusur Kali Sari yang turapnya di sepanjang pinggir tampak lurus. Meneruskan berjalan melewati jalanan setapak sepanjang pinggiran kebun kangkung yang mengambang di atas permukaan air. Justru mulai dari sini perjalanan kami sudah mendekati sumber air yang berwujud danau besar bernama Wendit. Nama aslinya Walandit, daerah perbukitan rindang yang di kakinya penuh sumber hingga akhirnya menjadi danau.
Sejak zaman Singosari bahkan sebelumnya daerah Wendit sudah ada. Lalu pada zaman Ken Arok dijadikan desa "perdikan" dan diperuntukkan bagi para petugas agama, bebas pajak. Yang istimewa dari tempat wisata Wendit ini kera-keranya. Mereka turun dari pohon-pohon jati di gundukan bukit kemudian mengangakan mulut. Bukannya mau menggigit. Hanya minta perhatian. Artinya agar diberi makanan berupa kacang, ketela, jambu, salak, singkong atau pisang rebus. Penduduk sekitar danau memanfaatkan tempat rekreasi Wendit untuk berjualan makanan dan souvenir. Yang mereka jual rujak cingur, pecel dan kolak. Air tawarnya di kendi sebagai minuman gratis sehabis makan. Para penjual makanan kecil seperti ketela, singkong, pisang rebus dan kacang--- dijajakan keliling.
Para pedagang tahu bahwa pada umumnya para pengunjung hanya membeli bukan untuk dirinya tetapi untuk para monyet. Mengenai souvenir yang dijajakan adalah mainan anak-anak berupa pesawat terbang baling-baling terbuat dari kayu sono atau randu. Laris juga dan dari dulu dikerjakan turun temurun khas Wendit. Rekreasi bagi pengunjung yang tidak suka berenang adalah naik perahu dari pusat danau sampai perairan tanaman kangkung. Tukang perahu menggunakan galah panjang yang ditonjokkan ke dasar danau. Di atas perahu dipasang kerudung kain untuk menghindari panas dan hujan.
Aku setiap ke Wendit pasti lebih suka mandi di danau yang cukup luas itu. Airnya bukan saja sangat bening dan biru namun juga dingin sekali, seperti es Tampak ikan-ikannya yang menggerombol dan seperti sudah biasa dengan para manusia. Selain ikan di dasar danau juga tumbuh ganggang panjang yang bergerak-gerak. Kami menyebutnya "mendong", yang kalau dicabut dan lalu dijemur, nantinya dianyam menjadi tikar. Yang berenang di danau cukup banyak. Di tengah dipasang "pos perhentian", berwujud papan terpaku dan terikat amat kuat tidak lepas-lepas. Ke situlah umumnya para perenang berhenti melepas lelah barang sebentar. Kemudian sehabis itu berenang lagi ke pinggir danau. Ada satu kolam lagi yang bertembok dan harus bayar. Aku hanya beberapa kali mandi di situ, soalnya sempit dan perenangnya terlalu banyak berhimpit-himpit.
Kukira perjalanan menarik lainnya ke Singosari. Ke sananya menggunakan trem dari Alun-alun. Setelah di Blimbing, terus. Kalau belok kanan ke Wendit. (Kini tidak ada lagi tremnya, di Alun-alun dan sepanjang Jl. Kayutangan sudah tertimbun aspal, hanya sebagian relnya yang di Wendit masih lengket di tanah). Sebelum sampai Singosari mampir dulu Watu Gede yang hanya berwujud tempat pemujaan kuno abad ke 12 dan 13, resot tersebut dilengkapi kolam kecil saja sekedarnya. Mungkin dulunya pasti lebih indah. Yang paling menarik kalau berjalan kaki lagi ke arah barat jalan raya dekat pasar Singosari. Di sanalah lokasi candi besar Singosari. Kami naik ke atas untuk melihat yoni yang tidak lagi punya lingga. Beberapa patung antara lain seperti Nandi (sapi suci), Ganesha (gajah) dan termasuk “Prajnaparamita” diangkut ke Negeri Belanda pada zaman VOC dahulu.
Setelah berjalan lagi beberapa langkah ke barat kami sampailah ke patung raksasa separo badan, yang satu di seberang jalan kecil sebelah utara. Satunya lagi sebelah selatan. Patung ukuran bis Kopaja itu membelesak ke tanah saking amat raksasanya. (Kini sudah dikatrol dan tampak kaki-kakinya di atas muka tanah yang disemen rapi). Kalau diteruskan lagi berjalan ke arah dua kilometer ke barat terdapat kolam pemandian Ken Dedes. Untuk berenang lumayan juga. Di dalam air banyak ikannya yang besar-besar. Di belakang pemandian tersebut tumbuh sederetan bambu petung yang langka.


Dengan mandi di kolam itu aku seringkali membayangkan kecantikan Ken Dedes yang di dalam "Pararaton" dipaparkan sebagai wanita dengan paha bercahaya-cahaya. Apa benarkah wujudnya persis sebagaimana yang dipatungkan: "Prajnaparamita" yang notabene figur Ken Dedes sendiri? O betapa jelitanya puteri Singosari yang dulunya isteri Akuwu Tunggul Ametung di Tumapel (sekitar Kuta Bedah?) kemudian dikudeta berdarah oleh Ken Arok. Atas aksinya itu Ken Arok memperoleh Ken Kedes dan mengangkatnya menjadi permaisuri kemudian menurunkan cikal bakal raja-raja Majapahit!
Petualanganku yang mengesan, ke gunung Kawi. Jalan kaki ramai-ramai lewat kampung, ladang jauh dari keramaian. Lebih separo hari melangkah dengan menahan lelah. Karena gurau banyak, tidak rasa. Di Kawi, maksudku bukan puncak gunung, bersuasana ramai sekali. Umumnya kalangan saudagar, cukong-cukong, mereka datang dari tempat-tempat jauh. Di situ ada altar puja, ada hio, pentas wayang kulit malamnya. Nasi selamatan dibagi-bagikan. Ada kertas ramalan segala bagi peziarah bahwa nanti nasibnya tercapai, dapat jodoh atau ada harapan namun masih tunggu beberapa saat (entah cepat atau beberapa belas tahun berselang barulah tercapai). Begitu di antaranya yang yang dibacakan oleh seorang simbah.

IV.
HANYA SEKEJAP DI PGA
Kesulitanku di bidang finansial teratasi setelah aku berhasil mendaftarkan diri dan diterima masuk ke PGA (Pendidikan Guru Agama). Pendidikan ini kutempuh empat tahun setelah tamat dari SD Blakangloji. Di sini selain mendapat pelajaran bahasa Inggris dan Arab juga tentu saja Hadis, Tarikh, Tauhid, Feqih, Tafsir dan lain-lainnya yang berkaitan dengan agama Islam. Kunci paling utama dari pelajaran-pelajaran tersebut adalah penguasaan terhadap bahasa Arab tingkat dasar. Jadinya aku digembleng tiap hari. Caranya dengan memahami sorof yang tidak lain sistem konjugasi kata-kata kerja. Sebenarnya tidak muskil asalkan tahu rumus-rumus dan hukumnya. Setelah dua tiga tahun mengerti jugalah aku. Bisa nulis dan baca. Pokoknya tidak buta huruf.

Sebenarnya menurut guru-guru aku sudah diarahkan untuk menerus ke PHI (Pendidikan Hakim Islam) di Jogjakarta kemudian setelah itu ke Al Azar di Kairo. Namun saat ujian aku membuat kesalahan blunder. Ujian pekerjaan tangan begitu tergesa-gesanya kulaksanakan namun tidak juga selesai-selesainya. Karena mendadak panik aku jadi tidak sabar lagi. Mata ujian tersebut menghasilkan nilai rendah. Aku dinyatakan tidak lulus. Gagallah rencanaku ke PHI, apalagi ke Al-Azar, Kairo. Untungnya waktu itu aku ikut ujian SMP juga. Lulus. Aku segera menerus ke SMA I Negeri Alun-alun Bunder yang tiap bulannya harus membayar uang sekolah. Dulu selama empat tahun di PGA aku memperoleh ID (Ikatan Dinas) sebesar Rp. 140,- setiap bulannya. Waktu itu hem Arrow hanya Rp.12,- Kos sebulan Rp.25,- sampai Rp.50,- Jadinya hidupku cukup mewah. Aku serahkan sebagian besar pendapatanku kepada Bunda. Untuk keperluan pakaian dan perlengkapan sekolah tidak masalah. Sepatu baru, hem dan celana baru, termasuk alat-alat mandi, semuanya lengkap. Setelah tidak ada lagi uang ID tiap bulan, meranalah hidupku selama di SMA. Aku merasakan bagaimana saat bangkrut tidak ada seorang juga yang menolong. Pakaianku lama kelamaan tinggal satu-satunya. Sepatu juga. Aku seperti kembali ke SD Blakangloji. Tiap bulan pikiranku terganggu oleh keraguan, kira-kira bisakah aku bayar sekolah. Aku tidak mampu membeli buku pelajaran. Harusnya pada usia remaja demikian aku mulai tandang ke rumah pacar. Namun aku yang selalu bokek, bagaimana bisa ajak naik ke boncengan. Sepeda saja aku tidak punya. Mau naik becak, wah, kempes kantong. Maka tahu dirilah. Kalau bisa tunda masa remaja dari para pacar. Biarpun ada filem bagus ya biarlah berlalu, aku berpuasa dulu walau tidak sedikit cewek-cewek cantik yang mungkin mau. Konsekuensinya aku putus cinta dari mereka yang kusimpati sebelumnya. Konsentrasiku kemudian lebih baik pada majalah sekolah. Dulunya majalah "DIAN" yang stensilan ini pernah diasuh Idrus Ismail (cerpenis asal Sumbawa yang lembut, alm) yang kemudian kuliah di Gajah Mada dan akhirnya menjadi perwira AURI berpangkat Kolonel. Giliran berikutnya, "DIAN" diasuh Sunaryono Basuki (kini Profesor Bahasa di Singaraja) dan aku sendiri. Sibuk juga namun pelajaran tidak terganggu sedikit pun.


Guru-guruku waktu itu Bapak Hasibuan (direktur yang tiap pagi kontrol bangku dan tangga-tangga sekolah apa masih berdebu atau sudah dibersihkan pakai bulu kucing), Pak Adan mengajar bahasa Perancis dengan suaranya yang serak, Pak Hudan mengajar sastra (pernah jadi Bupati Jombang), Pak Darwis mengajar Arab Melayu (sering aku yang disuruh menulis di papan) kemudian Pak Blasius yang gendut berkacamata pengajar bahasa Kawi. Saat mau mengajar di depan kelas selalu lebih dulu makan roti lapis bawaan dari rumah. Enak saja dia makan tanpa malu-malu. Lalu di depan murid-murid perempuan yang cantik dia pura-pura mau merangkul. Kami yang murid laki-laki lalu tertawa gembira. Guru wanitanya yang baru lulus kemudian mengajar kami adalah Bu Titien dari Bandung dan Bu Marni dari Jogja. Yang mengajar sejarah Bu Hanum, orangnya kecil dan cantik. Guru lainnya setelah aku ikut pindah rombongan siswa dari SMA I ke SMA IV di Kota Lama, Pak Gun, Kepala Sekolah. Kendaraan yang dipakainya sepeda biasa yang pada zaman itu lagi ngetren dipasangi mesin bagi yang punya duit lebih. Larinya kencang, suaranya seperti rentetan plembungan diletakkan di antara ban dan slebor. Cukup bising. Pak Gun tanpa mengayuh kecuali kalau mesin mogok. Pak Gun agaknya juga nyentrik dalam berbusana. Mungkin di rumah isterinya tidak berani memberitahu. Sering celana dalam yang dipakai celana panjang biasa. Barangkali udara dingin mempearuhi Pak Gun bercelana rangkap-rangkap begitu. Suatu hari "balapan", celana panjang di dalam justru menyembul jelas. Toh Pak Gun cuek ke podium di halaman sekolah sebagai inspektur upacara berpidato panjang di depan barisan kami murid-muridnya.

V. DENGAN SENIMAN-SENIMAN
Malam-malam aku sering bertemu seniman-seniman lokal zaman itu, di antaranya Emilia Sanossa yang karya-karyanya sering ditayangkan di TVRI. Dia penulisnya sekaligus pemain. Ada lagi Ramayana rambut panjang bak pertapa. Hobi nyanyi seriosa sepenggal-sepenggal. Dia orang teater juga (entah sekarang di mana, tidak kedengaran lagi masih hidup atau sudah dod). Pemain teater lainnya adalah Mamek Haryanto, ganteng dan berkumis tinggal di Kayutangan. Purnawan Tjondronegoro (sudah almarhum, suami Titiek WS) dari Surabaya sering datang ke Malang dan ngobrol dengan kami sampai larut.

Tulisannya yang lancar biasanya tentang perang waktu itu sering nongol bersambung di majalah "Varia", Jakarta. Di dalam ngobrol Purnawan lebih lancer lagi, ramai, nyrempet-nyrempet porno. Yang pernah datang lainnya dari Surabaya adalah Suprijadi Tomodihardjo, pengasuh budaya koran "Trompet Masjarakat" yang isterinya dari kampung Bareng Bandarangin. Dia penyair dan cerpenis (sering dimuat di Kompas akhir-akhir ini). Kini di Koln, Jerman dan masih bermilis-milis denganku via internet. Grupku sendiri adalah Buddhy Setyoadji, cerpenis di koran-koran hari Minggu, Jakarta, dan Teguh Santosa (dulu illustrator majalah “Gelora” kemudian jadi komikus kondang) asal Kasin kemudian pindah Kepanjen serta Bramastho (awalnya tukang bikin vignet lalu jadi pelukis yang kemudian pindah ke Jakarta, sanggarnya pernah terendam banjir Ciliwung di bawah kampung Condet). Ketiga orang tersebut kini sudah pada almarhum.

VI.
PENUTUP
Umumnya Malang yang sejuk hanya habitat awal bagi sebagian besar penghuninya. Setelah tamat atau tidak tamat pendidikan formal hengkang ke kota lain bahkan ke luar negeri. Aku sendiri belakangan meninggalkan Malang karena perlu ngendon dulu berkuliah di Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia di FKIP Universitas Airlangga di Jl. Semarang (gedung baru waktu itu) lalu pindah ke Jl. Tumapel yang dulunya bekas “Hotel Splendid”. Di bawahnya persis jembatan sungai Brantas. Di FKIP itu aku dikuliahi Pak Suwoyo Wojowasito si ahli kamus yang suka memontiri mobilnya sendiri. Dia seorang linguist. Lalu Pak Suwito Santoso, ahli bahasa Jawa Kuno atau Kawi yang kemudian hijrah mengajar di Australia bersama isterinya yang juga dosenku bidang filologi. Lalu Pak Umar Junus, teoritikus linguistik yang menguliahi pakai rumus-rumus Aljabar. Kemudian Pak Dawam, dosen Islamologi dari Mesir. Aku diajar juga oleh Bu Hartini Suwondo, ahli Sanskrit. Sempat juga aku bertemu dengan Pak Purbotjaroko, itu professor yang tersohor keahliannya di bidang prasasti-prasasti kuno. Waktu itu beliau tunuk-tunuk datang dengan bercaping bambu.

Ya, pelajaran-pelajaran telah kulahap dan toh begitu lulus aku segera mendaftar masuk Angkatan Laut yang waktu itu zamannya Bung Karno sedang menghadapi konfrontasi. Aku bertugas di pulau-pulau, di hutan karet sunyi berbulan-bulan, sangat jauh menyimpang dari ilmu-ilmu budaya yang pernah kudapat. Aku merantau juga ke negeri-negeri jauh. Aku kemudian kawin dan menetap di Jakarta, negeri yang selalu bergelimang dengan hiruk pikuk dan “gua-gua” dan “elu-elu”. Toh kota tercinta Malang sulit kulupakan. Orang pasti selalu terkesan soto, rawon dan rujak cingur yang sedap tak ada taranya, pada pasar besar yang teratur rapi sejak sebelum Perang Dunia II, ke pasar Krempyeng tempat transaksi barang-barang rombengan, pada gunung Kawi tempat yang percaya "ambil berkah" (aku dan kawan-kawan berjalan kaki ke sana sekedar ingin tahu dan main saja lho). Juga pada gedung SD Blakangloji yang telah dilego oknum pejabat tinggi pemerintah kota (alumnusnya di antara kawan-kawanku ada yang jadi dokter anak, ahli ilmu jiwa, profesor sastra universitas terkenal, laksamana dan aku sendiri seselesai kerja di AL lalu pindah di pemerintahan dan puas berkeliling separo bumi lalu meneruskan karir sebagai penulis), pada gedung SMA Negeri Alun-alun Bunder yang menghadap tugu kotapraja Malang, pada SMA IV Kota Lama, pada Jl. Kayutangan yang membentang, pada jembatan "Splendid" yang di bawahnya mengalir sungai Brantas tempat biasanya aku mandi-mandi bersama kawan-kawan sekampung, pada Alun-alun wahana kami main bola, pada mesjid jamik dengan dua menaranya tempat burung sriti bersarang dan aku pernah memanjatnya sehabis solat Isya, pada Wendit dengan monyet-monyetnya, pada kota Batu dengan pemandian "Selecta" dan kebun apelnya, pada stadion waktu masih dipagari pohon-pohon lamtoro tempat kami menerobos tanpa karcis jauh sebelum ditembok tinggi dan pada lain-lainnya yang amat banyak tidak terhitung. Pokoknya seniman-seniman dan para ahli di Malang-lah dicetak. Juga tidak disangsikan Malang sebagai kota wisata, kota sejarah (tempat raja Gajayana, Empu Sendok, Airlangga, Ken Arok, Kartanegara dan Wijaya raja pertama Majapahit), lengkap pula petilasan-petilasan candi, patung dan bukti-bukti sejarah lainnya yang terserak-serak.

Jakarta 4 November 2005.

(Tulisan ini dibuat untuk menyambut usia 50 tahun Eka Budianta penulis asal Malang juga dan telah dipublikasikan di dalam buku "MEKAR DI BUMI", penerbit Pustaka Alvabet, Februari 2006).

Karya-karya Rahmat Ali
I. Yang berbentuk novel:
1. Sang Gubernur Jendral (Gramedia, 1976), 2. Fatahillah
Pahlawan Kota Jakarta (Cypress Jakarta, 1982, diteruskan Balai
Pustaka, 1997). 3. Para Pengawal Sultan Babullah (Jantera Bakti,
1983), 4. Ratu Kalinyamat (Cypress Jakarta 1985), 5. Novi (Balai
Pustaka, 1986), 6. Baron Sakender (Mitra Gama Widya, 1998), 7.
Nyai Dasima (Grasindo, 2000), 8. Negeri Surilang (Grasindo, 2002),
9. Narapidana Luar Galaksi (Grasindo, 2002) dan 10. Pacar
Cantik Di Kapalselamku (Majas Jakarta, 2004).
II. Yang berbentuk cerita bersambung:
11. Naga Taksaka (Sinar Harapan, 1964). 12. Kapiten Jonker
(Ditektip & Romantika, 1979). 13. Pelarian Onrust (Republika, sejak
Mei 1997).14. Pate Rodin (Republika, sejak Mei 1998), 15. Monster,
Monster (Republika, 1999), 16. Angkasa Renggi (Suara Pembaruan,
2000), 17. Gipsi Laut (Sinar Harapan, sejak Mei-Agustus 2005)
III. Yang berbentuk cerita rakyat:
18. Cerita Rakyat Betawi I (Grasindo 1993)
19. Cerita Rakyat Betawi II (Grasindo 1993)
IV. Yang berbentuk kumpulan cerpen/puisi:
20. Bi Gayah sambalnya mmmm….m (Majas Jakarta, 2004)
V. Yang berbentuk antologi cerpen dengan pengarang lain:
21. Dari Jodoh sampai Supiyah (Djambatan, 1976)
22. Guru Pahlawan Tanpa Tanda Jasa (Aries Lima, 1983)
23. Lukisan Sekuntum Mawar (Rosda Bandung 1985),
24. Cerita Pendek Indonesia III (Gramedia, 1986)
25. Een Parel in het rijstveld (Novib Den Haag, 1986),
26. Cerpen Nusantara Mutakhir (Dewan Bahasa dan Pustaka,
Kuala Lumpur 1991)
27. Kalung dari Gunung (Besari, 2004)
28. Aisyah dari balik tirai jendela, Besari, 2006)
VI. Yang berbentuk antologi puisi dengan penyair lain:
28. Jakarta Dalam Puisi Mutakhir (Dinas Kebudayaan
Propinsi DKI Jakarta, 2000)
29. Maha Duka Aceh (Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin, 2005).

P A G U T cerpen Rahmat Ali

Majalah Sastra Horison, No 5 Mei 1981, Thn. XVI


P A G U T
cerpen
Rahmat Ali

Krokeh, suatu desa di Madiun. tahun 1939.
Sejak kecil aku sudah terbiasa tidur di lantai tanah. Hanya beralas selembar ti­kar tua. Begitu keadaanku. Karena orang tua miskin. Amben bambu hanya untuk bapak dan emakku. Mereka yang mem­beriku hidup. Bapak kerja: Emak mene­rima gaji dan mengolah makanan untuk kami bertiga. Jadi sesuailah kalau aku mendapat bagian hanya tidur di lantai tanah. Alhamdulillah pulas juga. Aku se­hari penuh sudah ikut bantu-bantu. Pagi-pagi nimba. Begitu dalammya sumur. Ber­puluh-puluh kali ember kunaikkan. Ku­isikan pada kulah. Padahal ukurannya cukup besar. Kalau aku berendam bisa termuat semua seluruh tubuhku. Ini selalu kulakukan kalau bapak menyuruhku menguras. Membersihkan lumut-lumutnya tiap dua minggu sekali. Bapak memang tidak suka kotor. Sedilkit saja butek aku langsung diperintahkan untuk mengganti dengan air baru. Ikan-ikan emas kutangkapi lebih dulu. Kucarikan gentong penam­pungan sementara. Begitu air kulah sudah baru maka ikan-ikan emas itu kucemplungkan kembali.
Bapak dan emak tentunya senang, Me­reka mandi. Sorenya sabelum matahari terbenam aku menimba lagi. Walaupun begitu emak masih memberengut juga. Menyalakan ublik dan lampu teplok de­ngan memberengut. Membagi nasi juga membrengut. Kalau aku dewasa pasti aku bertanya, kenapa selalu bermasam cuka, aku salah apa, minta di tunjunkan biar aku bisa memperbaikinya. Nyatanya aku baru tiga belas, masih anak anak. Belum, punya penghasilan. Hidup masih menggandol orangtua. Maka aku harus menurut. Menguras tenaga. habis­-habisan. Siang sehabis sekolah, katau ada orang mambutuhkan, aku dengan senang menggembalakan kerbau-kerbaunya. Sore pulang mengisi kulah lagi untuk mandi bapak dan emak. Jadi aku tidak protes apa-apa. Pakoknya ransum tetap untukku. Sepiring nasi tidak penuh. Disiram bobor. Atau lodeh. Atau tempe baceman segum­pil. Minum air kendi. Minuman ini bisa kuteguk kenyang-kenyang
Pikilranku menerawang. Ke langit-langit yang terbuka. Jenis binatang itu betapa cepat menciptakan jala-jalanya. Terbuat hanya dari liurnya. Nyamuk-nyamuk yang kesasar tidak bisa berontak lagi. Jadi santapan. Apakah aku termasuk juga si lemah yang pada suatu saat kesasar di jarang laba-laba pencengkeram itu?
Kiranya aku tak penlu berpikir terlalu jauh. Lebih baik tak perduli. Aku masih mempunyai dunia tersendiri. Dengan kawam-kawan penggembala. Atau kesibukan di sekolah. Nulis. Baca. Atau kasti melawan sekolahan lain. Di situ aku ber­kesempatan melampiaskan gejolak-gejolakku. Lari kencang-kencang. Teriak. Melem­par bola ke arah lawan. Atau aku yang kena bola sampai membekas. Kebiru-­biruan dan aku nyengir. Saat lainnya ke­tika memandikan kerbau-kenbau di sungai. Malamnya aku cepat ambruk. Paginya ge­ragapan. Sudah siang lagi. Nimba lagi. Sekolah tanpa sarapan. Kawan-kawan ber­sepatu. Kakiku sendiri cakar ayam. Baju yang itu-itu juga tanpa sangu. Kawan-­kawan lain banyak yang bersepeda. Aku terus jalan. Kalau merasa hampir terlambat aku terus berlari. Ya berlari. Berapa kali sehari? Terus lari. Terus. Jasmaniku tertempa. Mentalku terasah tidak terasa.
Jauh lebih nikmat tidur dengan kemit-­kemit desa. Mereka bertugas meronda. Posnya di gardu. Selain meronda rumah-­rumah, mereka juga memeriksa saluran air di sawah. Soalnya banyak tangan usil yang suka menjebol atau membuntu aliran air. Ini bisa menimbulkan pertengkaran. Dengan perondaan maka tata tertib air lebih terjamin. Tepat jam duabelas ken­tongan dipukul. Kemudian tidur. Tidak jarang kemit-kemit didamprat lurah gara-­gara mereka lebih banyak ngorak dari pada jaga. Tahu-tahu padi selumbung su­dah ludes dibongkar maling. Kalau begitu tidak aman tidur bersama-sama para ke­mit di gardu. Bisa-bisa gerombolan kecu nekad menyerang gardu. Setelah kemit­-kemit diamankan secara kejam mereka bongkar lumbung atau menyikat lainnya yang lebih berharga. Maka lebih baik aku di rumah saja.
Alangkah tenteramnya tidur bapak dan emak. Di atas dipan berkasur. Hangat. Beda sekali dengan diriku. Kedinginan. Terutama waktu desa dilanda hujan mu­sim rendeng. Serangga-serangga muncul dari liang. Mereka berkunjung ke tikarku. Hingga tidak heran kalau aku sampai di sengat kelabang yang berkaki seribu. Juga kalajengking. Aku memang tidak bisa menghindar.
Pernah juga aku mengikuti kawan­-kawan keluar rumah waktu malam. Keti­ka itu musim tebu ditebang. Pabrik gula Rojoagung sibuk. Sejak pagi lori-lori ber­gantian, meluncur dari hanggarnya, pasti lewat desa kami. Pemandangan paling in­dah adalah malamnya. Api kecil memer­cik-mercik lewat cerabongnya. Ke langit hitam tanpa bulan: Genbang-gerbong pe­nuh lonjongan tebu berderak.. Sambungan besi dengan besi lainnya menciptakan bu­nyi yang berdernyit-dernyit. Mengundang hampir sebagian warga Krokeh tumplek. Tegak di sepan:jang rel. Peluit ditarik kuat-­kuat oleh masinis. Justru orang-orang se­perti tak mau minggiir. Mana anak-anak nya­lang. Orang-arang dewasa lebih nyalang. Kakek-kakek tidak mau ketinggalan pula. Semua bernafsu untuk mendapatkan tebu.
Waker-waker memukul-mukulkan tong­kat ke arah mereka yang mulai meman­jat. Dicegah yang depan yang belakang mengganggu. Begitu bolak-balik. Beberapa sudah di atas gerbong. Melemparkan bun­del-bundel lonjoran tebu ke bawak Pen­cabut-pancabut dari samping demikian gesitnya bertindak. Iringan gerbong lori yang ditarik lokomatip kecil itu seperti seekor naga yang lelah. Seluruh tubuhnya luka. Begitu habis tikungan dia tampak kelelahan menuju Rojoagung. Peluitnya rintihan kesakitannya. Aku dan kawan-kawan, juga kebanyakan penghuni Krokeh, gembira sekali. Terlampiaskanlah sudah. Berapa lonjor yang sudah kucabut dari gerbong? Pada saat demi!kian kesempatan bagiku untuk berteriak sekeras-kerasnya. Tertawa yang selepas-lepasnya. Kukupas kulit tebu. Kureguk airnya. Hausku ter­obati. Kekangan hidupku mendapatkan kemerdekaan, biarpun masih samentara.
Pada suatu malam berikutnya adalah saat yang tidak bisa kulupakan. Suparlan, Kusni. Jaw,ar, Jiyo dan Lamidi mengajak­ku ke sawah mencari kodok hijau. Empat orang di antara kami, termasuk aku, ber­tugas membawa obor dari tangkai papaya. Terang sekali. Aku berjalan di barisan belakang. Setiba di tikungan pematang aku merasakan sesuatu mencatek kakiku. Mula-mula tidak begitu kuperhatkan. Lama-lama berpengaruh juga. Langkah berat. Pusing. Badan lunglai dingin-dingin. Kawan-kawan kuberitahu. Kuanjurkan ke­pada mereka untuk balik. Mereka menu­rut. Aku dituntun ke rumah Kusni yang paling dekat. Dari jauh dia sudah panggil panggil.
"Mak, mak," katanya keras.
Seorang perempuan separo baya muncul dari pintu belakang.
"Apa, Kus?”
"Lihat Wadji, mak, Tiba-tiba lemas."
Mak Pin mnyingsingkan lengan, baju­nya. Memperhatikan diriku dengan lebih teliti.kakiku diraba-rabanya.
"Ini yang sakit?" tanyanya diarahkan padaku.
"Ya, Mak,” jawabku.
"Benar memang," kata Mak Pin lagi.
"Terasa panas. Bengkak. Dipagut ular."
Aku membelalak besar.
"Ular apa kira-kira, Mak Pin?" tanya Lamidi.
"Tungkin weling," jawabnya. "Coba ambilkan akik emak di kamar, Kus. Tenang saja, Wadji. Jangan gelisah."
Suasana Mak Pin demikian kalem. Tetapi mataku makin membelalak. Perasaanku takut sekali. Weling sangat berbisa. Ham­pir semua orang tahu. Begini rasanya bisa weling menyerangku. Seperti tubuh ular itu menyusup ke dalam diriku melalui lu­bang luka. Terus ke betis. Dengkul. Paha. Selangkangan. Pinggul. Membeli-belit isi perut. Berarti sebentar kemudian sampai dada. Dia bakal membawa mulut lebar-­lebar. Lalu jantungku gilirannya dihancur­kan!
Kepanikanku sudah di puncak. Umur muda. Baru tigabelas. Begitu pendek hidup. Padahal aku ingin lebih. Bepergian jauh. Bagaimana emak? Apa sudah ada yang memberitahu bapak di pabrik, ka­rena sedang tugas ronda? Memang me­reka bukan oarngtua kandungku. Aku di pungut ketika masih usia enam bulan. Gara-gara orangtua kandungku tengkar lalu bercerai. Ternyata bapak kandungku menghambur ke perempuan lain. Emakku merana. Jualan pecel dan kuwe-kuwe. Lalu datanglah bapak dan emak angkat­ku. Aku dihidupi mereka sampai besar. Bapakku ini sebagai mandor. Kerjanya tiap hari di pabrik gula Rojoagung. Ka­dang-kadang ikut lori mengambil tebu yang baru ditebang. Dasar aku yang tidak tahu diri. Aku pula yang menyanggongnya bersama kawan-kawan waktu lewat tikung­an desa. Tetapi bapak begitu baiknya pa­daku. Aku bersyukur dia menganggapku sebagai anak kandungnya sendiri. Aku disekolahkan. Keperluanku selalu dipenuhi. Dengan segala usahanya yang keras. Aku tahu bapak dulu penjudi. Tidak menghe­rankan. Karena rata-rata karyawan pabrik adalah penjudi. Sepeqti dianjurkan oleh pimpinan pabrik. Mungkin pimpinannya yang Belanda itu senang sekali kalau para karyawannya terjerumas dalam perjudian. Mereka jadi melarat. Banyak hulang. Ka­lau sudah begitu enaklah si Belanda. Orang-orang itu, bapakku juga bisa diperas tenaganya dengan upah sedikit.
Alhamdulillah bapak berhenti judi se­jak memungutku sebagai anak. Aku ada­lah harapannya. Aku masa depan bapak. Maka aku bisa masuk sekolah. Tetapi, biarpun sudah henti judi, sisa hutang ba­pak masih menumpuk. Ini sangat mengganggu pembayaran uang sekolahku. Ka­rena waktu itu aku masuk sekolah swasta, Aku tidak boleh nunggak lama-lama. Be­gitu tidak menguntungkan. Aku harus ke luar. Berapa kali sudah aku dikeluarkan. Pernah sampai setahun aku nganggur. Ha­nya mengisi kulah tiap pagi dan sore. Atau menggembala kerbau kalau ada orang yang suruh. Selebihnya nganggur. Kasihan bapak. Aku minta agar aku ker­ja saja jadi kuli di pabrik. Ayah marah. Bagaimanapun aku harus sabar beberapa saat. Aku menunggu. Dan betullah. Aku rnendapat kesempatan bersekolah lagi.
Yang tidak bisa berhenti dari judi ada­lah emak. Entah mengapa? Mungkin sudah mendarah daging. Membudaya. Emak sering kalah. Kalau sudah begitu emak sering marah-marah. Kepada siapa saja. Juga kepadaku. Soal kecil saja bisa mem­bikin mulutnya teriak-teriak. Semoga saja aku masih bisa tahan.
Rasa sakit semakin nyeri. Panas me­lonjak-lonjak. Kurasakan panasnya mendekati dada. Pada saat itulah Kusni da­tang. Dari kamar Mak Pin. Membawa cincin. Cincin itu bermata akik warna putih keabu-abuan. 0leh Mak Pin cincin itu diterima dengan gembira. Lalu mata akiknya ditempelkan pada luka bekas gigitan. Sesuatu yang lain dari yang lain kurasakan setelah itu. Tubuh ular seperti ditarik dari perutku sebelah atas. Lalu turun dan turun. Mulai dari perut ke ping­gul. Selangkangan. Paha. Dengkul. Betis. Dan seterusnya. Itulah bisanya yang tersedot keluar kembali dengan lancar berbentuk busa. Terkumpul di mulut luka. Di ujung mata akik terkumpul pula bisa­nya. Berbentuk buih-buih putih. Aku ti­dak pusing-pusing lagi. Semua yang menyaksikan pada terkesimak. Plong.
Jkt, 17 Desember 1980.


SLANGEBIT
Rahmat Ali


Krokeh, een dorp bij Madioen, 1939
Van jings af heb ik altijd gewoon op de grong geslapen. Op niet meer dan een dun versleten slaapmatje tussen mij en de aarde. Zo is mijn leven. Want mijn ouders zijn arm. Er is alleen een hamboebed voor mijn vader en moeder. Zij zorgen boor mij. Vader werkt. Moeder krijgt het geld en maakt het eten voor ons drieen. Tercht dus dat ik op de aarden grond moet slapen. Alhamdulillah, ik slaap nog lekker ook. Ik help al de hele dag mee in huls. ‘s Morgens vroeg eerst water putten. Diep dat die put is! Tientallen emmers hijs ik op! Die giet ik leeg in de waterbak. En die waterbak mag er wezen! Ik kan er met mijn hele lichaam onder water in staan. Dat doe ik altijd als ik van mijn vader het water moet verversen. Een keer in de twee weken moet ik die bak schoon boenen en de aanslag ban de randen afhalen. Vader houdt er niet van dat de mandibak vuil is. Als het water maar een beetje troebel ziiet, moet ik het van vader al verversen. Eerst vang ik de goudvissen. Die stop ik zolang in een pot. Zodra er weer shoon water in de waterbak zit, laat ik de goudvissen terugplonzen.
Vader en moeder vinden het fijn met fris water te mandien. In de namiddag voor zonsondergang ga ik weer waterputten. Ook al doe ik dat, moeder kijkt altijd even stuurs. Met een stuurs gezicht steekt ze de olielampjes aan. Met een stuurs gezieht geeft ze ons onze portle rijst. Als ik later groot ben, vraag ik haar vast waarom ze toch altijd zo zuur is azijn, wat ik toch verkeerd doe en of ze het me uit wil leggen. Dan kan ik het beter proberen te doen. Maar ik ben pas dertien en nog klein. Ik verdien nog niets. Ik ben nog helemaat van mijn ouders afhankelijk. Dus moet ik wel doen wat zij zeggen. Ik doe heet erg mijn best voor hen. ‘s Middags na schooltijd hoed hoed ik met alle plezier jarbouwen, als niemand dat wil. Bij thuiskomst vul ik dan de waterbak, zodat vader en moeder kunnen baden. Ik protesteer met geen woord. Als ik maar mijn vaste rantsoen krijg. Een bord rijst helemaal tot de rand gevuld, met soep of sajoer lodeh, een stukje gebakken tempe en water uit de waterkruik. Water mag ik drinken zoveel ik wil.
Mijn gedachten gaan aan de haal als ik een open spinneweb zie. Wat hebben die dieren zo’n net snel geweven. Met niets meer dan hun speeksel. De muggen die daarin terechtkomenkunnen geen kant meer uit. Ze worden allen nog maar uitgezogen. Hoor ik ook bij de zwakken die op een bepaald moment in het web en de dodelijke greep van zo’n spin belanden?
Zover moet ik maar niet denken. Beter daar maar niet op door te gaan. Ik heb nog zo mijn eigen wereldje. Op het vee passen met mijn vriendjes. School, Schrijven, lezen. Of kastie spelen tegen een andere school. Daar kan ik me helemaal in uitleven. Heel hard rennen. Schreeywen, De bal heel ver weg slaan. Of zelf door de bal getroffen worden zodat ik onder de blauwe plekken kom te zitten. Maar dan kan me niet schelen. Een andere keer karbouwen baden in de rivier. ‘s Avonds val ik als een blok in slaap. ‘s Morgens ben ik dolblij dan het weer dag is. Water putten. Zonder ontbijt naar school. Bijna al mijn vriendjes hebben schoenen. Ik moet op blote voeten. Mijn bloes is ook maar zo zo. Zakgeld voor onderweg is er ook niet bij. Een heleboel van mijn vriendjes gaan op de fiets. Ik moet altijd lopen. Als ik bang ben dat ik te laat kom ren ik. Ja, rennen. Hoeveel keer per dag wel niet? Rennen. Altijd maar rennen. Het staalt mijn lichaam. En onegemerkt wordt ook mijn geest gescherp.
Het allerleukste is het om bij de nachtwakers te slapen. Ze hebben een speciaal wachthuisje. Ze bewaken niet allen de huizen in het dorp, maar ook controleren ze de irrigatlekanaaltjes in de rijstvelden. Die worden namlijk door frijpgrave vingers nogal eens verstop of doorgestoken. Daar kunnen degrootste ruzies van komen. Door deze nachtclijke controle is er meer gatantie voor een eerlijke verdeling van het water. Precies om twallf uur ‘s nachts slaan ze op de tongtong. Daarna gaan ze slapen. Vaak krijgen ze van de loerah op hun kop omdat ze meer slapen dan waken. Zonder dat ze er iets van gemerkt heben, is de hele rijstschuur een keer leeggestolen. Dan is slapen bij de nachtwakers in het wachthuisje niet zo veilig. Het gebeurt ook wel dan een wachtpost door een bende wordt overvallen. Nadat ze de nachtwakers van kant hebben gemaakt, roven ze de hele dorpsschuur leeg of pikkenb andere waardevolle dinden. Dan kan ik maar beter gewoon thuis siapen.
Wat slapen vader en moeder toch lekker. Op hun ben en hunmatras. En nog lekker warm ook. En heel verschil met mij. Ik heb het vaak koud. Vooral in de regentijd. Allerlei insekten komen uit hun hol te voorschijn en brengen mijn tikar een bezoek. Geen wonder dat ik wel eens door een duizendpoot of een schorpioen words gebeten. Daat kan ik echt niets aan doen.
Ik ben ook wel eens ‘s nachts met vriendjes stiekem het huis uit geslopen. In de tijd van de suikerrietoogst. Het is dan bij de suikerlabriek Rodjoeagoeng altijd heel druk. Van de vroege morgen tot de late avond glijden de lorries af en aan uit de loods en komen langs ons dorps. Een schitterend gezieht, vooral ‘s avonds. Een klein vuur flakkert in de pijp omhoog naar de donkere hemel zonder maan. Knerpend rijden de wagons beladen met rietstengels voorbij. He schuren ban ijzer op ijzer geeft een zeer doordringend geluid en roept een deel ban de inwoners van Krokeh bijeen. Daar staan ze langs de rails. En de machinist maat fluiten. Net of de mensen geen stap opzij willen. De kinderen kijken met grote ogen en de groete mensen zetten nog grotere ogen op, tot zelfs oudjes. Allemaal zijn ze tuk op suikerriet.
De bewakers slaan met stokken iedereen terug die naar boven probeert te klimmen. Als ze de voorste mensen weggejaagd hebben, moeten ze achteraan opnieuw beginnen. En omgekeerd. En paar zitten er al boven op een lorrie en gooeien hele bossen suikerriet naar beneden. Ook van opzij plukken de mensen er razendsnel bossen tussenuit. Die lange rij lorriers voortgetrokken door een kleine locomotief is net een overver moide slang. Met wonden over haar hele lijf. Na de bocht gaat het bergafwaarts richting Rodjoagoeng. De stoomfluit kreunt van pijn. Mijn vriendjes en ik en mer ons heel wat inwoners va Krokeh zijn helemaal door het dolle heen. Hoeveel bossen suikerriet hebben we niet te pakken gekregen! Op zo’n moment gil ik het uit van plezier en gleren we van de lach. Ik schil een rietstengel en zuig het sap eruit. Een uitstekend middel tegen de dorst. Mijn leven krijgt de vrije teugel, al is het maar even.
Een van de volgende avonden geberurt er iers dat ik nooit van mijn leven zal vergeten. Ik was met een stel vriendjes, Soeparlan, Koesni, Djawar, Djijo en Lamidi de sawa’s ingegaan om groene kikkers te vange. We hadden vier fakkels bij ons van papajataken. Ik had er ook een. Dan geert veel licht. Ik liep aehteraan. In bocht van een sadijkeje voelde ik opeens iets in mijn been bijten. Eerst lette ik er niet op. Maar na een tijdje kreeg ik er last van. Het lopen viel me opeens heel zwaaar. Ik kreeg hoofdpijn en had het opeens koud. Ik vertelde het aan mijn vriendjes en ik vroeg of ze wilden teruggaan. Dan deden ze. Ze brachten me naar het huis van Koesni, want dat was het dichtste bij. Van verre riecp hij al: ‘Mam...Mam...’
Een al wat oudere vrouw kwam de achterdeur uit.
‘Wat is er, Koes?’
‘Kijk eens naar Wadji, mam. Hij voelt zich niet lekker.’
‘Kijk ecns naar Wadji, mam. Hij voelt zich niet lekker.’
Boe Pin rolde de mouwen van haat kabaja wat op. Ze keek me onderzoekend aan. Haar handen berastten mijn been.
‘Doet het hier pijn?’ vroeg me toen.
‘Ja, Boe Pin.’ Zei ik.
‘Dat klopt,’ zei ze weer. ‘ Het voelt warm aan en het is helemaal opgezet. Je bent door een slang gebeten.’
Mijn ogen werden groot van schrik.
‘Wat voor slang, Boe Pin?’ vroeg Lamidi.
‘Vast een vergiftige, een witbuikslang, denk ik,’ zei ze, ‘Haal de agaat eens uit de kamer, Koes, Kalm maat, Wadji, Niet bang zijn.’
De stem van Boe Pin klonk behecrst. Maar mijn ogen werden steeds groter. Ik was doodsbcnauwd. Een witbuikslang is erg vergiftig. Dat weet bijna iedereen. Dat die slang mij zo maar kon bijten! Ik had het gevoel alsof die slang met zijn helelijf bij mij naar binnen was geglipt. Door dat open wondje. En vandaar naar mijn kuit, mijn knie, mijn dij, mijn lies en mijn zij. Nu kronkelde hij door mijn buik. Nog even en hij was bij mijn borst. Dan zou hij zijn bek wijd opensperren en mijn hart verslinden.
Ik was helemaat in paniek. Ik was nog zo jong. Pas dertien. Zou ik maar kort te leven hebben? En dat terwijl ik juist heel lang wilde leven, verre reizen wilde maken. Wist moeder het al? En had iemand vader die nachtdienst had op de fabrick al gewaarschuwd? Ze waren niet mijn echte vader en moeder. Want toen ik een baby van zch maanden was, hadden ze mij geadopteerd. Mijn echte ouders hadden namalijk altij herrie en waren uit elkaar gegaan. Het schijnt dat mijn echte vader altijd andere vrouwen had. Mijn echte moeder kon daar niet meer tegen en kwijnde weg. Ze verdiende allen wat geld met de verkoop ban koekjes en petjel. Toen kwamen mijn pleegouders en die hebben me grootgebracht. Mijn tweede vader is opzichter. Hij gant elke dag naar de suitkerfabriek van Rodjoagoeng. Soms gaat hij met de lorries mee om het pas geblukte suikerriet op te halen. Wat gedraag ik me eigenlijk toch afschuwelijk. Want samen met mijn vriendjes probeer ik dat suikerriet crat te halen wanneer de lorries door de bocht bij het dorp gaan En mijn vader is altijd zo goed voor me gewecst. Ik ben blij dat hij mij als heeft aangenomen. Hij heeft me op school gedaan en hij geeft me alles wat ik nodig heb, hoe hard hij daarvoor ook moet plosteren. Ik weet dat vader vroeger van gokken hield. Dat is geen wonder. De meeste arbeiders in de fabriek gokken graag. En het is net alsof de directie hen daarin aanmoedigt. Misschien vinden die Hollandse directeuren het wel prachtig als hun werknemers aan het gokken slaan. Het maakt hen straatarm. Ze krijgen schulden. En dan hebben die Hollanders een makkie aan hen. Want voor een schijntje kunnen ze die mensen, onder wie mijn vader, dan afbeulen.
Alhamdulillah’, vader is met gokken gestopt toen hij mij als kind had aanggenomen. Ik ben zijn enige hoop. Ik ben vaders toekomst. Daarom mocht ik ook naar school. Maar al gokt hij nier meer, hij heeft nog wel een hoop schulden. Daardoor kan mijn schoolgeld vaak nier op tijd worden betaald. En omdat ik op een particuliere shool zit, kan ik geen uitstel van betaling krijgen. Zodra er niet meer aan mih te verdienen valt, moet ik van schoool af. Zo ben ik heel vaak van school gestuurd. Een keer duurde het wel een jaar voordat ik weer naar school kon. Ik had niets anders te doen dan ‘s morgens en ‘s avonds de mandibakken vulten. Of karbouwen hoeden als iemand dat vroeg. Arme vader. Ik vroeg hem of ik maar nier als koeli op de fabriek zou gaan werken. Maar toen werd vader boos. Ik moest hoe dan ook geduld hebben. Ik wachtte. En inderdaad. Ik kon weer naar school.
Moeder kan jammer genoeg niet mer gokken stoppen. Waarom, weet ik niet. Het zit haar schijnlijk in het bloed. Het is zo’n gewoonte dat ze er niet meer afkomt. Ze verliest vaak. Dan is ze niet te genieten. Tegen. Tegen iedereen vaart ze uit. Ook tegen mij. Om de kleinste kleinigheden zet een grote mond op. Als ik het maar bij haar kan uithouden.
Ik voel me steeds zieker en ellendiger woeden. Het branderige gevoel komt hoger en hoger. Ik voel het al bij mijn borst. Dan komt Koesni binnen met de ring uit de kamer van Boe Pin. Een ring met een wit-grijze agaat. Boe Pin pakt de ring opgelucht aan. Dan legt ze de agaat op de plek waar ik gebeten ben. Daarna krijg ik een heel gek gevoel. Net of dat slangelijf uit mijn bevenbuik wordt weggetrokken. Steeds verde naar beneden. Van mijn maag naar mijn heup, naar mijn lies, mijn dij, mijn knie en zo door. Dat is het gif dat wordt weggezogen. Het komt weer naar buiten. Razend snel! En het schuimt. Het blijft op de plek van de wond zitten, Ook aan de agaat zit gif. Het ziet eruits als wit schuim. Mijn hoofdpijn is opens over. Iedereen die het heeft megemakt, staat versteld. He! He! Een pak van mijn hart. ***

Monday, May 08, 2006

Batam ( 2 )

Pulau Batam dan Bintan tidak jauh berbeda bagiku. Batam sebagai pulau pertama tempat aku lebih mendalami hidup setamatnya dari FKIP Unair Malang (lihat kenang-kenanganku tentang kota pegunungan di Jawa Timur ini). Di Batam waktu itu lebih tigapuluh tahun yang lalu adalah hutan karet dan dolken. Aku dan kawan-kawan tinggal di dalam hutan. Belum ada listrik. Jika malam terdengar hingarbingar monyet dan burung-burung malam. Ular bergelantungan di pohon-pohon pinggir sungai. Mungkin karena pasrah di dalam menjalani hidup maka setelah itu muncul cahaya. Di Bintan, pulau sebelahnya yang dikenal dengan kota-kotanya Tanjung Pinang, Tanjung Uban (kota minyak) dan Kijang (kota tambang bauksit 25 km timur Tanjung Pinang). Di kota yang disebut terakhir ini aku mendapatkan jodoh, anak perempuan seorang pegawai tambang senior asal Tembilahan, yang jika dirunut datang dari lokasi lebih jauh lagi: Kalimantan Selatan. Setelah aku bersama isteri tinggal di Jakarta dan mendapatkan keturunan empat anak lima cucu, hubunganku dengan pulau Bintan dan Batam terus tersambung. Jika sanakfamili dari pihak isteri pergi ke Jawa pasti jujugannya Jakarta dulu, tempat kami berdomisili di Pasar Minggu. Jika sebaliknya kami berdua ke Kepulauan Riau, kami bisa ke Kijang (Bintan Timur) lalu ke Nongsa (naik feery dari pelabuhan Tanjung Pinang ke Telaga Punggur, Batam, diteruskan lagi pakai taksi ke tujuan), tempat anak sulung kami meneruskan hidup di sana seperti penggantiku saja saat muda dulu. Aku banyak mendapat referensi selama merintis lebih tigapuluh tahun yang lalu di Bintan dan Batam. Lalulintas di sana serba laut. Tidak asing lagi dengan kolek, rakit, ponton atau motorbot serta ferry yang tiap jam selalu penuh penumpang. Aku jadi kenal betul peninggalan bersejarah di pulau Penyengat dengan mesjidnya yang konon disemen pakai kuning telor, tersohor pula dengan tari-tarian mantang dan zapin, teater Makyong, senandungnya yang khas meliuk-liuk saat mengiringi gurindam 12 Raja Ali Haji, kopinya yang sedap di warung Akau, mi lendir, asma rujak, lautnya, pelabuhan-pelabuhannya yang di Tanjung Pinang, Tanjung Uban, Telaga Punggur, Sekupang, termasuk juga Barelang (pada foto terpampang saya bersama Tini sang isteri, Diah Wulandari anak nomor 2 dan Nabila sang cucu pertama), yaitu jembatan besar yang menghubungkan pulau-pulau Batam, Rempang dan Galang (bekas tempat penampungan pengungsi Vietnam yang kini tinggal siluetnya saja, eh-eh-eh, kata orang berhantu lho!). Berkat di Kepulauan Riau pula aku tidak lupa merekamnya dalam bentuk tulisan, apakah itu cerpen antara lain "Dialog Membisu" maupun novel antara lain "Gipsti Laut" serta artikel-artikel di koran seperti SINAR HARAPAN, KOMPAS, INTISARI serta DITEKTIF ROMANTIKA (promotornya waktu itu Sdr. Sembiring). Sebagai dokumen kucantumkan pula surat dari redaksi INTISARI dan komentar tentang diriku di dalam terbitan khusus 25 Tahun INTISARI.
Kembali kepada partisipasi di dalam berenang di laut seperti ini: Jarak dari pantai pulau Penyengat ke pantai pelabuhan Tanjung Pinang cukup jauh. Aku tidak membual, saat ada perayaan hari besar, aku dengan kawan-kawan mengikuti lomba renang laut, sedikitnya tiga jam, dan toh dari pantai Penyengat itu aku bisa juga sampai dengan selamat berenang ke pantai Tanjung Pinang. Jika sekarang kutelusur, cukup jauh juga. Ngeri. Bagaimana kalau ada ikan todak atau hiu menyergap dari dalam laut? Apa aku maniak olahraga? Ya. Sejak di Kijang dan Tanjung Pinang itulah aku mulai gemar main tenis hingga berlangsung puluhan tahun kemudian. Anakku pertama dan kedua lahir saat aku tengah asyik tanding tenis di RSAL Jakarta dan RS KKo Cilandak (pada foto pertama saya bercelanapendek biru bersama Ben yang berkumis saat siap tandingtenismalam di Jakarta). Ah, bahannya tak habis-habis untuk diocehkan.
Rahmat Ali, 9 Mei 2006.


BUKU PERINGATAN 25TH INTISARI

Rahmat Ali
Jakarta :
Mendapat Perspektif Baru

Bagi Rahmat Ali, kelahiran Malang, 29 Juni 1939, menulis merupakan sumber kehidupannya yang kedua di samping sebagai pegawai ne­geri. Sebelum menulis untuk Inti­sari, dia sudah banyak menulis sajak dan cerpen. Melalui Intisari ia melihat suatu perspektif baru di bidang penulisan, yaitu menulis karangan berdasarkan fakta, bukan fiktif. Rahmat mulai mengirimkan tulisannya ke Intisari pada tahun 1970. Karangan pertama itu mengisahkan pengalamannya selama belajar di Amerika Serikat. Waktu itu ia masih berdinas di KKO dan mendapat tu­gas belajar tentang masalah komunikasi.

Dalam menulis ia tidak mau terbatas pa­da satu topik saja. Lebih dari dua puluh tulisannya yang pernah mengisi Intisari (1970-1978), temanya pun beragam. Ada yang bercerita tentang belajar terjun payung, menangkap codot, melatih lumba-­lumba, atau profil tokoh dan sebagainya.
Kini Rahmat berstatus sebagai karyawan Pemda DKI dan menjabat Kasubdin Bina Program, Dinas Kebudayaan DKI Jakarta. Tugasnya banyak menyangkut masalah-ma­salah sejarah. Maka tulisannya pun banyak yang kemudian berkaitan dengan topik itu. la mengaku cukup banyak menerima tanggapan dari tulisan-tulisannya di Intisari. Seperti reaksi terhadap tulisannya tentang memelihara lebah. Ternyata banyak juga pembaca yang berminat beternak lebah dan meminta sarannya.



Honor dari tulisan-tulisannya, menurut Rahmat, lebih banyak dipakai untuk pe­nambah garam dapur. Sebagian kecil di­pergunakannya untuk membeli buku-buku referensi pribadi yang menyangkut bidang budaya, terutama sejarah, kesenian serta majalah-majalah.
Sejak tahun 1978 ia tidak pernah mengi­rimkan tulisan lagi ke Intisari karena kesi­bukan pekerjaan. Namun, bukan berarti ke­gemarannya menulis terhenti sama sekali. Lima buah buku karangannya telah diterbit­kan. Yang terakhir, Novi, terbit pada tahun 1986. (Tota)

SAJAK BINTANG SEJUTA MATAHARI

SAJAK BINTANG SEJUTA MATAHARI
/ Rahmat Ali

Jika tiba-tiba hadir
bintang sebesar sejuta matahari
warna paling merah dari yang paling merah
pantul paling silau dari yang paling silau
tak mungkin pandang
gerah segala gerah milyaran derajat
ibu segala ibu nerakalah itu
angkasa oh angkasa
tungku di atasnya wajan tengadah
galaksi-galaksi tergoreng
planet-planetnya bermekaran melebihi krupuk
lenyap ambisi dan nafsu nafsi-nafsi
mahluk termasuk manusia telah lama luluh lebih debu dari debu!

Jakarta 8 Mei 2006

SAJAK PUKATHARIMAU

SAJAK PUKATHARIMAU
/ Rahmat Ali

Dum-dum-dum-dum
mesin kapal pukatharimau menderum
menyusup seperti penyamun ke dusun tebar bermil-mil jala di sepanjang kawasan sarang berbagai ikan

"Datang lagi dia, datang lagi
memagari gerak kita
jauhkan teluk dan selat
berakibat dicengkeram laknat!"

"Jangan takut
gigit tali jangkar
biar terombang-ambing
hanyut ke pusaran palung!"

"Gimana tak kecut
seperti tak mungkin hindar sergap
sudah kaku sirip dikepak
cipak-cipak ekor tak lagi tegak!"

"Jika getar mesin dinosaurusbesisamodra menikam-nikam
tetap tahan diri kalian
lalu cepat-cepat minggat!"

"Oh-oh-oh tak tahan kami
apa sudah kiamat?"

Dum-dum-dum-dum
sonarnya tebar racun
pingsankan jutaan tengiri terjang tumpuk-tumpuk cakalang,
kerapu, udang, cumi, kepiting, ekorkuning, bawal dan semua penghuni sarang
yang masih kuat ya larilah
zigzag-zigzag tukik kanan tukik kiri
tikung bawah tikung atas mana ujung mana penghabisan
tak sempat pikirkan.

Jaring tambah giring
krak-krak-krak-krak derum mendongkrak
para ABK sorak
byur-byur-byur meluncur ikan-ikan tersungkur
di palka penyambut leher tersayat menganga
sirip-sirip tertebas ekor terajang-rajang.

Grak-grak-grak-grak
sling jangkar diangkat
telah digulung jala bermil-mil
penyamun pulang selamat sluman-slumun
tangkapan selesai terbumbu dalam kaleng
siap jual di negeri-negeri seberang.

Jakarta 8 Mei 2006

Batam ( 1 )

Batam setelah tiga puluh tahun berlalu

Pulau Batam yang sekarang sangat berbeda dengan beberapa puluh tahun yang lalu. Dimulai pada zaman " konfrontasi" dengan Malaysia (Saat itu Singapura masih termasuk di dalamnya. Sebagian besar Pulau Batam hutan belantara . Pos utama pasukan KKO/Marinir sekarang berada di Duriangkang, bagian Tenggara Pulau yang berbatasan dengan laut. Di seberang timurnya adalah Tanjung Uban, kota minyak di Pulau Bintan barat laut. Sebelah selatan Duriangkang adalah Telaga Punggur, waktu itu masih pangkalan perahu tongkang dari clan ke Tanjung Pinang atau pulau­pulau,lainnya. Untuk masuk ke Duriangkang melewati sungai kecil pakai peranu/pansam yang rinaang aan pada cabang-cabang pohon tampak banyak ular bergelantungan. Di "Kota" inilah kalau siang masing-masing kesatuan melaksanakan tugas nrtin, malamnya pada menonton siaran TV Malaysia/Singapura. Terakhir selesai nonton jam 21.00/22.00 lalu tidur suasana jadi gelap karena generator harus dihemat. Temyata di barak PHB yang dipimpin Pak Tarmin (Alm.) ada sesuatunya tidak lain seperti derap-derap sepatu atau terkadang bunyi dok-dok-dok. Hantukah ? Orang-orang bilang begitu. Siangnya bagian Kesehatan pimpinan pak dr. Kumbo banyak dikunjungi pasien lokal, umumnya orang-orang Tionghoa keluarga penyadap karet. Mereka membaias jasa pengobatan dengan telor / ayam. Waktu itu komandannya Pak Anwar (Alm.) clan ajudannya Pak Edi Antoni (Alm.) Saat bubaran Brigat II orang-orang sibuk berkemas pulang. Alat-alat berat seperti tank, pansam, armed, dan AN-GRC26 mobil unit komunikasi serta kendaraan-kendaraan diangkut semua oleh LST ke Jakarta sejak Maret 1968. Pulau Batam sepilah sejak itu.

Kini lebih sepertiga abad berlalu Pulau Batam telah berganti wajah , pos­pos KKO-Marinir yang dulu hanya tempat kosong seperti Sekupang, Batu besar, Nongsa dan Tanjung Pinggir, juga Duriangkang -- telah ramai (dengan Bandara Hang Nadim dan "makmur'j, penuh manusia pengadu untung, selama tahun 1990-an dibangun jembatan BARELANG (Bata m-Rempangdan Galang, yang disebut terakhir ini bekas tempat penampungan pengungsi Vietnam). Di situ seperti "negara" tersendiri bagi masyarakat Vietnam yang telah datang pakai perahu-perahu kecil. Ada kampung, kebun, sekolah, kuil dengan patung mirip Dewi Kwan-Im versi Vietnam, clan kuburan (lagi-lagi banyak hantunya walaupun siang-siang). Di Sekupang telah didirikan patung Dewi Kwan-Im tinggi menghadap laut yang disucikan dan dikramatkan bagi pemeluknya.

Sunday, May 07, 2006

J a n t u k (cerpen)

JANTUK
/ RAHMAT ALI

I.
AKU TERGETAR. Oleh pang­gilan sinyal yang menyentuh sampai ke dasar sanubariku. Maka aku bergegas datang. Menuju sumber sinyal yang terus me­manggil-manggil. Tetapi rupanya asal sumber tersebut teramat jauh. Teramat jauh. Sebagai zat tanpa bobot tanpa bentuk lahir aku melanjutkan per­jalanan. Sebagai zat yang trans­paran aku berada di luar kemam­puan pandangan mata awam. Aku dengan. mudah menyeberangi waktu. Aku melayang di awang­awang. Telah ratusan tahun cahaya kutempuh dan aku tidak merasakan apa-apa. Telah kulam­paui tiga tata galaksi yang luar biasa dan mengagumkan sebagai tanda kebesaran. Sang Maha Pen­cipta. Itupun seperti terjadi hanya beberapa menit. Akupun menyibakkan benda-benda angkasa yang berlapia gelang­gelang pelangi di jagad raya sana. Baru setelah itu aku memasuki tata galaksi yang hanya disorot satu matahari. Di sini getaran sinyal panggilan itu makin kuat memukul-mukul dasar sanubariku. Kalau begitu sudah jelas. Setelah kuteliti lebih jauh kuketahui. Bahwa yang me­manggil-manggilku adalah planet bumi. Tempat mahluk manusia berkaki dua meniti sejarah peradaban dan kebudayaannya. Segera aku mengarahkan diriku ke pemukiman mereka.

II.
Begitu kuatnya daya pancar sinyal itu sehingga aku seperti tersedot ke bawah. Terhinggap di atap rumah. Aku seperti dipaksa menembus langit-langitnya. Kemudian terhempas di kamar. Tepatnya pada guling kecil terge­letak di pinggir kasur. Langsung saja aku menyusup sama sekali ke dalam kapuknya. Berdiam di situ cukup lama. Dalam keadaan gelap dan tidak melihat apa-apa. Aku menunggu segala kemungkinan yang bakal terjadi. Tidak lama kemudian seorang mahluk manusia berkelamin pe­rempuan menghampiri guling kecil. Berarti menghampiri diriku. Mengangkatku. Membawaku ke luar. Aku digendongnya dan diti­mang-timangnya.
"Jantuk anakku sayang," kata mahluk manusiaberkaki duayang berkelamin perempuan itu. "Kau belum tidur-tidur juga? Hari telah malam. Seharian penuh kau telah membantu emak bekerja. Kau tentunya lelah. Kau harus istira­hat. Nanti pasti lebih sehat kalau banyak beristirahat. Mudah-mu­dahan pula kelak kita jadi orang kaya, yang bisa makan enak serta berpakaian bagus. Sekarang prihatin dulu. Kau dengar semua kata-kataku, Jantuk. Nah, tidur­lah. Hari telah jauh malam." Siapa yang dimaksud dengan Jantuk, pikirku.
"Mengapa termenung-menung saja, anakku. Kaulah Jantuk. Kau telah lupa kalau namamu Jantuk? Jangan begitu anakku. Lantaran namamu itu maka aku emakmu dipanggil oleh seluruh dunia se­bagai Mak Jantuk. Dan bapakmu yang berdahi lebar itu Bapak Jantuk."
Aku masih terheran-heran. Mengapa Mak Jantuk tahu betul apa yang sedang di dalam pikiranku?
"Tak perlu bertanya-tanya dalam pikiranmu, Jantuk," katanya lagi. "Emakmu ini yakin kau adalah belahan jiwaku. Atas dasar itulah emak harus tetap kuat berusaha. Begitu juga bapakmu, Bapak Jantuk. Untuk sekarang kau baik-baiklah terus di rumah. Kita selalu baik dengan tetangga. Mereka pun ikut menga­wasi keamanan rumah kita!"
Beberapa menit kemudian Bapa Jantuk muncul dari kegela­pan. Dengan tongkat rotannya yang memukul-mukul ubin mahluk manusiaberkaki duayang berkelamin laki-laki itu menyapa istrinya dengan sapaan keras dan riang:
"Hei, Mak Jantuk!"
Tetapi yang disapa masih asyik
menimang-nimang diriku. "Hei, Mak Jantuk!" "Ya," jawabnya kalem. "Disapa berkali-kali kok hanya kalem aja. Budeg, ya?"
"Enak aja ngomong. Jangan datang-datang ngemarahin, Bapa Jantuk."
"Habis nggak nyahut-nyahut. Sapa yang nggak dongkol'?"
"Aku lagi keasyikan, Bapa Jan­tuk."
"Asyik sama sapa, Mak Jan­tuk?"
"Sama sapa lagi kalo nggak sama anak kita."
"Kok keterlaluan?" "Tandanya kalo aku amat sa­yang sama dia. Tambatanku. Be­lahan jiwaku. Sandaranku di hari tua."
"Jadi karena sayang sama anak maka kamu tidak sayang sama aku sebagai suami kamu?"
Mak Jantuk menoleh kaget. "Sama anak sendiri lu sudah iri, ya? Cemburu, ya?"
"Siapa nggak jengkel kalo sa­ban kali lu kerjanya hanya ni­mang-nimang. Nggak ada kerja lain? Nggoreng singkong, kek. Nyedukopitubruk,kek.Ini malah ngajak perang sama laki!"
"Bapa Jantuk,: jawab istrinya mulai sewot. "Bilang apa barusan? Mana belanjaan lu saban harinya? Boro-boro nggoreng singkong sambil menikmati kopi tubruk, hutang di warung sebelah aja be­Ion dibayar-bayar. Berapakali aku harus bohong sama pemilik warung. Aku malu. Sudahlah. Baikan lu perigi yang lama. Dari pada di rumah ngajak padu melulu!"
"Sabar, sabar sedikit, Mak Jantuk. Jangan begitu aku datang kemudian lu usir. Itu dosa na­manya."
Kata-kata Bapa Jantuk mulai lebih tenang dan bijak, sambil mempertunjukkan muka yang jernih.
"Aku datang dengan membawa kabar bagus, Mak Jantuk."
"Apa?" jawab istrinya masih tak acuh.
"Ada penghajat yang manggil kita."
"Kita akan ditanggap lagi?"
“Tidak salah, Mak Jantuk. Besok malam!"
"Alangkah menyenangkannya!"
Sambil berkata begitu Mak Jantuk segera menghambur ke pelukan suaminya. Aku sebagai guling kecil lalu dilemparkan ke lantai. Sialan. Bagaimanapun aku menyaksikan sekilaskebahagiaan, antara pasangan suami istri yang menerima kabar bagus itu.
"Haji Dollah Yang akan me­nanggap kiica, Mak Jantuk. Orang kaya di kampung Setu sana itu. Mainlah yangbagus pula. Pakailah kostum yang sebaik-baiknya. Pe­nontonnya bakal membeludag. Haji Dollah berani membayar mahal untuk kita. Tentunya para penabuh gamelan ikut senang. Ah. Sudah lama kutunggu-tunggu saat begini. Berarti kita bisa beli gen­teng beberapa puluh biji untuk pengganti yang sudah pecah. Vita tidak kebocoran lagi."
"Jangan mimpi terlalu banyak, Bapa Jantuk. Mimpi itu tidak baik. Berpikir sewajarnya saja. Kalau banyak mimpi bisa sakitan. Padahal kita sudah gaek. Umur lu limapuluh lima. Cocok berjalan dengan tongkat rotan itu. Baiklah kita tidur dulu."
Keadaan lalu sepi di rumah itu.

III.
Sejak berpentas di rumah Haji Dollah di ujungKampungSetu aku mulai tahu bagaimana kehidupan pasangan Mak dan Bapa Jantuk. Mereka tergolong pasangan mahluk manusia berkaki dua yang getol melestarikan teater Topeng Betawi demi kelangsungan hidup mereka sehari-hari. Bapak Jan­tuk, istrinya serta delapan orang anak buah sebagai penabuh gamelan telah puluhan tahun bergantung pada tanggapan­-tanggapan orang yang punya hajat. Mereka berpindah dari terop yang satu ke terop yang lain. Dari kampung mana saja selama yang punya hajat orang Betawi atau yang masih setia menjadi pendukungkesenian Betawi. Grup Bapa Jantuk cukup dikenal, baik oleh yang tua-tua maupun anak­anak. Bapak Jantuk selalu me­mantau kenalan-kenalannya, mana dari mereka yang akan menyunatkan atau mengawinkan anak mereka. Kalau sudah jelas tentunya Mak Jantuk harus hari­hari awal menguping dan kemu­diart memberikan saran untuk menanggap Topeng Betawi satija. Dengan senyum serta tertawa Mak Jantuk yang sedap dan menyenangkan biasanya tidak antara lama yang empunya h9jat datang, memberitahukan kabar bagus. Bahwa Bapa Jantuk dam rombongannya memang yang di­tunggu-tunggu untuk berpentas. Kalau jelas begitu maka Bapa Jantuk menyuruh istrinya untuk mempersiapkan cadangan-cada­ngan lakon yang serba menarik, yang mengandung drama, yang percintaan, yang menyedihkan, atau yang penuh silat dan diramu dengan lawakan-lawakan. Keban­yakan orang menyukai lakon ramuan. Ya ada dramanya, ya percintaannya, diseling dengan pencak silat serta humor yang konyol-konyol. Bagi penghajat generasi tua biasanya setelah pertunjukan masih ingin mendapat suguhan lakon tambahan. Dikeluarkan setelah lewat tengah malam. Bapa Jantuk pada kesempatan itu lebih suka menyuguhkan lakon tentang kehidupannya sendiri. Secara apa adanya. Yang melibatkan dirinya dengan Mak Jantuk, lengkap den­gan guling kecil tempatku berlin­dung di dalamnya.

IV.
Biarpun sudah enam bulan tetap saja aku maeih mengurung diri di dalam guling kecil. Akupun belum mau mengucapkan kata­kata. Aku tetap diam saja waiaupun sudah digendong dan ditimang-timang berkali-kali. Walaupun demikian aku senang mengamati gerak-gerik dan tingkah laku pasangan seniman itu. Dari pengamatanku tiap saat aku bisa menyimpulkan banyak hal. Yang utama mereka berdua rukun. Gigih. Tidak kenal menyerah. Mereka sebenarnya seniman alam. Pentas memang bidang mereka. Kalau audah di atas pentas dan menghadapi pe­nonton yang berjubel, Bapa Jan­tuk dan istrinya sudah tahu betul bagaimana menarik perhatian. Hanya dengan satu istilah yang dibelokkan sedikit saja para pe­nonton gerrr. Tertawa panjang. Terkekeh-kekeh. Tehnik berperan Bapa Jantuk dan istrinya tidak bisa ditandingi oleh bintang-bin­tang filem. Tak kalah dengan generasi muda keluaran Akademi Drama. Mak Jantuk pandai pula menari. Dia hapal pula menem­bangkan syair-syair lama, yang mengisahkan kota Betawi ketika masih kampung dan belum se­ramai sekarang. Usia empatpuluh lima bagi Mak Jantuk tidak jadi halangan untuk terus menari-nari, setelah selingan itu selesai masih diteruskan lagi dengan dialog-dia­log tangkas mengimbangi Bapa Jantuk. Tanpa pemain lain di dalam grup itu memang Bapa Jantuk dan istrinya tidak berarti apa-apa. Justru para pemain pembantu itulah yang banyak menentukan jalannya pertunjukan keseluruhan.

Mereka masing-­masing adalah Kisam, si penabuh gendang. Sentakan-sentakan tan­gannya membuat suasana lebih hidup. Pukulan gendang itu mem­buat Mak Jantuk lebih bergairah lagi melambai-lambaikan selen­dang. Tukang rebab Imung juga sukar ditandingi orang lain. Be­gitu juga Kerto, tukang kenong merangkap pengecrek. Belum lagi Kin, pemukul gong. Hebat. Para penabuh gamelan bukan sekedar sibuk dengan gamelannya. Mereka sering juga ikut aktip di dalam perjalanan lakon. Seperti pada saat itu, dengan tidak disangka-sangka Kisam penabuh gendang melontarkan pertanyaan kepada Bapak Jantuk, apakah dia audah sadar dalam hidup ini.
"Sadar apanya, Kisam?"
"Kalo dahi lu tambah nongol!"
"Sialan lu, Kisam. Lu punya gigi lihat juga. Mrongos dari aulu. Apa ketumbur ceret waktu lahir?"
"Gigiku nggak apa-apa mro­ngos, Bapak Jantuk. Dari pada hidung lu yang busuk."
"Kenapa hidungku busuk? Lu tahu sebabnya?"
'Tiap mau makan nyiuman ikan asin melulu!"
"Lu tukang gendang nyindir terus. Awas kalo aku diundang ke restoran. Nggak bakalan kuajak lu!"
Biar Bapa Jantuk punya dahi nongol ke depan tetapi dia baik. Hanya kata-katanya saja sedikit kasar, padahal di dalam sanuba­rinya tidak tegaan. Suka menolong kawan-kawannya waktu susah. Kelemahan Bapa Jantuk terletak pada kesepian. Dia dikenal sebagai mahluk manusia berkaki dua yang tidak tahan kesepian. Terutama dari mahluk manusia perempuan. Dulu pacarnya ba-nyak. Tetapi sekarang hanya untuk Mak Jan­tuk, yang tetap cantik dan punya sisa-sisa tubuh bahenol. Hanya di dalam lakon sa,ja dia menceraikan istrinya, gara-gara pertengkaran akibat ikan asin yang dicuri kuc­ing. Gara-gara keteledoran istri maka kontan Bapa Jantuk meng­hajar Mak Jantuk dan mencerai­kannya langsung talak tiga. Mak Jantuk diantar sampai ke hala­man depan rumah mertua Bapa Jantuk. Sudah itu ditinggalkan tanpa kata-kata sepatahpun. Waktupun berlalu. Dasar Mak Jantuk masih cantik dan punya sisa-sisa poto-ngan yang bahenol maka dengan singkat sudah tiga mahluk manusia berkelamin laki­laki yang melamarnya. Bapa Jan­tuk sedih. Lalu ru,juk kembali, setelah pakai melamar lagi!

V.
Kehidupan di panggung dan di luarnya memang amat berbeda. Bukan saja pada Mak Jantuk. Demikian juga pada Bapa Jantuk dan semua grupnya. Rata-rata punya problim cukup berat di luar layar panggung. Terutama dalam hal mengatasi asap dapur. Tidak jarangmerekahanyamakan sekali dalam sehari. Mungkin bagi mereka mahluk-mahluk manusia berkaki dua yang dewasa itu su­dah biasa. Tetapi bagi anak-anak para tukang gamelan itu? Terpaksa para orang tua datang ke warung dekat rumah mereka masing-masing. Bon beras. Bon garam. Lauknya krupuk. Atau ikan asin murahan. Ya, ikan asin inilah lauk utama mereka. Tidak heran BapaJantuk dulu pernah senewen gara-gara Mak Jantuk tidak pan­dai menyimpan ikan asin sehingga digongol kucing. Bertengkar habis­habisan dilayani biar hanya per­soalan ikan asin. Akhir-akhir ini Mak Jantuk seperti menghadapi problim baru. Masalahnya terletak pada Bapa Jantuk yang sering terlambat pulang. Malah beberapa hari be­lakangan tidak diketahui ke mana hengkangnya. Hal tersebut mem­buat Mak Jantuk sering melamun. Lalu sering kudengar Mak Jantuk mengalunkan tembang.
Aileu
Cipati burung Jiwana
Cipati burung Jiwana
Sayang disayang Aiii
Ada sepasang di kembang Jiwana
Jantung hati ada di mana
Si ­Bapa Jiwana
Kencang jalan keliling.
Aku yang selalu di rumah dan mengetahui Mak Jantuk dengan jelas bagaimana gelisahnya, bisa menangkap makna tembang yang dimaksud. Memang Mak Jantuk sudah pergi bertanya-tanya. Te­tapi belum juga didapatkan keter­angan sedikitpun. Bapa Jantuk seperti burung Cipati dari negeri Jiwana. Apakah benar dia minggat? Aku yakin Bapa Jantuk tidak minggat. Aku yakin Bapa Jantuk sedang berusaha mencari peng­hasilan tambahan. Hanya karena belum mendapatkan maka dia malu pulang tangan hampa.
Tetapi keadaan tersebut tidak dimengerti oleh Mak Jantuk. Dia mengira suaminya telah berpaling ke mahluk manusia berkelamin perempuan yang lain. Mak Jan­tuk merasakan apa yang dina­makan cemburu itu. Cemburu berarti benci. Cemburu berarti tidak mau disaingi jenis kelamin perempuan lain. Mak Jantuk hanya untuk Bapa Jantuk. Se­baliknya Bapa Jantuk tidak boleh melengos ke kelamin perempuan lain kecuali bininya, seseorang yang sudah dikenal dengan nama Mak Jantuk.
Sementara itu aku, Jantuk, yang sudah diangkat dan dianggap anaknya sendiri, bingung tidak karuan. Akubermaksud memberi­kan pengertian sedikit kepada Mak Jantuk tetapi seperti tidak kesampaian. Baru saja aku ingin ngomong, Mak Jantuk sudah meneruskan tembang yang berikutnya:
Aiii hujan siang kudengar ma­lam
Ai sayang disayang
Ai kilat gunung angin api
Aiii sayang disayang
Ai janji siang datangnya ma­lam
Aiii janji siang datangnya ma­lam
Aiii putus mengharap si jan­tung had
Ai sayang disayang
Kembang melati aku ukirin
Aiii jantung hati aku pikirin
Ai kalau begini naga-naganya
Ai sayang disayang
Ai inaga digelut Lautan Kidul
Kalau begini datang rasanya
Ai rasa dipeluk di tempat­tidur.

Begitu selesai menembang tampak Mak Jantuk sedih sekali. Cepat-cepat aku diangkat, digen­dong dan dicium-ciumnya. Kurasakan guling kecil tempatku berlindung basah.



VI.
Aku terpaksa keluar dari gu­lingku yang kecil itu untuk menge­tahui keadaan, terutama yang di luar rumah, di jalan jalan, di pasar­pasar serta tempat-tempat umum lainnya. Pada saat itulah aku dengan tidak sengaja melihat aosok tubuh BapaJantuk. Ke mana dia? Dengan tongkat rotannya yang khas itu dia berjalan, kemudian berteduh di bawah pohon asam. Dia kehausan tampaknya.
"Tidak juga ada orang yang berhajat menyunatkan atau men­gawinkan anaknya," kata Bapa Jantuk seperti tidak kepada siapa­siapa. "Kerja apa lagi kalau tidak ada orang yang menanggap?"
Aku segera mempengaruhi pikiran seorang mahluk manusia berkelamin laki-laki pemilik rumah dekat pohon asam itu, agar dia mau tergerak hatinya setelah menyaksikan Bapa Jantuk kele­lahan. Rupanya pengaruh yang kutanamkan dalam sanubarinya mengena. Tidak lama kemudian pemilik rumah itu datang meng­hampiri Bapa Jantuk. Dia diajak mampir ke beranda rumahnya. Ditawari rokok daun jagung yang amat langka diisap orang kecuali orang-orang asal desa.
"Terimakasih, terimakasih," kata Bapa Jantuk. Kelihatan Bapa Jantuk senang sekali mengisap rokok daun jagung. Lalu dia memperkenalkan dirinya lebih panjang lebar, kalau pekerjaan­nya sebagai pemain Topeng Be­tawi. Mendengarinipemilikrumah lalu menyuruh istrinya di dalam membuatkan teh pahit dan re­busan ubi. Terobat juga haus Bapa Jantuk yang tidak minum sejak kemarin.
"Jamannya sekarang sudah berubah, Bapa Jantuk," kata pemilik rumah. "Orang-orang muda sudah kecanduan hal-hal yang moderen. Yang serba mewah. Di kampung-kampung sudah makin dikenal pilem tancep. Mu­siknya dangdut. Itulah kehidupan jaman sekarang!"
Lama mereka mengobrol. Su­dah itu Bapa Jantuk pamit. Untuk berikutnya yangkulihat adalah kesibukan suatu terminal bis di tengah kota. Tampak di antara kerumunan warga kota itu Bapa Jantuk. Tubuhnya tampak cukup tinggi dan tegap: Bajunya tetap yang itu-itu juga, hitam. Karena sering tersorot matahari jadi agak keputihan. Toh Bapa Jantuk masih suka memakai tiap hari. Kalau di atas panggung Bapa Jantuk amat dikenal, tetapi ketika di terminal itu seorang pun tidak ada yang menyapa. Dia seperti di tengah-tengah orang asing. Ma­sing-masing tidak ada yang me­ngurus. orang lain kecuali dirinya sendiri. Bapa Jantuk jadi seperti ragu-ragu. Dia ingin naik satu bis warna hijau. Tetapi setelah di dalam dia tergesa turun kembali. Akhirnya dia ikut bis merah ke arah timur. Tidak dapat tempat duduk. Diahanyaberdiri dibagian belakang. Matahari begitu teriknya dan Bapa Jantuk mulai berkeringat. Setengah jam kemudian dia turun dan memasuki gang panjang. Di situ ada satu sanggar para pemain lenong. Bapa Jantuk mampir, menanyakan pimpinan lenong yang bernama Hok San. Tetapi yang dicari sedang pergi. BapaJantuk ditawari untuk duduk menunggu sebentar di dalam rumah. Tetapi dia enggan. Lalu pergi lagi. Dia harus pakai bis lagi ke tujuan berikutnya. Tetapi bis yang dimaksud tidak ada. Harus pakai mikrolet dulu untuk sampai ke pangkalan bis. Aku mengikuti terus di samping Bapa Jantuk tanpa diketahuinya. Kawan yang dituju ini pun seniman pula, sanggar rebana biang di Kampung Ciganjur. Sama juga: Seniman-­seniman itu kebetulan sedang mendapat panggilan main di Taman Suropati. Bapa Jantuk tampak kecewa. Di samping juga menyesalkan, kenapa bukan dia beserta anggota grupnya yang dapat kehormatan bermain di rumah kediaman Gubernur. Ba­rangkali nanti, pikirnya. Seharian itu BapaJantuk keliling. Dia tidak mau pulang. Aku saja yang kem­bali dan diam-diam masuk ke dalam guling.

VII.
Aku tidak bisa menyalahkan kalau sikap Mak Jantuk agak berlebihan kepadaku, yang ber­bentuk guling kecil. Setelah ae­minggu Bapa Jantuk tidak mun­cul-muncul juga maka Mak Jan­tuk mendekapku kuat-kuat sam­bil menangis.
"Sudah nasibmu, Jantuk. Su­dah nasibmu," katanya iba. Di antara senggukan­senggukan tangisnya dia meneruskan kekesalan-kekesalan hatinya di hadapanku: "Kawan­-kawan grup tidak ada yang tahu ke mana Bapa Jantuk pergi. Memang nasib, Jantuk. Aku kasihan padamu yang punya bapak aneh."
Mak Jantuk sudah mengerahkan anggota-anggota grupnya untuk berkeliling kota mencari suaminya tetapi tidak ketemu juga. Mereka kembali dengan laporan hampa.
"Sebaiknya kita siap-siap pergi saja, Jantuk," katanya lagi. "Aku telah menangis di rumah ini sam­pai airmata kering tidak juga dia kunjung kembali. Laki-laki tidak tahu diri bapakmu itu, Jantuk. Dia laki-laki menyebalkan!”
Aku segera diletakkan di te­ngah tempat tidur. Di situ Mak Jantuk lalu mendandani diriku. Bagian bawah guling dikenakan sarung kecil, bagian atasnya baju kurung laki-laki ukuran kecil pula. Akhirnya pada ujung guling di­pasangi topi bayi dari bahan be­nang wol. Mungkin karena dirasa belum pantas masih ada lagi yang ditambahkan. Bedak yang tehal dipoleskan.
"Ah, kau anak lelaki yang cakep, Jantuk," katanya kemudian. "Apa lagi kalau kugantungi kalung klinting-klinting ini. Setiap kuangkat dan kutimang-timang kau akan berbunyi klinting­-klinting. Orang lain akan tahu kalau kamu sedang kumanjakan, anakku."
Jangan ditanya pula tentang diri Mak Jantuk. Dia pun berdan­dan habis-habisan. Dia pasang gincu sampai merah. Dia semprot minyak wangi murahan. Kemu­dian dia menggendongku keluar. Apa pasal, apa penyebabnya, tanyaku pada diriku sendiri. "Jangan tanya apa pasalnya sampai aku senekad ini, Jantuk. Semua ini gara-gara bapakmu yang menghilang beberapa hari. Disangkanya aku akan diam saja. Disangkanya hanya lelaki yang bisa menang sendiri. Tidak, Jan­tuk. Perempuan bisa juga menang. Perempuan juga bisa merentengi laki-laki. Perempuan yang ber­nama Mak Jantuk ini tidak mau kalah!'°
Sepanjang jalan yang tidak kuketahui mau menuju kemana itu Mak Jantuk terus ngoceh. Berkali-kali dia tersandung, te­tapi tidak sampai jatuh karena Mak Jantuk biasa menari dan cekatan membuat keseimbangan badan. Dia memberi tanda kepada bis untuk minggir. Dan bia itupun minggir untuk mengangkut Mak Jantuk yang menggendongku. Semua penumpang di dalam bis itu memperhatikan Mak Jantuk dengan aneh. Mak Jantuk tidak perduIi. Malah dengan sengaja dia memperlihatkan diriku tanpa malu. Begitu dua kampung dile­wati Mak Jantuk memberi tanda kepada kondektur untuk turun. Langsung pindah ke becak dan diminta untuk menyusuri jalanan kecil di pinggir sungai. Betul juga seperti yang telah kuduga dalam hati, bahwa setelah mendekati padang yang luas Mak Jantuk menyuruh becak berhenti. Mem­bayarnya. Kemudian hanya tinggal MakJantuk dan aku saja di padang yang sunyi itu.
"Kita sekarang, menuju ke kubur yang sendirian di atas bukit tidak jauh lagi itu, Jantuk. Itu kubur nenekmu. Sudah lama aku tidak menengok untuk member­sihkan rumput dan ilalangnya. Nenekmu akan senang kalau kuburnya bersih. Biasanya ada anak gembala yang membantu sebagai pembersih kubur. Nah, itu dia..Dia gembala yang baik. Nanti akan kuupah yang banyak."
Benar juga apa kata Mak Jan­tuk. Dalam waktu singkat gem­bala itu sudah membersihlcan kubur. Mak Jantuk memberinya persenan. Barulah dia kemudian mengirimkan doa.

VIII.
Sebenarnya apa yang dimaui Mak Jantuk ini?
"Kejujuran suami, jantuk. Keju­juran bapakmu. Itu yang kumaui," katanya. "Sejak sekarang kamupun harus jujur padaku juga, Jantuk. Aku tahu siapa dirimu. Kau adalah zat. Kau adalah jiwa. Aku sudah tahu sejak pertama kali kamu datang. Tetapi aku pura­pura diam. Makanya guling kecil ini makin kusayang, kuja-dikan harta yang tidak tenilai harganya. Kamu ingin menjadikan aku kaya raya? Terimakasih,.Jantuk. Apa sih kekayaan? Apakah kalau su­dah kaya bisa ditanggung orang tidak meninggalkan kepribadian­nya? Biasanya sulit. Kebanyakan orang cenderung untuk menjadi lain setelah uang dan emas menggembung di dalam ru­mahnya. Makanya aku tidak mau berubah kepribadian. Aku masih punya banyak kawan tempatku membagi perasaan, baik waktu susah atau senang."
Aku termenung.
"Aku sudah dari dulu bertahan dan tidak pindah-pindah dari rumah bambu yang sudah tua itu. Alam yang mengatur segalanya. Anak-anak jadi dewasa. Yang dewasa jadi tua. Kemudian yang usianya seperti aku? Tahu sendiri. Itulah yang kusadari sekarang. Aku ingin berjalan saja terus. Bersamamu, Jantuk. Aku yakin kamu melindungiku kalau aku sudah pingsan dan tidak mampu bernapas lagi. Biarkanlah Bapa Jantuk mengumbar nafsunya dengan perempuan. Aku sudah tidak perduli. Dari dulu memang dia ingin bebas. Aku memberi kesempatan sebesar-besarnya sekarang."
"Jangan berkata begitu, Mak Jantuk," aku terpaksa me­ngucapkan kata-kata. "Semua pikiran Mak Jantuk tidak seyognyanya dikeluarkan. Per­cayalah, Bapa Jantuk lelaki yang baik. Karena tanggungjawabnya yang besar maka dia pergi ber­hari-hari. Untuk mencari sesuatu. Yang diperlukan untuk rumah. Jadi dia pergi bukan untuk atau lantaran perempuan lain. Hanya untukmu, Mak Jantuk. Untukmu seorang dan aku."
"Aku senang mendengar kamu membela bapakmu, Jantuk. Itu tandanya kalau kamu anak yang baik. Anak yang patuh dan sa­yang. Tetapi aku bukan kamu. Aku perempuan. Fikiran perempuan lain dengan lelaki. Aku sudah kenal lama sama bapakmu. Tidak aneh sekarang setelah perkawinan sekian puluh tahun dia merubah diri. Merubah kondisi dengan men­datangii perempuan lain, agar punya keturunan. Kalau tidak siapa yang akan meneruskan pekerjaan yang sekarang, sebagai seniman dan pelestari kesenian Topeng Betawi?"
"Pikiranmu terlalu jauh, Mak Jantuk. Bapak tidak akan sekeji itu perbuatannya. Bapa Jantuk su­dah limapuluh lebih, tidak bakal dia kawin lagi. Siapa yang mau sama lelaki segaek dia?"
"Umurmu baru seusia jagung, Jantuk. Orang jaman sekarang kawin tidak pandang umur. Le­laki pandai merayu. Banyak gadis kencur yang ngebet mem-­buru kakek-kakek. Nah, mau omong apa kalau kenyataannya demikian. Kamu mau ngebelain bapakmu terus?"
"Apa boleh buat kalau Mak Jantuk berpendirian begitu. Pokoknya aku sudah menyampai­kan pendapatku."
"Ya, sebaiknya kamu tidak berpendapat yang terlalu baik." Mak Jantuk berjalan lagi me­nuruni bukit setelah puas berada di depan kubur orang tuanya. Dia lalu menyusur padang yang luas itu. Dia tidak mau melewati jalan yang sudah dibuat orang. Dia men­embus hutan. Menembus rawa-­rawa. Dia menyeberangi lautan. Dia seperti zat juga. Akupun su­dah tidak berbentuk guling lagi. Demikian pula Mak Jantuk tidak sebagai mahluk manusia berkaki dua yang berkelamin perempuan. Mak Jantuk dan aku telah ber­dampingan. Makin lama makin dalam di dasar lautan. Kami masuk ke dasar bumi. Keluar dari dasar bumi. Terbang ke angkasa. Akhirnya lepas jauh. Jauh. Sa­ngat jauh dari dunia. **** Horison.
Sorotan, Horison, XXIV/392-393/Thn. 1989

TRAGEDI HITAM DARI MASYARAKAT BETAWI
(Jantuk, cerita pendek Rahmat AIi).

Ada seorang anak, bernama jantuk. Karena itu, bapaknya dinamakan Bapak Jantuk dan ibunya dipanggil Mak Jan­tuk. Tetapi siapakah sebenarnya anak yang bernama Jan­tuk itu? Di sinilah terletak teka-teki yang mirip sebuah misteri yang tiada kurjungan terpecahkan.
Secara semantik dan etimologis, sulit dicari artinya dalam Bahasa Betawi (dulu Batavia). Mungkin sekali Jantuk, berasal dari kata bahasa Bali, konon berarti dahi yang menonjol ke depan (Jawa dan Sunda: Cunong, nongnong).

Sejarah mencatat bahwa ada pengaruh kebudayaan Bali terhadap kebudayaan Betawi. Sangat mungkin ada, kaitannya dengan riwayat ekspedisi raja besar Mataram yang berulangkali menyerang jantung pertahanan dan kekuasaan VOC di Batavia (kini Jakarta).

Sepanjang pengamatan historis atas kesenian dan masyarakat Betawi, Jantuk adalah jenis teater rakyat Betswi yang tidak berdiri sendiri. Biasanya sebagai kesenian rakyat, Teater Topeng Jantuk merupakan pertunjukan tambahan yang digelarkan menjelang pagi hari. Misalnya setelah pagelaran Topeng Betawi, Topeng Betawi, Topeng Belantek dan sebagainya.

Hanya Lenong Betawi dan Wayang Kulit Betawi yang tidak biasa ditambahi pagelaran Topeng Jantuk. Namun dalam cerpennya itu, Rahmat Ali melukiskan, seolah Topeng Jantuk berdiri sendiri baik sebagai grup maupun sebagai pertunjukan. Jadi pelukisan itu kurang sinkron dengan kenyataan sejarah. Perlu dicatat Rahmat Ali adalah seorang penggemar dan pengamat, setidaknya peminat sejarah Betawi. Dan kegiatannya itu tampak dalam karyanya yang terdahulu yang sudah terbit dalam bentuk novel.

***

Pada dasarnya, cerpen Jantuk adalah sebuah kisah tragikomedi. Perpaduan bulat dan kental antara lelucon yang menyenangkan dengan kepedihan hidup yang te­ramat tragis.

Jantuk sebagai teater tradisional Betawi hanya mempunyai satu lakon: Pak Jantuk menceraikan istrinya, Mak Jantuk, dengan sebab yang sepintas kilas terasa sepele belaka: Ikan asin, kesayangan Pak Jantuk dimakan kucing.

Pak Jantuk marah, lalu Mak Jantuk dicerai langsung dengan talak tiga. Tetapi benarkah itu alasan yang sepele? Bila hal itu dilihat secara sepele, pasti demikian kesimpu­lan orang. Tetapi bukan itu masalahnya. Bila seorang istri kurang atau tidak lagi memperhatikan kesenangan hidup suaminya, apakah ia masih seorang istri yang baik dan setia? Namun persoalannya juga jauh, lebih jauh dari itu.

Jiwa dan dasar elementer dari Topeng Jantuk itu juga masuk dalam cerpen Rahmat Ali tersebut. Namun dalam karya Rahmat Ali ini, telah masuk materi lain hasil kreativi­tas penulisnya.

Pak Jantuk, setelah tidak ada lagi pemasukan karena tidak ada lagi masyarakat Betawi yang menanggapnya, lalu mengembara ke segenap pelosok Betawi. Mencari orang semasyarakat yang akan hajatan dan menanggap topeng jantuknya. Tidak ada. Kemudian ia terus mengem­bara, mencari kalau-kalau ada kawan sejawat, sesama seniman yang siapa tahu biasa memberikan bantuan ala kadarnya. Gagal dan sia-sia. Namun ia pantang menyerah dan pantang pulang bila tangan harus hampa.

Di lain pihak Mak Jantuk yang menunggu dan terus menunggu makin kehilangan kesabarannya. Kecurigaan­nya membabi buta. Kecurigaan yang menyala dari unggun birahi dan kecumburuan yang memuncak.

Selarljutnya Mak Jantuk lalu berdandan, seperti seorang yang sedang jatuh cinta atau panas seperti orang yang akan atau sedang dimadu. Ia pun meninggalkan rumah dengan segala isinya yang takda seberapa harganya. Setelah berziarah di makan leluhurnya, Mak Jantuk meneruskan perjalanannya. Entah ke mana. Yang tertuju ternyata padang luas tiada bertepi. la memasuki dasar lautan, dasar bumi dan akhirnya? "Akhirnya lepas jauh. Jauh. Sangat jauh dari dunia.'

Itulah akhir tragedi Pak dan Mak Jantuk. Suami mengembara belum (tiada) kembali dan sang istri mengem­bara untuk tidak pernah kembali jua. Dengan gaya berce­ritera seperti itu, Rahmat Ali telah bergeser dari gaya sebelumnya. Katakanlah ia menempuh jalan dan gaya bercerita inkonvensional.

Cepat atau lambat Rahmat Ali telah melakukan metamorfose dalam gaya penulisannya. Dan gaya itu telah menghasilkan cerita yang enak dibaca, sebab dilakukan secara konsisten dari awal hingga akhir cerpennya.

Agaknya, yang perlu dicatat ialah, penulis lebih ba­nyak menyuguhkan akibat dari pada sebab. Akibatnya ialah tragedi hitam yang menimpa Pak dan Mak Jantuk (Baca: TeaterJantuk) dari Betawi. Tetapi bagaimana dengan sebab musababnya? Itu hanya selintas ditampilkan dalam dialog, antara Pak Jantuk dengan seseorang yang menolongnya dengan memberikan seteguk air dan sebatang rokok: "Jamannya sekarang sudah berubah, Bapak Jan­tuk,'”ujar orang itu, menanggapi keluhan duka derita Pak Jantuk.

"Orang-orang muda kecanduan hal-hal yang modern. Yang serba mewah. Di kampung-kampung sudah makin dikenal filem tancep. Musiknya dangdut. Itulah kehidupan jaman sekarang," tambah orang itu lagi:

Modernitas yang menyerbu kesenian dan masyarakat Betawi memang berupa filem tancep yakni film yang dipu­tar di luar gedung bioskop, dengan layar yang tiangnya ditancapkan ke dalam tanah. Sedangkan musik dangdut adalah jenis musik yang merakyat, yang merupakan hasil pengaruh dari musik asal India.

Tetapi benarkah hanya film tancap dan musik dangdut yang membuat Jantuk bersama sekian banyak kesenian lainnya yang asal Betawi itu melenyap dan terancam kepunahan?

Satu atau beberapa kesenian akan mati bila masya­rakat itu sendiri telah meninggalkannya. Tetapi mengapa pula mesyarakat yang bersangkutan meninggalkan keseni­annya? Adakah karena masyarakat itu sendiri telah mencair dalam arti semakin berantakan karena goyahnya akar geografis yang jadi Pijakan eksietensinya? Itulah yang tidak terlukis dalam cerpen Rahmat Ali.

Hal itu terpaksa dipersoalkan di sini, sebab Rahmat Ali menulis tidak hanya berdasarkan fantasi dan imajinasi serta ilham semata, namun ia menggunakan suatu kesenian dari sebuah masyarakat konkret sebagai sumbernya. Maka ia pun terpaksa terkait dengan sejarah sebuah masyarakat itu sendiri.

Ada sesuatu yang menarik dan hakiki dalam Jantuk. Pak Jantuk kembali menikahi Mak Jantuk meskipun telah bercerai lewat talak tiga. Alasannya, cukup kuat" Demi nasib Si Jantuk, anaknya. dan Jantuk, Si Anak itu, yang dimaksudkan adalah Jantuk Teater Rakyat Betawi. Bila bapak, ibu (masyarakat Betawi) bercerai berai, bagaimana nasib kesenian dan kebudayaannya?

Apa yang disurat dan disiratkan Rahmat Ali adalah, atau bisa dianggap, sebagai sinyal adanya bahaya kema­tian kesenian tradisional. Bukan hanya kesenian Betawi sa,ja, tetapi pada dasarnya semua kesenian tradisional bernasib demikian. Kesenian tradisional mana pula yang tidak terancam tergusur oleh "modernitas", meskipun dari masyarakat yang paling terpencil di sudut-sudut peta bumi yang kita huni ini?*** (Sides Sudyarto DS)