J a n t u k (cerpen)
JANTUK
/ RAHMAT ALI
I.
AKU TERGETAR. Oleh panggilan sinyal yang menyentuh sampai ke dasar sanubariku. Maka aku bergegas datang. Menuju sumber sinyal yang terus memanggil-manggil. Tetapi rupanya asal sumber tersebut teramat jauh. Teramat jauh. Sebagai zat tanpa bobot tanpa bentuk lahir aku melanjutkan perjalanan. Sebagai zat yang transparan aku berada di luar kemampuan pandangan mata awam. Aku dengan. mudah menyeberangi waktu. Aku melayang di awangawang. Telah ratusan tahun cahaya kutempuh dan aku tidak merasakan apa-apa. Telah kulampaui tiga tata galaksi yang luar biasa dan mengagumkan sebagai tanda kebesaran. Sang Maha Pencipta. Itupun seperti terjadi hanya beberapa menit. Akupun menyibakkan benda-benda angkasa yang berlapia gelanggelang pelangi di jagad raya sana. Baru setelah itu aku memasuki tata galaksi yang hanya disorot satu matahari. Di sini getaran sinyal panggilan itu makin kuat memukul-mukul dasar sanubariku. Kalau begitu sudah jelas. Setelah kuteliti lebih jauh kuketahui. Bahwa yang memanggil-manggilku adalah planet bumi. Tempat mahluk manusia berkaki dua meniti sejarah peradaban dan kebudayaannya. Segera aku mengarahkan diriku ke pemukiman mereka.
II.
Begitu kuatnya daya pancar sinyal itu sehingga aku seperti tersedot ke bawah. Terhinggap di atap rumah. Aku seperti dipaksa menembus langit-langitnya. Kemudian terhempas di kamar. Tepatnya pada guling kecil tergeletak di pinggir kasur. Langsung saja aku menyusup sama sekali ke dalam kapuknya. Berdiam di situ cukup lama. Dalam keadaan gelap dan tidak melihat apa-apa. Aku menunggu segala kemungkinan yang bakal terjadi. Tidak lama kemudian seorang mahluk manusia berkelamin perempuan menghampiri guling kecil. Berarti menghampiri diriku. Mengangkatku. Membawaku ke luar. Aku digendongnya dan ditimang-timangnya.
"Jantuk anakku sayang," kata mahluk manusiaberkaki duayang berkelamin perempuan itu. "Kau belum tidur-tidur juga? Hari telah malam. Seharian penuh kau telah membantu emak bekerja. Kau tentunya lelah. Kau harus istirahat. Nanti pasti lebih sehat kalau banyak beristirahat. Mudah-mudahan pula kelak kita jadi orang kaya, yang bisa makan enak serta berpakaian bagus. Sekarang prihatin dulu. Kau dengar semua kata-kataku, Jantuk. Nah, tidurlah. Hari telah jauh malam." Siapa yang dimaksud dengan Jantuk, pikirku.
"Mengapa termenung-menung saja, anakku. Kaulah Jantuk. Kau telah lupa kalau namamu Jantuk? Jangan begitu anakku. Lantaran namamu itu maka aku emakmu dipanggil oleh seluruh dunia sebagai Mak Jantuk. Dan bapakmu yang berdahi lebar itu Bapak Jantuk."
Aku masih terheran-heran. Mengapa Mak Jantuk tahu betul apa yang sedang di dalam pikiranku?
"Tak perlu bertanya-tanya dalam pikiranmu, Jantuk," katanya lagi. "Emakmu ini yakin kau adalah belahan jiwaku. Atas dasar itulah emak harus tetap kuat berusaha. Begitu juga bapakmu, Bapak Jantuk. Untuk sekarang kau baik-baiklah terus di rumah. Kita selalu baik dengan tetangga. Mereka pun ikut mengawasi keamanan rumah kita!"
Beberapa menit kemudian Bapa Jantuk muncul dari kegelapan. Dengan tongkat rotannya yang memukul-mukul ubin mahluk manusiaberkaki duayang berkelamin laki-laki itu menyapa istrinya dengan sapaan keras dan riang:
"Hei, Mak Jantuk!"
Tetapi yang disapa masih asyik
menimang-nimang diriku. "Hei, Mak Jantuk!" "Ya," jawabnya kalem. "Disapa berkali-kali kok hanya kalem aja. Budeg, ya?"
"Enak aja ngomong. Jangan datang-datang ngemarahin, Bapa Jantuk."
"Habis nggak nyahut-nyahut. Sapa yang nggak dongkol'?"
"Aku lagi keasyikan, Bapa Jantuk."
"Asyik sama sapa, Mak Jantuk?"
"Sama sapa lagi kalo nggak sama anak kita."
"Kok keterlaluan?" "Tandanya kalo aku amat sayang sama dia. Tambatanku. Belahan jiwaku. Sandaranku di hari tua."
"Jadi karena sayang sama anak maka kamu tidak sayang sama aku sebagai suami kamu?"
Mak Jantuk menoleh kaget. "Sama anak sendiri lu sudah iri, ya? Cemburu, ya?"
"Siapa nggak jengkel kalo saban kali lu kerjanya hanya nimang-nimang. Nggak ada kerja lain? Nggoreng singkong, kek. Nyedukopitubruk,kek.Ini malah ngajak perang sama laki!"
"Bapa Jantuk,: jawab istrinya mulai sewot. "Bilang apa barusan? Mana belanjaan lu saban harinya? Boro-boro nggoreng singkong sambil menikmati kopi tubruk, hutang di warung sebelah aja beIon dibayar-bayar. Berapakali aku harus bohong sama pemilik warung. Aku malu. Sudahlah. Baikan lu perigi yang lama. Dari pada di rumah ngajak padu melulu!"
"Sabar, sabar sedikit, Mak Jantuk. Jangan begitu aku datang kemudian lu usir. Itu dosa namanya."
Kata-kata Bapa Jantuk mulai lebih tenang dan bijak, sambil mempertunjukkan muka yang jernih.
"Aku datang dengan membawa kabar bagus, Mak Jantuk."
"Apa?" jawab istrinya masih tak acuh.
"Ada penghajat yang manggil kita."
"Kita akan ditanggap lagi?"
“Tidak salah, Mak Jantuk. Besok malam!"
"Alangkah menyenangkannya!"
Sambil berkata begitu Mak Jantuk segera menghambur ke pelukan suaminya. Aku sebagai guling kecil lalu dilemparkan ke lantai. Sialan. Bagaimanapun aku menyaksikan sekilaskebahagiaan, antara pasangan suami istri yang menerima kabar bagus itu.
"Haji Dollah Yang akan menanggap kiica, Mak Jantuk. Orang kaya di kampung Setu sana itu. Mainlah yangbagus pula. Pakailah kostum yang sebaik-baiknya. Penontonnya bakal membeludag. Haji Dollah berani membayar mahal untuk kita. Tentunya para penabuh gamelan ikut senang. Ah. Sudah lama kutunggu-tunggu saat begini. Berarti kita bisa beli genteng beberapa puluh biji untuk pengganti yang sudah pecah. Vita tidak kebocoran lagi."
"Jangan mimpi terlalu banyak, Bapa Jantuk. Mimpi itu tidak baik. Berpikir sewajarnya saja. Kalau banyak mimpi bisa sakitan. Padahal kita sudah gaek. Umur lu limapuluh lima. Cocok berjalan dengan tongkat rotan itu. Baiklah kita tidur dulu."
Keadaan lalu sepi di rumah itu.
III.
Sejak berpentas di rumah Haji Dollah di ujungKampungSetu aku mulai tahu bagaimana kehidupan pasangan Mak dan Bapa Jantuk. Mereka tergolong pasangan mahluk manusia berkaki dua yang getol melestarikan teater Topeng Betawi demi kelangsungan hidup mereka sehari-hari. Bapak Jantuk, istrinya serta delapan orang anak buah sebagai penabuh gamelan telah puluhan tahun bergantung pada tanggapan-tanggapan orang yang punya hajat. Mereka berpindah dari terop yang satu ke terop yang lain. Dari kampung mana saja selama yang punya hajat orang Betawi atau yang masih setia menjadi pendukungkesenian Betawi. Grup Bapa Jantuk cukup dikenal, baik oleh yang tua-tua maupun anakanak. Bapak Jantuk selalu memantau kenalan-kenalannya, mana dari mereka yang akan menyunatkan atau mengawinkan anak mereka. Kalau sudah jelas tentunya Mak Jantuk harus harihari awal menguping dan kemudiart memberikan saran untuk menanggap Topeng Betawi satija. Dengan senyum serta tertawa Mak Jantuk yang sedap dan menyenangkan biasanya tidak antara lama yang empunya h9jat datang, memberitahukan kabar bagus. Bahwa Bapa Jantuk dam rombongannya memang yang ditunggu-tunggu untuk berpentas. Kalau jelas begitu maka Bapa Jantuk menyuruh istrinya untuk mempersiapkan cadangan-cadangan lakon yang serba menarik, yang mengandung drama, yang percintaan, yang menyedihkan, atau yang penuh silat dan diramu dengan lawakan-lawakan. Kebanyakan orang menyukai lakon ramuan. Ya ada dramanya, ya percintaannya, diseling dengan pencak silat serta humor yang konyol-konyol. Bagi penghajat generasi tua biasanya setelah pertunjukan masih ingin mendapat suguhan lakon tambahan. Dikeluarkan setelah lewat tengah malam. Bapa Jantuk pada kesempatan itu lebih suka menyuguhkan lakon tentang kehidupannya sendiri. Secara apa adanya. Yang melibatkan dirinya dengan Mak Jantuk, lengkap dengan guling kecil tempatku berlindung di dalamnya.
IV.
Biarpun sudah enam bulan tetap saja aku maeih mengurung diri di dalam guling kecil. Akupun belum mau mengucapkan katakata. Aku tetap diam saja waiaupun sudah digendong dan ditimang-timang berkali-kali. Walaupun demikian aku senang mengamati gerak-gerik dan tingkah laku pasangan seniman itu. Dari pengamatanku tiap saat aku bisa menyimpulkan banyak hal. Yang utama mereka berdua rukun. Gigih. Tidak kenal menyerah. Mereka sebenarnya seniman alam. Pentas memang bidang mereka. Kalau audah di atas pentas dan menghadapi penonton yang berjubel, Bapa Jantuk dan istrinya sudah tahu betul bagaimana menarik perhatian. Hanya dengan satu istilah yang dibelokkan sedikit saja para penonton gerrr. Tertawa panjang. Terkekeh-kekeh. Tehnik berperan Bapa Jantuk dan istrinya tidak bisa ditandingi oleh bintang-bintang filem. Tak kalah dengan generasi muda keluaran Akademi Drama. Mak Jantuk pandai pula menari. Dia hapal pula menembangkan syair-syair lama, yang mengisahkan kota Betawi ketika masih kampung dan belum seramai sekarang. Usia empatpuluh lima bagi Mak Jantuk tidak jadi halangan untuk terus menari-nari, setelah selingan itu selesai masih diteruskan lagi dengan dialog-dialog tangkas mengimbangi Bapa Jantuk. Tanpa pemain lain di dalam grup itu memang Bapa Jantuk dan istrinya tidak berarti apa-apa. Justru para pemain pembantu itulah yang banyak menentukan jalannya pertunjukan keseluruhan.
Mereka masing-masing adalah Kisam, si penabuh gendang. Sentakan-sentakan tangannya membuat suasana lebih hidup. Pukulan gendang itu membuat Mak Jantuk lebih bergairah lagi melambai-lambaikan selendang. Tukang rebab Imung juga sukar ditandingi orang lain. Begitu juga Kerto, tukang kenong merangkap pengecrek. Belum lagi Kin, pemukul gong. Hebat. Para penabuh gamelan bukan sekedar sibuk dengan gamelannya. Mereka sering juga ikut aktip di dalam perjalanan lakon. Seperti pada saat itu, dengan tidak disangka-sangka Kisam penabuh gendang melontarkan pertanyaan kepada Bapak Jantuk, apakah dia audah sadar dalam hidup ini.
"Sadar apanya, Kisam?"
"Kalo dahi lu tambah nongol!"
"Sialan lu, Kisam. Lu punya gigi lihat juga. Mrongos dari aulu. Apa ketumbur ceret waktu lahir?"
"Gigiku nggak apa-apa mrongos, Bapak Jantuk. Dari pada hidung lu yang busuk."
"Kenapa hidungku busuk? Lu tahu sebabnya?"
'Tiap mau makan nyiuman ikan asin melulu!"
"Lu tukang gendang nyindir terus. Awas kalo aku diundang ke restoran. Nggak bakalan kuajak lu!"
Biar Bapa Jantuk punya dahi nongol ke depan tetapi dia baik. Hanya kata-katanya saja sedikit kasar, padahal di dalam sanubarinya tidak tegaan. Suka menolong kawan-kawannya waktu susah. Kelemahan Bapa Jantuk terletak pada kesepian. Dia dikenal sebagai mahluk manusia berkaki dua yang tidak tahan kesepian. Terutama dari mahluk manusia perempuan. Dulu pacarnya ba-nyak. Tetapi sekarang hanya untuk Mak Jantuk, yang tetap cantik dan punya sisa-sisa tubuh bahenol. Hanya di dalam lakon sa,ja dia menceraikan istrinya, gara-gara pertengkaran akibat ikan asin yang dicuri kucing. Gara-gara keteledoran istri maka kontan Bapa Jantuk menghajar Mak Jantuk dan menceraikannya langsung talak tiga. Mak Jantuk diantar sampai ke halaman depan rumah mertua Bapa Jantuk. Sudah itu ditinggalkan tanpa kata-kata sepatahpun. Waktupun berlalu. Dasar Mak Jantuk masih cantik dan punya sisa-sisa poto-ngan yang bahenol maka dengan singkat sudah tiga mahluk manusia berkelamin lakilaki yang melamarnya. Bapa Jantuk sedih. Lalu ru,juk kembali, setelah pakai melamar lagi!
V.
Kehidupan di panggung dan di luarnya memang amat berbeda. Bukan saja pada Mak Jantuk. Demikian juga pada Bapa Jantuk dan semua grupnya. Rata-rata punya problim cukup berat di luar layar panggung. Terutama dalam hal mengatasi asap dapur. Tidak jarangmerekahanyamakan sekali dalam sehari. Mungkin bagi mereka mahluk-mahluk manusia berkaki dua yang dewasa itu sudah biasa. Tetapi bagi anak-anak para tukang gamelan itu? Terpaksa para orang tua datang ke warung dekat rumah mereka masing-masing. Bon beras. Bon garam. Lauknya krupuk. Atau ikan asin murahan. Ya, ikan asin inilah lauk utama mereka. Tidak heran BapaJantuk dulu pernah senewen gara-gara Mak Jantuk tidak pandai menyimpan ikan asin sehingga digongol kucing. Bertengkar habishabisan dilayani biar hanya persoalan ikan asin. Akhir-akhir ini Mak Jantuk seperti menghadapi problim baru. Masalahnya terletak pada Bapa Jantuk yang sering terlambat pulang. Malah beberapa hari belakangan tidak diketahui ke mana hengkangnya. Hal tersebut membuat Mak Jantuk sering melamun. Lalu sering kudengar Mak Jantuk mengalunkan tembang.
Aileu
Cipati burung Jiwana
Cipati burung Jiwana
Sayang disayang Aiii
Ada sepasang di kembang Jiwana
Jantung hati ada di mana
Si Bapa Jiwana
Kencang jalan keliling.
Aku yang selalu di rumah dan mengetahui Mak Jantuk dengan jelas bagaimana gelisahnya, bisa menangkap makna tembang yang dimaksud. Memang Mak Jantuk sudah pergi bertanya-tanya. Tetapi belum juga didapatkan keterangan sedikitpun. Bapa Jantuk seperti burung Cipati dari negeri Jiwana. Apakah benar dia minggat? Aku yakin Bapa Jantuk tidak minggat. Aku yakin Bapa Jantuk sedang berusaha mencari penghasilan tambahan. Hanya karena belum mendapatkan maka dia malu pulang tangan hampa.
Tetapi keadaan tersebut tidak dimengerti oleh Mak Jantuk. Dia mengira suaminya telah berpaling ke mahluk manusia berkelamin perempuan yang lain. Mak Jantuk merasakan apa yang dinamakan cemburu itu. Cemburu berarti benci. Cemburu berarti tidak mau disaingi jenis kelamin perempuan lain. Mak Jantuk hanya untuk Bapa Jantuk. Sebaliknya Bapa Jantuk tidak boleh melengos ke kelamin perempuan lain kecuali bininya, seseorang yang sudah dikenal dengan nama Mak Jantuk.
Sementara itu aku, Jantuk, yang sudah diangkat dan dianggap anaknya sendiri, bingung tidak karuan. Akubermaksud memberikan pengertian sedikit kepada Mak Jantuk tetapi seperti tidak kesampaian. Baru saja aku ingin ngomong, Mak Jantuk sudah meneruskan tembang yang berikutnya:
Aiii hujan siang kudengar malam
Ai sayang disayang
Ai kilat gunung angin api
Aiii sayang disayang
Ai janji siang datangnya malam
Aiii janji siang datangnya malam
Aiii putus mengharap si jantung had
Ai sayang disayang
Kembang melati aku ukirin
Aiii jantung hati aku pikirin
Ai kalau begini naga-naganya
Ai sayang disayang
Ai inaga digelut Lautan Kidul
Kalau begini datang rasanya
Ai rasa dipeluk di tempattidur.
Begitu selesai menembang tampak Mak Jantuk sedih sekali. Cepat-cepat aku diangkat, digendong dan dicium-ciumnya. Kurasakan guling kecil tempatku berlindung basah.
VI.
Aku terpaksa keluar dari gulingku yang kecil itu untuk mengetahui keadaan, terutama yang di luar rumah, di jalan jalan, di pasarpasar serta tempat-tempat umum lainnya. Pada saat itulah aku dengan tidak sengaja melihat aosok tubuh BapaJantuk. Ke mana dia? Dengan tongkat rotannya yang khas itu dia berjalan, kemudian berteduh di bawah pohon asam. Dia kehausan tampaknya.
"Tidak juga ada orang yang berhajat menyunatkan atau mengawinkan anaknya," kata Bapa Jantuk seperti tidak kepada siapasiapa. "Kerja apa lagi kalau tidak ada orang yang menanggap?"
Aku segera mempengaruhi pikiran seorang mahluk manusia berkelamin laki-laki pemilik rumah dekat pohon asam itu, agar dia mau tergerak hatinya setelah menyaksikan Bapa Jantuk kelelahan. Rupanya pengaruh yang kutanamkan dalam sanubarinya mengena. Tidak lama kemudian pemilik rumah itu datang menghampiri Bapa Jantuk. Dia diajak mampir ke beranda rumahnya. Ditawari rokok daun jagung yang amat langka diisap orang kecuali orang-orang asal desa.
"Terimakasih, terimakasih," kata Bapa Jantuk. Kelihatan Bapa Jantuk senang sekali mengisap rokok daun jagung. Lalu dia memperkenalkan dirinya lebih panjang lebar, kalau pekerjaannya sebagai pemain Topeng Betawi. Mendengarinipemilikrumah lalu menyuruh istrinya di dalam membuatkan teh pahit dan rebusan ubi. Terobat juga haus Bapa Jantuk yang tidak minum sejak kemarin.
"Jamannya sekarang sudah berubah, Bapa Jantuk," kata pemilik rumah. "Orang-orang muda sudah kecanduan hal-hal yang moderen. Yang serba mewah. Di kampung-kampung sudah makin dikenal pilem tancep. Musiknya dangdut. Itulah kehidupan jaman sekarang!"
Lama mereka mengobrol. Sudah itu Bapa Jantuk pamit. Untuk berikutnya yangkulihat adalah kesibukan suatu terminal bis di tengah kota. Tampak di antara kerumunan warga kota itu Bapa Jantuk. Tubuhnya tampak cukup tinggi dan tegap: Bajunya tetap yang itu-itu juga, hitam. Karena sering tersorot matahari jadi agak keputihan. Toh Bapa Jantuk masih suka memakai tiap hari. Kalau di atas panggung Bapa Jantuk amat dikenal, tetapi ketika di terminal itu seorang pun tidak ada yang menyapa. Dia seperti di tengah-tengah orang asing. Masing-masing tidak ada yang mengurus. orang lain kecuali dirinya sendiri. Bapa Jantuk jadi seperti ragu-ragu. Dia ingin naik satu bis warna hijau. Tetapi setelah di dalam dia tergesa turun kembali. Akhirnya dia ikut bis merah ke arah timur. Tidak dapat tempat duduk. Diahanyaberdiri dibagian belakang. Matahari begitu teriknya dan Bapa Jantuk mulai berkeringat. Setengah jam kemudian dia turun dan memasuki gang panjang. Di situ ada satu sanggar para pemain lenong. Bapa Jantuk mampir, menanyakan pimpinan lenong yang bernama Hok San. Tetapi yang dicari sedang pergi. BapaJantuk ditawari untuk duduk menunggu sebentar di dalam rumah. Tetapi dia enggan. Lalu pergi lagi. Dia harus pakai bis lagi ke tujuan berikutnya. Tetapi bis yang dimaksud tidak ada. Harus pakai mikrolet dulu untuk sampai ke pangkalan bis. Aku mengikuti terus di samping Bapa Jantuk tanpa diketahuinya. Kawan yang dituju ini pun seniman pula, sanggar rebana biang di Kampung Ciganjur. Sama juga: Seniman-seniman itu kebetulan sedang mendapat panggilan main di Taman Suropati. Bapa Jantuk tampak kecewa. Di samping juga menyesalkan, kenapa bukan dia beserta anggota grupnya yang dapat kehormatan bermain di rumah kediaman Gubernur. Barangkali nanti, pikirnya. Seharian itu BapaJantuk keliling. Dia tidak mau pulang. Aku saja yang kembali dan diam-diam masuk ke dalam guling.
VII.
Aku tidak bisa menyalahkan kalau sikap Mak Jantuk agak berlebihan kepadaku, yang berbentuk guling kecil. Setelah aeminggu Bapa Jantuk tidak muncul-muncul juga maka Mak Jantuk mendekapku kuat-kuat sambil menangis.
"Sudah nasibmu, Jantuk. Sudah nasibmu," katanya iba. Di antara senggukansenggukan tangisnya dia meneruskan kekesalan-kekesalan hatinya di hadapanku: "Kawan-kawan grup tidak ada yang tahu ke mana Bapa Jantuk pergi. Memang nasib, Jantuk. Aku kasihan padamu yang punya bapak aneh."
Mak Jantuk sudah mengerahkan anggota-anggota grupnya untuk berkeliling kota mencari suaminya tetapi tidak ketemu juga. Mereka kembali dengan laporan hampa.
"Sebaiknya kita siap-siap pergi saja, Jantuk," katanya lagi. "Aku telah menangis di rumah ini sampai airmata kering tidak juga dia kunjung kembali. Laki-laki tidak tahu diri bapakmu itu, Jantuk. Dia laki-laki menyebalkan!”
Aku segera diletakkan di tengah tempat tidur. Di situ Mak Jantuk lalu mendandani diriku. Bagian bawah guling dikenakan sarung kecil, bagian atasnya baju kurung laki-laki ukuran kecil pula. Akhirnya pada ujung guling dipasangi topi bayi dari bahan benang wol. Mungkin karena dirasa belum pantas masih ada lagi yang ditambahkan. Bedak yang tehal dipoleskan.
"Ah, kau anak lelaki yang cakep, Jantuk," katanya kemudian. "Apa lagi kalau kugantungi kalung klinting-klinting ini. Setiap kuangkat dan kutimang-timang kau akan berbunyi klinting-klinting. Orang lain akan tahu kalau kamu sedang kumanjakan, anakku."
Jangan ditanya pula tentang diri Mak Jantuk. Dia pun berdandan habis-habisan. Dia pasang gincu sampai merah. Dia semprot minyak wangi murahan. Kemudian dia menggendongku keluar. Apa pasal, apa penyebabnya, tanyaku pada diriku sendiri. "Jangan tanya apa pasalnya sampai aku senekad ini, Jantuk. Semua ini gara-gara bapakmu yang menghilang beberapa hari. Disangkanya aku akan diam saja. Disangkanya hanya lelaki yang bisa menang sendiri. Tidak, Jantuk. Perempuan bisa juga menang. Perempuan juga bisa merentengi laki-laki. Perempuan yang bernama Mak Jantuk ini tidak mau kalah!'°
Sepanjang jalan yang tidak kuketahui mau menuju kemana itu Mak Jantuk terus ngoceh. Berkali-kali dia tersandung, tetapi tidak sampai jatuh karena Mak Jantuk biasa menari dan cekatan membuat keseimbangan badan. Dia memberi tanda kepada bis untuk minggir. Dan bia itupun minggir untuk mengangkut Mak Jantuk yang menggendongku. Semua penumpang di dalam bis itu memperhatikan Mak Jantuk dengan aneh. Mak Jantuk tidak perduIi. Malah dengan sengaja dia memperlihatkan diriku tanpa malu. Begitu dua kampung dilewati Mak Jantuk memberi tanda kepada kondektur untuk turun. Langsung pindah ke becak dan diminta untuk menyusuri jalanan kecil di pinggir sungai. Betul juga seperti yang telah kuduga dalam hati, bahwa setelah mendekati padang yang luas Mak Jantuk menyuruh becak berhenti. Membayarnya. Kemudian hanya tinggal MakJantuk dan aku saja di padang yang sunyi itu.
"Kita sekarang, menuju ke kubur yang sendirian di atas bukit tidak jauh lagi itu, Jantuk. Itu kubur nenekmu. Sudah lama aku tidak menengok untuk membersihkan rumput dan ilalangnya. Nenekmu akan senang kalau kuburnya bersih. Biasanya ada anak gembala yang membantu sebagai pembersih kubur. Nah, itu dia..Dia gembala yang baik. Nanti akan kuupah yang banyak."
Benar juga apa kata Mak Jantuk. Dalam waktu singkat gembala itu sudah membersihlcan kubur. Mak Jantuk memberinya persenan. Barulah dia kemudian mengirimkan doa.
VIII.
Sebenarnya apa yang dimaui Mak Jantuk ini?
"Kejujuran suami, jantuk. Kejujuran bapakmu. Itu yang kumaui," katanya. "Sejak sekarang kamupun harus jujur padaku juga, Jantuk. Aku tahu siapa dirimu. Kau adalah zat. Kau adalah jiwa. Aku sudah tahu sejak pertama kali kamu datang. Tetapi aku purapura diam. Makanya guling kecil ini makin kusayang, kuja-dikan harta yang tidak tenilai harganya. Kamu ingin menjadikan aku kaya raya? Terimakasih,.Jantuk. Apa sih kekayaan? Apakah kalau sudah kaya bisa ditanggung orang tidak meninggalkan kepribadiannya? Biasanya sulit. Kebanyakan orang cenderung untuk menjadi lain setelah uang dan emas menggembung di dalam rumahnya. Makanya aku tidak mau berubah kepribadian. Aku masih punya banyak kawan tempatku membagi perasaan, baik waktu susah atau senang."
Aku termenung.
"Aku sudah dari dulu bertahan dan tidak pindah-pindah dari rumah bambu yang sudah tua itu. Alam yang mengatur segalanya. Anak-anak jadi dewasa. Yang dewasa jadi tua. Kemudian yang usianya seperti aku? Tahu sendiri. Itulah yang kusadari sekarang. Aku ingin berjalan saja terus. Bersamamu, Jantuk. Aku yakin kamu melindungiku kalau aku sudah pingsan dan tidak mampu bernapas lagi. Biarkanlah Bapa Jantuk mengumbar nafsunya dengan perempuan. Aku sudah tidak perduli. Dari dulu memang dia ingin bebas. Aku memberi kesempatan sebesar-besarnya sekarang."
"Jangan berkata begitu, Mak Jantuk," aku terpaksa mengucapkan kata-kata. "Semua pikiran Mak Jantuk tidak seyognyanya dikeluarkan. Percayalah, Bapa Jantuk lelaki yang baik. Karena tanggungjawabnya yang besar maka dia pergi berhari-hari. Untuk mencari sesuatu. Yang diperlukan untuk rumah. Jadi dia pergi bukan untuk atau lantaran perempuan lain. Hanya untukmu, Mak Jantuk. Untukmu seorang dan aku."
"Aku senang mendengar kamu membela bapakmu, Jantuk. Itu tandanya kalau kamu anak yang baik. Anak yang patuh dan sayang. Tetapi aku bukan kamu. Aku perempuan. Fikiran perempuan lain dengan lelaki. Aku sudah kenal lama sama bapakmu. Tidak aneh sekarang setelah perkawinan sekian puluh tahun dia merubah diri. Merubah kondisi dengan mendatangii perempuan lain, agar punya keturunan. Kalau tidak siapa yang akan meneruskan pekerjaan yang sekarang, sebagai seniman dan pelestari kesenian Topeng Betawi?"
"Pikiranmu terlalu jauh, Mak Jantuk. Bapak tidak akan sekeji itu perbuatannya. Bapa Jantuk sudah limapuluh lebih, tidak bakal dia kawin lagi. Siapa yang mau sama lelaki segaek dia?"
"Umurmu baru seusia jagung, Jantuk. Orang jaman sekarang kawin tidak pandang umur. Lelaki pandai merayu. Banyak gadis kencur yang ngebet mem-buru kakek-kakek. Nah, mau omong apa kalau kenyataannya demikian. Kamu mau ngebelain bapakmu terus?"
"Apa boleh buat kalau Mak Jantuk berpendirian begitu. Pokoknya aku sudah menyampaikan pendapatku."
"Ya, sebaiknya kamu tidak berpendapat yang terlalu baik." Mak Jantuk berjalan lagi menuruni bukit setelah puas berada di depan kubur orang tuanya. Dia lalu menyusur padang yang luas itu. Dia tidak mau melewati jalan yang sudah dibuat orang. Dia menembus hutan. Menembus rawa-rawa. Dia menyeberangi lautan. Dia seperti zat juga. Akupun sudah tidak berbentuk guling lagi. Demikian pula Mak Jantuk tidak sebagai mahluk manusia berkaki dua yang berkelamin perempuan. Mak Jantuk dan aku telah berdampingan. Makin lama makin dalam di dasar lautan. Kami masuk ke dasar bumi. Keluar dari dasar bumi. Terbang ke angkasa. Akhirnya lepas jauh. Jauh. Sangat jauh dari dunia. **** Horison.
Sorotan, Horison, XXIV/392-393/Thn. 1989
TRAGEDI HITAM DARI MASYARAKAT BETAWI
(Jantuk, cerita pendek Rahmat AIi).
Ada seorang anak, bernama jantuk. Karena itu, bapaknya dinamakan Bapak Jantuk dan ibunya dipanggil Mak Jantuk. Tetapi siapakah sebenarnya anak yang bernama Jantuk itu? Di sinilah terletak teka-teki yang mirip sebuah misteri yang tiada kurjungan terpecahkan.
Secara semantik dan etimologis, sulit dicari artinya dalam Bahasa Betawi (dulu Batavia). Mungkin sekali Jantuk, berasal dari kata bahasa Bali, konon berarti dahi yang menonjol ke depan (Jawa dan Sunda: Cunong, nongnong).
Sejarah mencatat bahwa ada pengaruh kebudayaan Bali terhadap kebudayaan Betawi. Sangat mungkin ada, kaitannya dengan riwayat ekspedisi raja besar Mataram yang berulangkali menyerang jantung pertahanan dan kekuasaan VOC di Batavia (kini Jakarta).
Sepanjang pengamatan historis atas kesenian dan masyarakat Betawi, Jantuk adalah jenis teater rakyat Betswi yang tidak berdiri sendiri. Biasanya sebagai kesenian rakyat, Teater Topeng Jantuk merupakan pertunjukan tambahan yang digelarkan menjelang pagi hari. Misalnya setelah pagelaran Topeng Betawi, Topeng Betawi, Topeng Belantek dan sebagainya.
Hanya Lenong Betawi dan Wayang Kulit Betawi yang tidak biasa ditambahi pagelaran Topeng Jantuk. Namun dalam cerpennya itu, Rahmat Ali melukiskan, seolah Topeng Jantuk berdiri sendiri baik sebagai grup maupun sebagai pertunjukan. Jadi pelukisan itu kurang sinkron dengan kenyataan sejarah. Perlu dicatat Rahmat Ali adalah seorang penggemar dan pengamat, setidaknya peminat sejarah Betawi. Dan kegiatannya itu tampak dalam karyanya yang terdahulu yang sudah terbit dalam bentuk novel.
***
Pada dasarnya, cerpen Jantuk adalah sebuah kisah tragikomedi. Perpaduan bulat dan kental antara lelucon yang menyenangkan dengan kepedihan hidup yang teramat tragis.
Jantuk sebagai teater tradisional Betawi hanya mempunyai satu lakon: Pak Jantuk menceraikan istrinya, Mak Jantuk, dengan sebab yang sepintas kilas terasa sepele belaka: Ikan asin, kesayangan Pak Jantuk dimakan kucing.
Pak Jantuk marah, lalu Mak Jantuk dicerai langsung dengan talak tiga. Tetapi benarkah itu alasan yang sepele? Bila hal itu dilihat secara sepele, pasti demikian kesimpulan orang. Tetapi bukan itu masalahnya. Bila seorang istri kurang atau tidak lagi memperhatikan kesenangan hidup suaminya, apakah ia masih seorang istri yang baik dan setia? Namun persoalannya juga jauh, lebih jauh dari itu.
Jiwa dan dasar elementer dari Topeng Jantuk itu juga masuk dalam cerpen Rahmat Ali tersebut. Namun dalam karya Rahmat Ali ini, telah masuk materi lain hasil kreativitas penulisnya.
Pak Jantuk, setelah tidak ada lagi pemasukan karena tidak ada lagi masyarakat Betawi yang menanggapnya, lalu mengembara ke segenap pelosok Betawi. Mencari orang semasyarakat yang akan hajatan dan menanggap topeng jantuknya. Tidak ada. Kemudian ia terus mengembara, mencari kalau-kalau ada kawan sejawat, sesama seniman yang siapa tahu biasa memberikan bantuan ala kadarnya. Gagal dan sia-sia. Namun ia pantang menyerah dan pantang pulang bila tangan harus hampa.
Di lain pihak Mak Jantuk yang menunggu dan terus menunggu makin kehilangan kesabarannya. Kecurigaannya membabi buta. Kecurigaan yang menyala dari unggun birahi dan kecumburuan yang memuncak.
Selarljutnya Mak Jantuk lalu berdandan, seperti seorang yang sedang jatuh cinta atau panas seperti orang yang akan atau sedang dimadu. Ia pun meninggalkan rumah dengan segala isinya yang takda seberapa harganya. Setelah berziarah di makan leluhurnya, Mak Jantuk meneruskan perjalanannya. Entah ke mana. Yang tertuju ternyata padang luas tiada bertepi. la memasuki dasar lautan, dasar bumi dan akhirnya? "Akhirnya lepas jauh. Jauh. Sangat jauh dari dunia.'
Itulah akhir tragedi Pak dan Mak Jantuk. Suami mengembara belum (tiada) kembali dan sang istri mengembara untuk tidak pernah kembali jua. Dengan gaya berceritera seperti itu, Rahmat Ali telah bergeser dari gaya sebelumnya. Katakanlah ia menempuh jalan dan gaya bercerita inkonvensional.
Cepat atau lambat Rahmat Ali telah melakukan metamorfose dalam gaya penulisannya. Dan gaya itu telah menghasilkan cerita yang enak dibaca, sebab dilakukan secara konsisten dari awal hingga akhir cerpennya.
Agaknya, yang perlu dicatat ialah, penulis lebih banyak menyuguhkan akibat dari pada sebab. Akibatnya ialah tragedi hitam yang menimpa Pak dan Mak Jantuk (Baca: TeaterJantuk) dari Betawi. Tetapi bagaimana dengan sebab musababnya? Itu hanya selintas ditampilkan dalam dialog, antara Pak Jantuk dengan seseorang yang menolongnya dengan memberikan seteguk air dan sebatang rokok: "Jamannya sekarang sudah berubah, Bapak Jantuk,'”ujar orang itu, menanggapi keluhan duka derita Pak Jantuk.
"Orang-orang muda kecanduan hal-hal yang modern. Yang serba mewah. Di kampung-kampung sudah makin dikenal filem tancep. Musiknya dangdut. Itulah kehidupan jaman sekarang," tambah orang itu lagi:
Modernitas yang menyerbu kesenian dan masyarakat Betawi memang berupa filem tancep yakni film yang diputar di luar gedung bioskop, dengan layar yang tiangnya ditancapkan ke dalam tanah. Sedangkan musik dangdut adalah jenis musik yang merakyat, yang merupakan hasil pengaruh dari musik asal India.
Tetapi benarkah hanya film tancap dan musik dangdut yang membuat Jantuk bersama sekian banyak kesenian lainnya yang asal Betawi itu melenyap dan terancam kepunahan?
Satu atau beberapa kesenian akan mati bila masyarakat itu sendiri telah meninggalkannya. Tetapi mengapa pula mesyarakat yang bersangkutan meninggalkan keseniannya? Adakah karena masyarakat itu sendiri telah mencair dalam arti semakin berantakan karena goyahnya akar geografis yang jadi Pijakan eksietensinya? Itulah yang tidak terlukis dalam cerpen Rahmat Ali.
Hal itu terpaksa dipersoalkan di sini, sebab Rahmat Ali menulis tidak hanya berdasarkan fantasi dan imajinasi serta ilham semata, namun ia menggunakan suatu kesenian dari sebuah masyarakat konkret sebagai sumbernya. Maka ia pun terpaksa terkait dengan sejarah sebuah masyarakat itu sendiri.
Ada sesuatu yang menarik dan hakiki dalam Jantuk. Pak Jantuk kembali menikahi Mak Jantuk meskipun telah bercerai lewat talak tiga. Alasannya, cukup kuat" Demi nasib Si Jantuk, anaknya. dan Jantuk, Si Anak itu, yang dimaksudkan adalah Jantuk Teater Rakyat Betawi. Bila bapak, ibu (masyarakat Betawi) bercerai berai, bagaimana nasib kesenian dan kebudayaannya?
Apa yang disurat dan disiratkan Rahmat Ali adalah, atau bisa dianggap, sebagai sinyal adanya bahaya kematian kesenian tradisional. Bukan hanya kesenian Betawi sa,ja, tetapi pada dasarnya semua kesenian tradisional bernasib demikian. Kesenian tradisional mana pula yang tidak terancam tergusur oleh "modernitas", meskipun dari masyarakat yang paling terpencil di sudut-sudut peta bumi yang kita huni ini?*** (Sides Sudyarto DS)
0 Comments:
Post a Comment
<< Home