Monday, May 08, 2006

Batam ( 2 )

Pulau Batam dan Bintan tidak jauh berbeda bagiku. Batam sebagai pulau pertama tempat aku lebih mendalami hidup setamatnya dari FKIP Unair Malang (lihat kenang-kenanganku tentang kota pegunungan di Jawa Timur ini). Di Batam waktu itu lebih tigapuluh tahun yang lalu adalah hutan karet dan dolken. Aku dan kawan-kawan tinggal di dalam hutan. Belum ada listrik. Jika malam terdengar hingarbingar monyet dan burung-burung malam. Ular bergelantungan di pohon-pohon pinggir sungai. Mungkin karena pasrah di dalam menjalani hidup maka setelah itu muncul cahaya. Di Bintan, pulau sebelahnya yang dikenal dengan kota-kotanya Tanjung Pinang, Tanjung Uban (kota minyak) dan Kijang (kota tambang bauksit 25 km timur Tanjung Pinang). Di kota yang disebut terakhir ini aku mendapatkan jodoh, anak perempuan seorang pegawai tambang senior asal Tembilahan, yang jika dirunut datang dari lokasi lebih jauh lagi: Kalimantan Selatan. Setelah aku bersama isteri tinggal di Jakarta dan mendapatkan keturunan empat anak lima cucu, hubunganku dengan pulau Bintan dan Batam terus tersambung. Jika sanakfamili dari pihak isteri pergi ke Jawa pasti jujugannya Jakarta dulu, tempat kami berdomisili di Pasar Minggu. Jika sebaliknya kami berdua ke Kepulauan Riau, kami bisa ke Kijang (Bintan Timur) lalu ke Nongsa (naik feery dari pelabuhan Tanjung Pinang ke Telaga Punggur, Batam, diteruskan lagi pakai taksi ke tujuan), tempat anak sulung kami meneruskan hidup di sana seperti penggantiku saja saat muda dulu. Aku banyak mendapat referensi selama merintis lebih tigapuluh tahun yang lalu di Bintan dan Batam. Lalulintas di sana serba laut. Tidak asing lagi dengan kolek, rakit, ponton atau motorbot serta ferry yang tiap jam selalu penuh penumpang. Aku jadi kenal betul peninggalan bersejarah di pulau Penyengat dengan mesjidnya yang konon disemen pakai kuning telor, tersohor pula dengan tari-tarian mantang dan zapin, teater Makyong, senandungnya yang khas meliuk-liuk saat mengiringi gurindam 12 Raja Ali Haji, kopinya yang sedap di warung Akau, mi lendir, asma rujak, lautnya, pelabuhan-pelabuhannya yang di Tanjung Pinang, Tanjung Uban, Telaga Punggur, Sekupang, termasuk juga Barelang (pada foto terpampang saya bersama Tini sang isteri, Diah Wulandari anak nomor 2 dan Nabila sang cucu pertama), yaitu jembatan besar yang menghubungkan pulau-pulau Batam, Rempang dan Galang (bekas tempat penampungan pengungsi Vietnam yang kini tinggal siluetnya saja, eh-eh-eh, kata orang berhantu lho!). Berkat di Kepulauan Riau pula aku tidak lupa merekamnya dalam bentuk tulisan, apakah itu cerpen antara lain "Dialog Membisu" maupun novel antara lain "Gipsti Laut" serta artikel-artikel di koran seperti SINAR HARAPAN, KOMPAS, INTISARI serta DITEKTIF ROMANTIKA (promotornya waktu itu Sdr. Sembiring). Sebagai dokumen kucantumkan pula surat dari redaksi INTISARI dan komentar tentang diriku di dalam terbitan khusus 25 Tahun INTISARI.
Kembali kepada partisipasi di dalam berenang di laut seperti ini: Jarak dari pantai pulau Penyengat ke pantai pelabuhan Tanjung Pinang cukup jauh. Aku tidak membual, saat ada perayaan hari besar, aku dengan kawan-kawan mengikuti lomba renang laut, sedikitnya tiga jam, dan toh dari pantai Penyengat itu aku bisa juga sampai dengan selamat berenang ke pantai Tanjung Pinang. Jika sekarang kutelusur, cukup jauh juga. Ngeri. Bagaimana kalau ada ikan todak atau hiu menyergap dari dalam laut? Apa aku maniak olahraga? Ya. Sejak di Kijang dan Tanjung Pinang itulah aku mulai gemar main tenis hingga berlangsung puluhan tahun kemudian. Anakku pertama dan kedua lahir saat aku tengah asyik tanding tenis di RSAL Jakarta dan RS KKo Cilandak (pada foto pertama saya bercelanapendek biru bersama Ben yang berkumis saat siap tandingtenismalam di Jakarta). Ah, bahannya tak habis-habis untuk diocehkan.
Rahmat Ali, 9 Mei 2006.


BUKU PERINGATAN 25TH INTISARI

Rahmat Ali
Jakarta :
Mendapat Perspektif Baru

Bagi Rahmat Ali, kelahiran Malang, 29 Juni 1939, menulis merupakan sumber kehidupannya yang kedua di samping sebagai pegawai ne­geri. Sebelum menulis untuk Inti­sari, dia sudah banyak menulis sajak dan cerpen. Melalui Intisari ia melihat suatu perspektif baru di bidang penulisan, yaitu menulis karangan berdasarkan fakta, bukan fiktif. Rahmat mulai mengirimkan tulisannya ke Intisari pada tahun 1970. Karangan pertama itu mengisahkan pengalamannya selama belajar di Amerika Serikat. Waktu itu ia masih berdinas di KKO dan mendapat tu­gas belajar tentang masalah komunikasi.

Dalam menulis ia tidak mau terbatas pa­da satu topik saja. Lebih dari dua puluh tulisannya yang pernah mengisi Intisari (1970-1978), temanya pun beragam. Ada yang bercerita tentang belajar terjun payung, menangkap codot, melatih lumba-­lumba, atau profil tokoh dan sebagainya.
Kini Rahmat berstatus sebagai karyawan Pemda DKI dan menjabat Kasubdin Bina Program, Dinas Kebudayaan DKI Jakarta. Tugasnya banyak menyangkut masalah-ma­salah sejarah. Maka tulisannya pun banyak yang kemudian berkaitan dengan topik itu. la mengaku cukup banyak menerima tanggapan dari tulisan-tulisannya di Intisari. Seperti reaksi terhadap tulisannya tentang memelihara lebah. Ternyata banyak juga pembaca yang berminat beternak lebah dan meminta sarannya.



Honor dari tulisan-tulisannya, menurut Rahmat, lebih banyak dipakai untuk pe­nambah garam dapur. Sebagian kecil di­pergunakannya untuk membeli buku-buku referensi pribadi yang menyangkut bidang budaya, terutama sejarah, kesenian serta majalah-majalah.
Sejak tahun 1978 ia tidak pernah mengi­rimkan tulisan lagi ke Intisari karena kesi­bukan pekerjaan. Namun, bukan berarti ke­gemarannya menulis terhenti sama sekali. Lima buah buku karangannya telah diterbit­kan. Yang terakhir, Novi, terbit pada tahun 1986. (Tota)

0 Comments:

Post a Comment

<< Home