MALANG KOTA TERCINTA,
MALANG YANG TAK TERLUPAKAN
/ Rahmat Ali
I.
PEMBUKA
Ada beberapa indikator kuat untuk membenarkan seseorang itu
berasal dari kota Malang atau paling sedikit dari Surabaya. Yaitu dari gaya bahasa JawaTimuran-nya. Di dalam berbicaranya selalu pakai kata-kata "kon" atau "ko-ện" (kamu), "ndik" atau "ệndik" (di), "yok opo sé..éééééé?" (bagaimana/gimana sih?), "nangdi?" (ke mana?), “molih” (pulang). Termasuk juga slank atau kata balikan khas Malang antara lain "wanyik nès hoo" (ini bagus kawan"), "kadit" (tidak), "ayas" (saya), "kèra Ngalam" (arek Malang), "raijo kanyab" (banyak duit), "ayakmèn" (orang kaya), "èbès" (bapak), "kèwut" (tua), “ngalup” (pulang), “amrin” (pacar) dan banyak lagi. Tidak dilupakan kata maki-makian, yang bukannya tidak sopan atau buruk namun justru itu menunjukkan akrab. Karena sudah lama tidak ketemu maka seorang kawan langsung menegur: "Héi diancuk suwé gak ketemu nangdi aé ko-ên?" (Hai kawan lama tidak ketemu ke mana saja kamu?) Begitu juga kata-kata "jangkrik!", "diamput!", "bêdès!" (monyet) dll-nya yang diucapkan keras-keras tanpa malu di hadapan orang banyak sambil tertawa cekakak-cekikik. Begitulah beberapa indikator seseorang itu dari kota Malang alias "Arema". Tidak adalah kata-kata yang demikian diucapkan oleh warga kota lain di Indonesia bahkan di seluruh dunia kecuali di kota Malang.
I.
MASA SEKOLAH
Kotaku Malang dengan udaranya yang sejuk karena dikelilingi
banyak gunung serta candi serta peninggalan bersejarah serba unik lainnya, merupakan lahan cerita tak pernah habis-habis dalam hidupku. Awal-awalnya mengapa aku di kemudian hari memilih profesi tukang bercerita alias penulis adalah berkat di SD Blakangloji, sekolah negeri yang banyak dilupakan. Di situ Bu Endang dan guru-guru lain umumnya wanita telah mengajarkan dasar-dasar ilmu serta motivasi pada diriku untuk gemar membaca, membaca dan membaca, ditambah agar mencintai kesenian di samping tidak lupa berolahraga.
SD Blakangloji di Malang waktu itu, awal tahun 1950-an memang benar-benar memungkinkan kami murid-muridnya maju. Dulunya ALS (Algemene Lagere School) atau SR/Sekolah Rakyat. Halamannya luas di depan, terutama lagi di belakang--- memberi kami peluang berlari-lari, berlempar-lemparan bola kasti, bal-balan dan juga permainan lainnya. Dia waktu itu merupakan satu-satunya sekolah yang menerapkan amat pentingnya koordinasi antara para orangtua murid dan para guru. Dari yuran-yuran para orangtua akhirnya terselenggara sistem peningkatan pelayanan dan perhatian terhadap para murid a.l. menyediakan air minum matang di wadahnya yang higienis untuk kami yang haus saat istirahat dan secara rutin sebulan sekali mendatangkan dokter memeriksa kesehatan, terutama telinga, hidung, tenggorokan serta gigi. Saat begitulah semua murid diperiksa teliti. Termasuk aku. Gigi lubang perlu dibor kemudian ditambal pakai timah hingga tertutup rapi tidak usah dicabut. Selanjutnya sampai sekarang gigi-gigiku penuh plombiran namun tetap utuh.
Selain itu kami murid-murid tiap bulan rutin memperoleh pembagian selusin buku tulis serta mata pena sekaligus. Saat itu pada bangku kami masing-masing disediakan pot kecil dari gelas isi tinta. Pihak sekolahlah yang menyediakan tinta di botol besar. Tiap pagi kami memeriksa pot tinta. Jika ternyata berkurang kami ramai-ramai antri di gudang untuk mengisikan tinta baru ke pot. Tradisi waktu itu para murid memang harus menulis pakai tangkai kayu.
Mata pena yang sudah tebal oleh endapan tinta celup bahkan seperti berkarat menjadikan kurang efektip dipakai menulis. Dengan mata pena baru bentuk tulisan pada kertas bisa "runcing". Agar tidak kotor kami harus bermodal "flui" (pengisap tinta). Dengan begitu akan lebih cepat kering tulisan di kertas. Fasilitas lain yang bisa menambah pengetahuan dan wawasan kami di luar pelajaran adalah tersedianya perpustakaan kecil yang oleh Bu Endang dibuka tiap istirahat. Buku-bukunya baru dibeli dari toko dan memuat berbagai disiplin meliputi sejarah, falsafah, pengetahuan tentang berbagai bangsa di dunia dan lain-lainnya. Keadaan buku telah tersampul rapi, lengkapi nomor perpustakaan. Kami maksimal dibolehkan meminjam seminggu kemudian harus kembali. Sayangnya buku-buku roman amat cepat dipinjam kawan-kawan kelas lain. Aku hanya mendapatkan buku biasa-biasa saja, kurang terkenal.
Padahal waktu itu aku menginginkan roman seperti "Salah Asuhan", "Sitti Nurbaya", "Tenggelamnya Kapal van der Wijck", "Layar Terkembang", "Atheist" dan lain-lain yang amat "top" zaman itu. Agar supaya tidak ketinggalan kawan-kawan sekelas yang maniak baca, aku mencari akal dengan mendaftar jadi anggota perpustakaan Departemen P & K Jl. Arjuna. Di situ aku jadi kenal petugasnya yang ramah, Pak Wid, yang hafal di luar kepala judul buku-buku sastra. Di situ pula aku berhasil memperoleh buku bagus antara lain: "Mereka yang dilumpuhkan", "Di sudut-sudut Balkan", "Winnetou" serta "Sebatang Kara"-nya Hector Malot dan lain-lain. Waktu itu aku baru kelas 5 mau naik ke kelas 6.
Seseorang bisa dilihat kefasihan berbahasanya dari cara membaca di kelas. Bu Endang itulah yang mentes kami dalam membaca secara cepat namun berseni. Pembacaan bergilir namun mendadak. Jadi tiap murid menyimak sebaik-baiknya penuh waspada jika tidak ingin gelagapan kemudian dimarahi Bu Endang. Cukup satu dua paragrap saja dibaca. Atas penampilan yang ditunjuk membaca, dengan mudah bisa disimpulkan, seseorang sering membaca atau tidak. Di kelas pula kami sering ditanya Bu Endang apa saja isi salah satu buku. Yang ditanya segera memaparkan. Akan malulah murid yang diam saja. Berarti tidak pernah pinjam buku di perpustakaan.
Ukuran Bu Endang kecil, mungkin tinggi tidak lebih dari 150 senti. Dia beda dari guru-guru lain yang sudah berumahtangga. Dia belum bersuami juga. Tampaknya mempertahankan tetap berstatus lajang. Karena itu pagi-pagi sekali sudah siap di kelas. Roknya selalu terusan rapi. Rambut dikelabang namun dilekatkan lagi melingkar di kepala. Kuku tangan dipotong runcing, terpelihara. Dialah yang mengajar bahasa Indonesia dan mempersiapkan kami agar lulus dengan baik.
Guruku yang lain Bu Imam, mengajar tumbuh-tumbuhan. Yang kuingat di antaranya dia mengajar kami perkembangan kacang mulai dari biji sampai tumbuh tunas, lalu tampak batang kemudian berdaun dan seterusnya. Selain itu Bu Imam juga merangkap mengajar kesenian. Yang diutamakan seni suara. Kawan-kawan yang menyanyi kor. Aku ditugaskan sebagai tukang seruling. Serulingku bambu yang kubeli di pasar. Karena tiap hari pelajaran menyanyi aku sebagai penyulingnya aku terbiasa selalu ditunjuk. Makanya di rumah aku berlatih agar penyajian di kelas tidak mengecewakan Bu Imam.
Ukuran fisik bangunan SD-ku cukup besar dan luas. Di belakang gedung sekolah berbentuk U terbalik terbentang halaman luas tanpa rumput, bisa dimanfaatkan untuk bermain kasti, badminton dan "yokari" (pukul bola tenis terikat tali karet panjang, alat pemukulnya berwujud tampel kayu). Di tengah halaman tersebut beringin tinggi dan kokoh serta rindang. Di sebelahnya berdiri rumah tua ditempati Pak Kebon. Dia yang bertanggungjawab keamanan dan kebersihan sekolah. Isterinya diizinkan Ibu Kepala Sekolah berjualanan makanan untuk para murid saat beristirahat. Toh pagi-pagi para murid sudah banyak berkerumun-kerumun di warung Pak Kebon untuk ngobrol sambil jajan tahu petis, yang lain menikmati "menjes" (tempe bungkil tepung gorengan), "rondo royal" alias "janda matrek" yang tidak lain tape goreng dan "kontol kambing" (memang nama porno hingga para murid wanita suka memendekkannya saja "kambing", kuwe kacang ijo dua kepalan kecil gorengan). Minumannya belum ada botolan atau aqua seperti abad ke 21 sekarang. Saat itu cukup segelas teh hangat, kopi atau kacang ijo.
Di depan gedung sekolah terbentang halaman cukup luas pula ditumbuhi beringin besar di tengahnya. Halaman depan ini ditabur kerikil. Jika orang berjalan di atasnya akan terdengar gesekan atau saling beradunya antara batu kerikil yang satu dengan lainnya. Lalu di depannya lagi berdiri pagar tembok setinggi satu setengah meter sebagai pembatas dari jalan raya yang dilewati pejalan kaki dan kendaraan umum. Guru-guru yang datang dan pulangnya belum ada yang membawa kendaraan, bersepeda pun tidak. Umumya naik becak.
Satu-satunya guru lelaki di sekolahku hanya Pak Yusuf. Agaknya waktu itu dia baru lulus dari Sekolah Guru. Jadi belum luwes mengajar kami. Kepada kawan-kawanku perempuan dia canggung sekali. Dia guru olahraga. Kami biasa berlatih kasti di lapangan rumput di Sawahan. Ke sananya kami berjalan kaki ke arah selatan kira-kira dua kilometer. Pulangnya juga berjalan kaki. Waktu itu rata-rata kami masih tidak bersepatu. Aku bercelana pendek. Yang hebat di dalam kasti, Krisna. Usianya paling tua di antara kami semua sekelas. Tampelannya keras sekali. Bola terpukul jauh sampai di luar garis. Kalau tanding lawan sekolah lain dialah jago kami. Pasti lawan terkecoh. Sekolah kami menang. Krisna hero.
Namun di bidang lain, maksudku pelajaran-pelajaran di kelas, dia lemah. Boleh dikata banyak nilai jeblok. Mungkin anggapannya kasti saja pelajaran yang paling penting, lainnya tidak. Aku tidak tahu di mana Krisna sekarang.
Beberapa belas tahun berselang setelah aku tinggal di Jakarta, bekas SD Blakangloji yang penuh kenangan tersebut rupanya telah sirna ditelan bumi. Telah dibimsalabim jadi rumah milik cukong kota Malang. Entah pejabat mana dan periode walikota siapa akhirnya SD Blakangloji yang luas dan rindang jadi pindah hak. Padahal gedung tersebut telah berjasa di dalam mencetak para putera bangsa. Kok sangat mentolo-mentolonya sang oknum pejabat bikin rekayasa hingga gedung sekolah untuk rakyat dijual kepada cukong. Apa alasan dan motipnya? Padahal setelah diteliti, di depan gedung SD Blakangloji itu terdapat bekas ditemukannya prasasti peninggalan raja Airlangga!
II.
MASA BERMAIN & BERTUALANG
Saat bersekolah memang amat indah. Banyak kawan. Beberapa dari wajah mereka masih bisa kubayangkan. Banyak pula kesan, baik yang bagus maupun buruk. Yang baik dan menyenangkan saat gurau dengan kawan-kawan sekelas dengan topik obrolan aneka macam. Juga dengan kawan-kawan sekampung. Yang buruk dan tidak membahagiakan serta paling menohok menyakitkan: saat Bapak meninggal mendadak. Akibatnya aku yang baru usia 8 tahun tidak seperti kawan-kawan sekolah yang masih punya ortu lengkap. Beaya apa saja pada mereka dari Bapak, apa dia sebagai pekerja, pegawai biasa, guru, tentara, polisi, atau pedagang dll-nya. Sedangkan aku sendiri? Bayangkan, yang membeayai sekolahku hanya Bunda satu-satunya. Karena aku anak lelaki dari dua anak, saat kematian Bapak aku merasa jadi dewasa sebelum waktu. Mauku cepat-cepat tamat sekolah, bekerja dapat hasil. Nyatanya tidak. Masih lama. Harus menjalani hampir segalanya proseduril. Aku harus pandai-pandai gaul dengan kawan baik di lingkung sekolah maupun lingkung kampung semua demi terhiburnya diriku. Jika tidak demikian aku bisa "nelongso" (sedih dukana) terus dan akhirnya menderita tbc berat. Aku tidak mau mengalami nasib begitu sedih dan bodoh.
Tidak ada jalan lain sehabis pulang sekolah dan makan di rumah sekedarnya, aku manfaatkan waktuku banyak-banyak untuk main dengan kawan sekampung. Aku jadi tahu betul mainan zaman itu, mulai dari "entik" (memukul kayu sejengkal pakai kayu lebih panjang sedikit, ada yang jaga di depan, kalau kayu yang dipukul melayang bisa ditangkap berarti ganti giliranlah yang jaga. Kalau tidak, pihak penjaga, begitu kayu yang dipukul jatuh di tanah haruslah melempar balik, dan pihak yang sudah memukul bisa memukul lagi. Lalu dari titik jatuh, dihitung pakai gagang kayu. Jika saat memukulnya ganda, dan tetap kayu yang melayang tidak bisa ditangkap, menghitungnya boleh pakai peniti hingga amat banyaklah jumlahnya), "sepaktekong" (menendang kaleng ukuran bekas kaleng susu sampai ke jalanan besar yang penuh kendaraan), "kenekeran" alias main kelereng, "kekehan” (adu gasing kayu ujung berpaku dibentuk menyerupai kapak pembelah gasing lawan), mengejar layang-layang putus, mencari buah asam yang telah jatuh di tanah, memanjat buah tanjung di halaman gedung kabupaten, sampai main bola di Alun-alun atau terjunan dari buk (tembok) jembatan "Splendid" ke lubuk sungai Brantas yang lokasinya tepat di bawah sekali.
Berkat tiap sore tak perduli panas hujan terus saja main bola di Alun-alun, tim kami sering menang di pertandingan-pertandingan antar kampung. Yang dipergunakan gol kami tidak lain ya baju-baju ditumpuk di sebelah kanan kiri kiper. Kami bertelanjang dada, kaki cekeran tanpa pelindung berupa sepatu. Waktu itu zamannya "bola perut ayam" (bola putih murah mudah meletus atau gembos). Resiko lainnya jika melanting ke jalan raya. Banyak tergantung ke masing-masing sopir. Kalau mengerti itu bola kami, sopir akan ngerem hingga bola selamat dari gilasan. Jika sopir raja tega dan terus saja mengegas, meletuslah bola grup kami satu-satunya. Kami harus urunan lagi beli baru. Saat berikutnya main bola kami lebih meningkat. Tidak lagi pakai "bola perut ayam". Ganti bola karet: lebih tebal, lebih kuat dan tentu saja lebih mahal sedikit (kami urunan sepuluh senan, kurs nonton bioskop zaman tahun 1950-an itu 50 sen kelas kambing, jika beli pada calo jadi 75 sen. Itu cukup mahal buat kami anak-anak). Biarpun bola karet, karena tiap hari berlatih, sundulan kepala maupun tendangan kami pakai kaki kanan atau kiri cukup bagus, bisa dibanggakan orang lain.
Tidak sombong, kami bisa bagi-bagi bola mungkin lebih kompak dari permainan orang dewasa di stadion. Mahir mendribel bola, mengecoh apalagi. Kaki masih cekeran saja, belum masanya pakai sepatu bola seperti orang dewasa. Kalau kebetulan kena batu ya berdarah-darahlah jari kaki kami. Kalau beradu antara kaki dengan kaki ya berakibat keseleo dan kesakitan. Saat berlangsung pertandingan besar di stadion pasti kami aegrup nonton. Istilah kami “browot”, masuk tanpa beli karcis lewat pagar yang banyak ditumbuhi pohon lamtoro alias petai Cina. Biar dilapisi kawat duri kami bias saja menyilang-nyilangkan badan. Yang jaga keamanan pasti kuwalahan karena yang membrowot jauh lebih banyak. Bukan anak-anak sepantaran kami saja, bahkan orang-orang dewasa nimbrung pula. Justru mereka yang seperti panutan kami. Jika penjagaan benar-benar ketat maka kami memanjat pohon yang tumbuh tegak dan banyak dahan serta cabangnya yang menjorok ke dalam pagar stadion. Dari atas pohon tampak jelas namun harus waspada, jangan sampai jatuh (kini pagar hidup pohon-pohon lamtoro sudah dipangkas, diganti tembok kokoh, tidak mungkin lagi menerobos). Yang paling enak memang nonton di dalam. Bisa melihat pemain-pemain Malang berlaga. Waktu itu kiper Persema adalah Mursanyoto, hebat dia. Dia seperti Paijo juga pernah dipilih jadi kiper PSSI. Sebagai bek adalah Gisman. Lawan bebuyutan Persema adalah Persibaya. Mereka punya penyerang San Liong dan beknya Sidi. Mereka ini pemain PSSI. Pernah juga PSM dari Makassar datang bertanding melawan Persema. Waktu itu penyerangnya Ramang. Dia lebih hebat lagi, larinya kilat tak terduga, tendangannya bertubi-tubi ke gawang, mungkin setaraf Pele. Hanya Ramang kalah ekspos. Buktinya ketika PSSI melawan kesebelasan Rusia di Melbourne, Australia, mampu bertahan mati-matian hingga skor tetap 0 - 0. Saat diulang lagi esoknya jelas PSSI keok karena kelelahan sekali.
Aku selain pemain kiri luar pernah juga menjadi penjaga gawang di dalam tanding-tanding. Pada suatu hari aku menangkap bola rendah dan saat itu juga kaki seorang penyerang tepat menendang mukaku. Mulut, pipi dan mataku bengkak. Untuk beberapa hari aku tidak masuk sekolah. Toh aku tidak kapok-kapok ke Alun-alun lagi untuk main bola.
III.
TUALANG KE PUSAT-PUSAT WISATA
Karena jarang sekali mendapat bekal uang dari Bunda seringlah aku tidak bisa ikut acara-acara sekolah dalam rangka darmawisata. Lebih baik tinggal di rumah. Sebagai ganti pada kesempatan lain aku dengan beberapa kawan sekampung pergi ke beberapa pusat wisata secara jalan kaki saja. Pertama-tama kami ke pemandian Wendit, sekitar 8 km timur laut kota Malang. Kami tidak lewat jalanan utara via Blimbing kemudian setelah itu belok kanan. Yang kami tempuh perjalanan potong kompas via Rampal, lalu menyusur Kali Sari yang turapnya di sepanjang pinggir tampak lurus. Meneruskan berjalan melewati jalanan setapak sepanjang pinggiran kebun kangkung yang mengambang di atas permukaan air. Justru mulai dari sini perjalanan kami sudah mendekati sumber air yang berwujud danau besar bernama Wendit. Nama aslinya Walandit, daerah perbukitan rindang yang di kakinya penuh sumber hingga akhirnya menjadi danau.
Sejak zaman Singosari bahkan sebelumnya daerah Wendit sudah ada. Lalu pada zaman Ken Arok dijadikan desa "perdikan" dan diperuntukkan bagi para petugas agama, bebas pajak. Yang istimewa dari tempat wisata Wendit ini kera-keranya. Mereka turun dari pohon-pohon jati di gundukan bukit kemudian mengangakan mulut. Bukannya mau menggigit. Hanya minta perhatian. Artinya agar diberi makanan berupa kacang, ketela, jambu, salak, singkong atau pisang rebus. Penduduk sekitar danau memanfaatkan tempat rekreasi Wendit untuk berjualan makanan dan souvenir. Yang mereka jual rujak cingur, pecel dan kolak. Air tawarnya di kendi sebagai minuman gratis sehabis makan. Para penjual makanan kecil seperti ketela, singkong, pisang rebus dan kacang--- dijajakan keliling.
Para pedagang tahu bahwa pada umumnya para pengunjung hanya membeli bukan untuk dirinya tetapi untuk para monyet. Mengenai souvenir yang dijajakan adalah mainan anak-anak berupa pesawat terbang baling-baling terbuat dari kayu sono atau randu. Laris juga dan dari dulu dikerjakan turun temurun khas Wendit. Rekreasi bagi pengunjung yang tidak suka berenang adalah naik perahu dari pusat danau sampai perairan tanaman kangkung. Tukang perahu menggunakan galah panjang yang ditonjokkan ke dasar danau. Di atas perahu dipasang kerudung kain untuk menghindari panas dan hujan.
Aku setiap ke Wendit pasti lebih suka mandi di danau yang cukup luas itu. Airnya bukan saja sangat bening dan biru namun juga dingin sekali, seperti es Tampak ikan-ikannya yang menggerombol dan seperti sudah biasa dengan para manusia. Selain ikan di dasar danau juga tumbuh ganggang panjang yang bergerak-gerak. Kami menyebutnya "mendong", yang kalau dicabut dan lalu dijemur, nantinya dianyam menjadi tikar. Yang berenang di danau cukup banyak. Di tengah dipasang "pos perhentian", berwujud papan terpaku dan terikat amat kuat tidak lepas-lepas. Ke situlah umumnya para perenang berhenti melepas lelah barang sebentar. Kemudian sehabis itu berenang lagi ke pinggir danau. Ada satu kolam lagi yang bertembok dan harus bayar. Aku hanya beberapa kali mandi di situ, soalnya sempit dan perenangnya terlalu banyak berhimpit-himpit.
Kukira perjalanan menarik lainnya ke Singosari. Ke sananya menggunakan trem dari Alun-alun. Setelah di Blimbing, terus. Kalau belok kanan ke Wendit. (Kini tidak ada lagi tremnya, di Alun-alun dan sepanjang Jl. Kayutangan sudah tertimbun aspal, hanya sebagian relnya yang di Wendit masih lengket di tanah). Sebelum sampai Singosari mampir dulu Watu Gede yang hanya berwujud tempat pemujaan kuno abad ke 12 dan 13, resot tersebut dilengkapi kolam kecil saja sekedarnya. Mungkin dulunya pasti lebih indah. Yang paling menarik kalau berjalan kaki lagi ke arah barat jalan raya dekat pasar Singosari. Di sanalah lokasi candi besar Singosari. Kami naik ke atas untuk melihat yoni yang tidak lagi punya lingga. Beberapa patung antara lain seperti Nandi (sapi suci), Ganesha (gajah) dan termasuk “Prajnaparamita” diangkut ke Negeri Belanda pada zaman VOC dahulu.
Setelah berjalan lagi beberapa langkah ke barat kami sampailah ke patung raksasa separo badan, yang satu di seberang jalan kecil sebelah utara. Satunya lagi sebelah selatan. Patung ukuran bis Kopaja itu membelesak ke tanah saking amat raksasanya. (Kini sudah dikatrol dan tampak kaki-kakinya di atas muka tanah yang disemen rapi). Kalau diteruskan lagi berjalan ke arah dua kilometer ke barat terdapat kolam pemandian Ken Dedes. Untuk berenang lumayan juga. Di dalam air banyak ikannya yang besar-besar. Di belakang pemandian tersebut tumbuh sederetan bambu petung yang langka.
Dengan mandi di kolam itu aku seringkali membayangkan kecantikan Ken Dedes yang di dalam "Pararaton" dipaparkan sebagai wanita dengan paha bercahaya-cahaya. Apa benarkah wujudnya persis sebagaimana yang dipatungkan: "Prajnaparamita" yang notabene figur Ken Dedes sendiri? O betapa jelitanya puteri Singosari yang dulunya isteri Akuwu Tunggul Ametung di Tumapel (sekitar Kuta Bedah?) kemudian dikudeta berdarah oleh Ken Arok. Atas aksinya itu Ken Arok memperoleh Ken Kedes dan mengangkatnya menjadi permaisuri kemudian menurunkan cikal bakal raja-raja Majapahit!
Petualanganku yang mengesan, ke gunung Kawi. Jalan kaki ramai-ramai lewat kampung, ladang jauh dari keramaian. Lebih separo hari melangkah dengan menahan lelah. Karena gurau banyak, tidak rasa. Di Kawi, maksudku bukan puncak gunung, bersuasana ramai sekali. Umumnya kalangan saudagar, cukong-cukong, mereka datang dari tempat-tempat jauh. Di situ ada altar puja, ada hio, pentas wayang kulit malamnya. Nasi selamatan dibagi-bagikan. Ada kertas ramalan segala bagi peziarah bahwa nanti nasibnya tercapai, dapat jodoh atau ada harapan namun masih tunggu beberapa saat (entah cepat atau beberapa belas tahun berselang barulah tercapai). Begitu di antaranya yang yang dibacakan oleh seorang simbah.
IV.
HANYA SEKEJAP DI PGA
Kesulitanku di bidang finansial teratasi setelah aku berhasil mendaftarkan diri dan diterima masuk ke PGA (Pendidikan Guru Agama). Pendidikan ini kutempuh empat tahun setelah tamat dari SD Blakangloji. Di sini selain mendapat pelajaran bahasa Inggris dan Arab juga tentu saja Hadis, Tarikh, Tauhid, Feqih, Tafsir dan lain-lainnya yang berkaitan dengan agama Islam. Kunci paling utama dari pelajaran-pelajaran tersebut adalah penguasaan terhadap bahasa Arab tingkat dasar. Jadinya aku digembleng tiap hari. Caranya dengan memahami sorof yang tidak lain sistem konjugasi kata-kata kerja. Sebenarnya tidak muskil asalkan tahu rumus-rumus dan hukumnya. Setelah dua tiga tahun mengerti jugalah aku. Bisa nulis dan baca. Pokoknya tidak buta huruf.
Sebenarnya menurut guru-guru aku sudah diarahkan untuk menerus ke PHI (Pendidikan Hakim Islam) di Jogjakarta kemudian setelah itu ke Al Azar di Kairo. Namun saat ujian aku membuat kesalahan blunder. Ujian pekerjaan tangan begitu tergesa-gesanya kulaksanakan namun tidak juga selesai-selesainya. Karena mendadak panik aku jadi tidak sabar lagi. Mata ujian tersebut menghasilkan nilai rendah. Aku dinyatakan tidak lulus. Gagallah rencanaku ke PHI, apalagi ke Al-Azar, Kairo. Untungnya waktu itu aku ikut ujian SMP juga. Lulus. Aku segera menerus ke SMA I Negeri Alun-alun Bunder yang tiap bulannya harus membayar uang sekolah. Dulu selama empat tahun di PGA aku memperoleh ID (Ikatan Dinas) sebesar Rp. 140,- setiap bulannya. Waktu itu hem Arrow hanya Rp.12,- Kos sebulan Rp.25,- sampai Rp.50,- Jadinya hidupku cukup mewah. Aku serahkan sebagian besar pendapatanku kepada Bunda. Untuk keperluan pakaian dan perlengkapan sekolah tidak masalah. Sepatu baru, hem dan celana baru, termasuk alat-alat mandi, semuanya lengkap. Setelah tidak ada lagi uang ID tiap bulan, meranalah hidupku selama di SMA. Aku merasakan bagaimana saat bangkrut tidak ada seorang juga yang menolong. Pakaianku lama kelamaan tinggal satu-satunya. Sepatu juga. Aku seperti kembali ke SD Blakangloji. Tiap bulan pikiranku terganggu oleh keraguan, kira-kira bisakah aku bayar sekolah. Aku tidak mampu membeli buku pelajaran. Harusnya pada usia remaja demikian aku mulai tandang ke rumah pacar. Namun aku yang selalu bokek, bagaimana bisa ajak naik ke boncengan. Sepeda saja aku tidak punya. Mau naik becak, wah, kempes kantong. Maka tahu dirilah. Kalau bisa tunda masa remaja dari para pacar. Biarpun ada filem bagus ya biarlah berlalu, aku berpuasa dulu walau tidak sedikit cewek-cewek cantik yang mungkin mau. Konsekuensinya aku putus cinta dari mereka yang kusimpati sebelumnya. Konsentrasiku kemudian lebih baik pada majalah sekolah. Dulunya majalah "DIAN" yang stensilan ini pernah diasuh Idrus Ismail (cerpenis asal Sumbawa yang lembut, alm) yang kemudian kuliah di Gajah Mada dan akhirnya menjadi perwira AURI berpangkat Kolonel. Giliran berikutnya, "DIAN" diasuh Sunaryono Basuki (kini Profesor Bahasa di Singaraja) dan aku sendiri. Sibuk juga namun pelajaran tidak terganggu sedikit pun.
Guru-guruku waktu itu Bapak Hasibuan (direktur yang tiap pagi kontrol bangku dan tangga-tangga sekolah apa masih berdebu atau sudah dibersihkan pakai bulu kucing), Pak Adan mengajar bahasa Perancis dengan suaranya yang serak, Pak Hudan mengajar sastra (pernah jadi Bupati Jombang), Pak Darwis mengajar Arab Melayu (sering aku yang disuruh menulis di papan) kemudian Pak Blasius yang gendut berkacamata pengajar bahasa Kawi. Saat mau mengajar di depan kelas selalu lebih dulu makan roti lapis bawaan dari rumah. Enak saja dia makan tanpa malu-malu. Lalu di depan murid-murid perempuan yang cantik dia pura-pura mau merangkul. Kami yang murid laki-laki lalu tertawa gembira. Guru wanitanya yang baru lulus kemudian mengajar kami adalah Bu Titien dari Bandung dan Bu Marni dari Jogja. Yang mengajar sejarah Bu Hanum, orangnya kecil dan cantik. Guru lainnya setelah aku ikut pindah rombongan siswa dari SMA I ke SMA IV di Kota Lama, Pak Gun, Kepala Sekolah. Kendaraan yang dipakainya sepeda biasa yang pada zaman itu lagi ngetren dipasangi mesin bagi yang punya duit lebih. Larinya kencang, suaranya seperti rentetan plembungan diletakkan di antara ban dan slebor. Cukup bising. Pak Gun tanpa mengayuh kecuali kalau mesin mogok. Pak Gun agaknya juga nyentrik dalam berbusana. Mungkin di rumah isterinya tidak berani memberitahu. Sering celana dalam yang dipakai celana panjang biasa. Barangkali udara dingin mempearuhi Pak Gun bercelana rangkap-rangkap begitu. Suatu hari "balapan", celana panjang di dalam justru menyembul jelas. Toh Pak Gun cuek ke podium di halaman sekolah sebagai inspektur upacara berpidato panjang di depan barisan kami murid-muridnya.
V. DENGAN SENIMAN-SENIMAN
Malam-malam aku sering bertemu seniman-seniman lokal zaman itu, di antaranya Emilia Sanossa yang karya-karyanya sering ditayangkan di TVRI. Dia penulisnya sekaligus pemain. Ada lagi Ramayana rambut panjang bak pertapa. Hobi nyanyi seriosa sepenggal-sepenggal. Dia orang teater juga (entah sekarang di mana, tidak kedengaran lagi masih hidup atau sudah dod). Pemain teater lainnya adalah Mamek Haryanto, ganteng dan berkumis tinggal di Kayutangan. Purnawan Tjondronegoro (sudah almarhum, suami Titiek WS) dari Surabaya sering datang ke Malang dan ngobrol dengan kami sampai larut.
Tulisannya yang lancar biasanya tentang perang waktu itu sering nongol bersambung di majalah "Varia", Jakarta. Di dalam ngobrol Purnawan lebih lancer lagi, ramai, nyrempet-nyrempet porno. Yang pernah datang lainnya dari Surabaya adalah Suprijadi Tomodihardjo, pengasuh budaya koran "Trompet Masjarakat" yang isterinya dari kampung Bareng Bandarangin. Dia penyair dan cerpenis (sering dimuat di Kompas akhir-akhir ini). Kini di Koln, Jerman dan masih bermilis-milis denganku via internet. Grupku sendiri adalah Buddhy Setyoadji, cerpenis di koran-koran hari Minggu, Jakarta, dan Teguh Santosa (dulu illustrator majalah “Gelora” kemudian jadi komikus kondang) asal Kasin kemudian pindah Kepanjen serta Bramastho (awalnya tukang bikin vignet lalu jadi pelukis yang kemudian pindah ke Jakarta, sanggarnya pernah terendam banjir Ciliwung di bawah kampung Condet). Ketiga orang tersebut kini sudah pada almarhum.
VI.
PENUTUP
Umumnya Malang yang sejuk hanya habitat awal bagi sebagian besar penghuninya. Setelah tamat atau tidak tamat pendidikan formal hengkang ke kota lain bahkan ke luar negeri. Aku sendiri belakangan meninggalkan Malang karena perlu ngendon dulu berkuliah di Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia di FKIP Universitas Airlangga di Jl. Semarang (gedung baru waktu itu) lalu pindah ke Jl. Tumapel yang dulunya bekas “Hotel Splendid”. Di bawahnya persis jembatan sungai Brantas. Di FKIP itu aku dikuliahi Pak Suwoyo Wojowasito si ahli kamus yang suka memontiri mobilnya sendiri. Dia seorang linguist. Lalu Pak Suwito Santoso, ahli bahasa Jawa Kuno atau Kawi yang kemudian hijrah mengajar di Australia bersama isterinya yang juga dosenku bidang filologi. Lalu Pak Umar Junus, teoritikus linguistik yang menguliahi pakai rumus-rumus Aljabar. Kemudian Pak Dawam, dosen Islamologi dari Mesir. Aku diajar juga oleh Bu Hartini Suwondo, ahli Sanskrit. Sempat juga aku bertemu dengan Pak Purbotjaroko, itu professor yang tersohor keahliannya di bidang prasasti-prasasti kuno. Waktu itu beliau tunuk-tunuk datang dengan bercaping bambu.
Ya, pelajaran-pelajaran telah kulahap dan toh begitu lulus aku segera mendaftar masuk Angkatan Laut yang waktu itu zamannya Bung Karno sedang menghadapi konfrontasi. Aku bertugas di pulau-pulau, di hutan karet sunyi berbulan-bulan, sangat jauh menyimpang dari ilmu-ilmu budaya yang pernah kudapat. Aku merantau juga ke negeri-negeri jauh. Aku kemudian kawin dan menetap di Jakarta, negeri yang selalu bergelimang dengan hiruk pikuk dan “gua-gua” dan “elu-elu”. Toh kota tercinta Malang sulit kulupakan. Orang pasti selalu terkesan soto, rawon dan rujak cingur yang sedap tak ada taranya, pada pasar besar yang teratur rapi sejak sebelum Perang Dunia II, ke pasar Krempyeng tempat transaksi barang-barang rombengan, pada gunung Kawi tempat yang percaya "ambil berkah" (aku dan kawan-kawan berjalan kaki ke sana sekedar ingin tahu dan main saja lho). Juga pada gedung SD Blakangloji yang telah dilego oknum pejabat tinggi pemerintah kota (alumnusnya di antara kawan-kawanku ada yang jadi dokter anak, ahli ilmu jiwa, profesor sastra universitas terkenal, laksamana dan aku sendiri seselesai kerja di AL lalu pindah di pemerintahan dan puas berkeliling separo bumi lalu meneruskan karir sebagai penulis), pada gedung SMA Negeri Alun-alun Bunder yang menghadap tugu kotapraja Malang, pada SMA IV Kota Lama, pada Jl. Kayutangan yang membentang, pada jembatan "Splendid" yang di bawahnya mengalir sungai Brantas tempat biasanya aku mandi-mandi bersama kawan-kawan sekampung, pada Alun-alun wahana kami main bola, pada mesjid jamik dengan dua menaranya tempat burung sriti bersarang dan aku pernah memanjatnya sehabis solat Isya, pada Wendit dengan monyet-monyetnya, pada kota Batu dengan pemandian "Selecta" dan kebun apelnya, pada stadion waktu masih dipagari pohon-pohon lamtoro tempat kami menerobos tanpa karcis jauh sebelum ditembok tinggi dan pada lain-lainnya yang amat banyak tidak terhitung. Pokoknya seniman-seniman dan para ahli di Malang-lah dicetak. Juga tidak disangsikan Malang sebagai kota wisata, kota sejarah (tempat raja Gajayana, Empu Sendok, Airlangga, Ken Arok, Kartanegara dan Wijaya raja pertama Majapahit), lengkap pula petilasan-petilasan candi, patung dan bukti-bukti sejarah lainnya yang terserak-serak.
Jakarta 4 November 2005.
(Tulisan ini dibuat untuk menyambut usia 50 tahun Eka Budianta penulis asal Malang juga dan telah dipublikasikan di dalam buku "MEKAR DI BUMI", penerbit Pustaka Alvabet, Februari 2006).
Karya-karya Rahmat Ali
I. Yang berbentuk novel:
1. Sang Gubernur Jendral (Gramedia, 1976), 2. Fatahillah
Pahlawan Kota Jakarta (Cypress Jakarta, 1982, diteruskan Balai
Pustaka, 1997). 3. Para Pengawal Sultan Babullah (Jantera Bakti,
1983), 4. Ratu Kalinyamat (Cypress Jakarta 1985), 5. Novi (Balai
Pustaka, 1986), 6. Baron Sakender (Mitra Gama Widya, 1998), 7.
Nyai Dasima (Grasindo, 2000), 8. Negeri Surilang (Grasindo, 2002),
9. Narapidana Luar Galaksi (Grasindo, 2002) dan 10. Pacar
Cantik Di Kapalselamku (Majas Jakarta, 2004).
II. Yang berbentuk cerita bersambung:
11. Naga Taksaka (Sinar Harapan, 1964). 12. Kapiten Jonker
(Ditektip & Romantika, 1979). 13. Pelarian Onrust (Republika, sejak
Mei 1997).14. Pate Rodin (Republika, sejak Mei 1998), 15. Monster,
Monster (Republika, 1999), 16. Angkasa Renggi (Suara Pembaruan,
2000), 17. Gipsi Laut (Sinar Harapan, sejak Mei-Agustus 2005)
III. Yang berbentuk cerita rakyat:
18. Cerita Rakyat Betawi I (Grasindo 1993)
19. Cerita Rakyat Betawi II (Grasindo 1993)
IV. Yang berbentuk kumpulan cerpen/puisi:
20. Bi Gayah sambalnya mmmm….m (Majas Jakarta, 2004)
V. Yang berbentuk antologi cerpen dengan pengarang lain:
21. Dari Jodoh sampai Supiyah (Djambatan, 1976)
22. Guru Pahlawan Tanpa Tanda Jasa (Aries Lima, 1983)
23. Lukisan Sekuntum Mawar (Rosda Bandung 1985),
24. Cerita Pendek Indonesia III (Gramedia, 1986)
25. Een Parel in het rijstveld (Novib Den Haag, 1986),
26. Cerpen Nusantara Mutakhir (Dewan Bahasa dan Pustaka,
Kuala Lumpur 1991)
27. Kalung dari Gunung (Besari, 2004)
28. Aisyah dari balik tirai jendela, Besari, 2006)
VI. Yang berbentuk antologi puisi dengan penyair lain:
28. Jakarta Dalam Puisi Mutakhir (Dinas Kebudayaan
Propinsi DKI Jakarta, 2000)
29. Maha Duka Aceh (Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin, 2005).