Monday, October 27, 2008


CUCUKU YANG BERBAKAT

Dari manakah sebenarnya bakat? Apakah bakat itu pembawaan sejak lahir? Yang jelas cucuku yang bernama Fatih amat tekun di dalam beberapa hal. Kegemaran utama yang tak terpisahkan dari kehidupannya sehari-hari adalah kepada ikan dan binatang purba yang bernama dinosaurus. Kalau punya uang sedikit saja dipakai untuk beli ikan. Kaos-kaos yang dikenakannya lebih banyak bergambar dinosaurus. Ingatannya amat tajam. Katanya dia itu selalu tahu kalau ada setan atau mahluk halus di sekitarnya. Namun sekarang setelah usia 7 tahun dan duduk di klas 3 SD Al-Azhar, Bintaro, dia cukup cerdas. Sepulang berlebaran dan berpiknik ke Bromo dia menggarkan kesan-kesannya seperti berikut ini:

Friday, September 05, 2008

lomba antar sepupu

Rahmat Ali

Karena berjauhan tempat hunian maka antara saudara sepupu hanya sekali tempo saja bisa bertemu dan hal itu dimanfaatkan sebaik mungkin oleh mereka untuk mengobrol sambil bermain apa saja yang menarik. Yang sesama perempuan main boneka, congklak atau nonton kartun di depan layar tivi. Yang lelaki usia tujuh tahun kelas tiga SD menekuni dvd balap mobil. Jika mereka sedang bergairah keluar rumah tujuan mereka pasti ke mal. Begitu puas dilanjutkan ke kolam renang. Sayangnya di antara tiga saudara sepupu tersebut hanya yang tertua, Nabila usia 12 tahun yang sudah pandai berenang bebas. Adik-adiknya yang dua orang, Sheva (6 th) dan Abang (7 th) masih pakai pe-lampung saja. Untungnya sudah berani "berkejar-kejaran" dengan kakak mereka, Nabila itu. Karena sejak kecil Nabila sudah dibina pelatih yang disiplin maka lumayanlah renangnya di kolam. Beda sekali dengan Sheva dan Fatih. Biar sudah dibujuk-bujuk tetap saja mereka berdua lebih percaya kepada kakeknya (diriku ini) daripada pelatih. Terpaksa aku harus terus di dekat mereka karena riskan jika diteledorkan saat di kolam. Bisa-bisa mereka tenggelam jika aku lengah. Naudzubillahi mindalik. Karena tahu terus menjaga mereka yang berpelampung jadi lebih berani. Maka saat mereka memutuskan untuk berlomba dengan Nabila, aku berjaga-jaga dari jauh. Atau aku ikut lomba juga namun “mengalah” saja di belakang seperti tampak pada foto. Kulihat gerak Sheva dan Abang cukup laju juga. Bagaimanapun Nabila lebih gesit dan lebih tangkas. Mana mungkin adik-adik sepupunya bisa menyalip? Tentu jauh tertinggal di belakang. Di akhir loma Nabila juaranya. Sheva runner up dan Abang nomor tiga!

Jakarta, pertengahan Juli 2008

Monday, April 21, 2008

MEMBUDAYAKAN
BERENANG DALAM KELUARGA

Saya bisa berenang lantaran sejak kecil sering bermain-main di sungai sepulang sekolah bersama kawan-kawan desa. Lokasi sungainya tidak jauh dari rumah. Boleh dikata hanya di belakang rumah. Di salah satu bagian sungai yang tidak seberapa lebar itu terdapat "kedung", istilah di desaku waktu itu untuk pengganti nama lubuk. Ya tidak dalam, namun untuk ukuran anak yang belum bisa berenang bisa bikin tenggelam juga. Nah, lantaran meniru kawan-kawan di dalam menggerak-gerakkan kaki dan tangan di air maka mengambanglah aku. Bisa bergerak dari satu tepian ke tepian lainnya. Boleh dibilang airnya lumayan bersihnya. Artinya tidak ada sampah atau kotoran lainnya. Kegemaran berenangku berlangsung terus sampai aku duduk di SMA, bahkan sampai di universitas. Kini aku sudah kakek-kakek. Kebiasaanku berenang tidak kunjung henti. Sayangnya di kota besar tidak memiliki sungai yang jernih seperti di desa zaman kecilku dulu. Adanya kolam renang yang harus bayar. Ada kolam yang bersih, lainnya lagi kolam yang kurang memperhatikan kebersihan. Jika tidak tahan-tahan perenangnya bisa kegatalan sampai di rumah. Terpaksa aku harus memilih yang sebaik-baiknya. Artinya yang higienis tidak terjangkit kuman-kuman. Resikonya kolam yang bersih dan terawat baik tentu tidak murah. Apa boleh buat, demi sehat dan tidak kena penyakit. Isteriku kurang pandai berenang dan masih takut-takut di kolam. Maka kucarikan pelatih biar berenangnya benar dan dalam sebulan saja sudah bisa. Dia tanpa pelatih lagi sesudah itu. Namun kalau di lokasi yang dua meter lebih dalamnya dia masih takut. Padahal kalau sudah bisa berenang kan tidak apa-apa. Nggak, ah, anggak, jawabnya menyimpan takut tenggelam. Walau kuterangkan sekali lagi tetap saja masih takut. Dia berlatih sendiri sampai kuat beberapa menit di tempat yang agak dangkal.
Cucu-cucuku juga kuajak ke kolam renang. Wah, girangnya bukan main. Mereka pakai ban. Dengan kubimbing akhirnya bisa juga mengambang. Cucu pertama sudah lihay dan cukup kuat. Cucu nomor empat berani juga, namun masih kolokan dan mintanya kudampingi saja, atau oleh neneknya. Dia sudah bisa juga lo, namun tidak mau kuserahkan ke pelatih. Pokoknya berenang seperti sudah maniak. Dengan begitu jika kami berpiknik ke tempat rekreasi dan ada sarananya termasuk kolam renang, berenanglah kami ramai-ramai. Sungguh menggembirakan saat bergantian meluncur dari ketinggian menerobos lorong yang berkelok-kelok licin. Tahu-tahu byur nyemplung ke air yang biru. Kami di bawah dan tiba-tiba saja air setangki besar tumpah menimpa orang-orang di bawah. Kami tertawa-tawa. Kami jadi tidak asing lagi dengan air. Inilah gambar-gambar kami sekeluarga di salah satu kolam renang ibukota. Memangnya kami keturunan ikan, ya? He-he-he!

Friday, March 09, 2007

Karya-karya adiluhung dari leluhur




Tuesday, November 14, 2006

Sastra Sejarah Lebih Indah

SASTRA SEJARAH LEBIH INDAH

PENAMPILANNYA sederhana dan terkesan tidak memedulikan fesyen. Namun, ia cukup terlihat trendi. Sebab di usianya yang sudah senja, 67 tahun, ia masih gemar memakai topi dan sepatu sport. Ia Rahmat Ali penulis yang pada juni lalu baru saja menerbitkan novel terbarunya, Gipsi Laut. Ia berpendapat usia tua bukanlah halangan untuk berkreasi. Malah lelaki yang telah mempunyai lima cucu itu tetap optimistis karyanya akan mampu bersaing di pasaran dengan karya-karya dari para penulis muda. Terbukti, dalam novel terbarunva, Rahmat cukup terampil mengangkat tema yang jarang dibidik para penulis lain, yaitu kehidupan di seputar laut. Tengoklah petikan dari bagian kedua dalam novelnya itu. “Maafkan aku, Long, bukannva aku bermaksud merendahkan martabatmu. Coba aku dulu menitis pada kalangan yang sekolahan, katakan pedagang atau pegawai negeri, mungkin lain. Ini aku di kalangan puak Orang Laut. Tiap hari di biduk bercadik. Miskin dan terbelakang tak tersentuh pendidikan. Jika dibanding dengan perompak-perompak laut yang bersenjata tajam dan bersenapan, berpestol pula, tentunya kami puak Orang Laut rentan diserang dan dimusnahkan tanpa perIindungan. Tapi para datuk yang baik lantaran sesajen kami, selalu jadi pelindung utama sehari-hari." Dalam kisah tersebut, meskipun tampak sederhana, terlihat bagaimana Rahmat menguasai tradisi yang berdiri tegak di tengah kehidupan orang-orang laut. Dengan kekuatan yang sederhana, sesajen, bagaimana orang-orang laut digambarkan mampu membangun komunikasi dengan kekuatan-kekuatan spiritual, sekaligus mampu membangun jaringan politiknya dengan para penguasa. Lebih jauh, bisa kita simak dalam lanjutan deskripsi itu. “Kami aman-aman saja di perairan pedalaman republik, di perairan kepulauan, di laut teritorial, di zona tambahan, di zona ekonomi eksklusif, di landas kontinen, di laut lepas, serta di kawasan dasar laut internasional luas wilayah kedaulatan republik, atau di luar perbatasannya yang sampai jauh. Istilah-istilah kesepakatan antarnegara tersebut sejak leluhur kami dulu sampai sekarang tak kami kenal tak mau kami kenal, karena kami menganggap seluruh laut di planet ini bebas seperti milik kami sendiri." Dalam pembicaraan bersama Media Indonesia, Rahmat mengaku bahwa menulis sastra berlatar sejarah akan lebih berbobot. Seperti dalam novel Gipsi Laut, ia susah payah menuliskan kisah perjuangan orang-orang laut di Riau pada kurun 1967-1968. Pada novel-novel sebelumnya, Rahmat pun sudah membuktikan sastra berlatar sejarah tidak kalah dengan sastra pop. Sang Gubernur jenderal (1976), Ratu Kalinyamat (1978), Para Pengawal Sultan Babullah (1989), dan Fatahillah, Pahlawan Kota Jakarta (1982). Itulah berkah yang didapat Rahmat sebagai orang yang sejak 1973 hingga 1980 bekerja sebagai pegawai di Dinas Museum dan Sejarah Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Apalagi ketika pada 1976 ia menjadi tim pendiri Museum Bahari yang kini berdiri di Pasar Ikan, Jakarta, tempat ia mendapat kesempatan mempelajari museum dan sejarah di sejumlah negara Eropa, seperti Norwegia, Swedia, Denmark, Belanda, Jerman, Inggris.

Monday, November 13, 2006

HASIL LOMBA MENGARANG CERPEN BETAWI TAHUN 2006

HASIL LOMBA MENGARANG
CERPEN BETAWI TAHUN 2006

Peserta Lomba Tingkat SD

Setelah dinilai tim juri SM Ardan, Jose Rizal Manua
dan Rahmat Ali, hasil Lomba Mengarang Cerpen Betawi 2006 yang diselenggarakan Perpustakaan Umum Pemda DKI (PERPUMBA) di Kuningan, Jakarta Selatan, cukup menggembirakan. Para pemenang nomor satu dari seluruh tingkatan (SD, SMP, SMA, PT dan Umum) bergiliran membaca karyanya di podium. Yang tampil pemenang pertama “Kisah Anak Tukang Becak" karya Hanafiah Khairunnisa, klas 6 SD. Ceritanya panjang. Tentang keluarga tukang becak. Pada suatu saat tanpa diduga tukang becak tersebut mengalami kecelakaan dan dirawat di rumah sakit terdekat. Malang tidak bisa ditolong lagi. Si bapak tukang becak meninggal. Si tokoh gadis kecil yang yatim sejak itu lalu dengan gigih berjuang menghadapi hidup.
Tulisan-tulisan berwujud cerpen karya murid-murid SD lainnya cukup bagus. Semangat mereka tinggi di dalam mengikuti lomba. Biar tidak punya mesin tik apalagi komputer mereka tidak habis akal. Tulis tangan saja biarpun tidak jarang yang ureg-ureg bolpoinnya kurang jelas. Tidak ada koma tidak masalah. Di dalam berdialog tanpa tanda baca dan lainnya lagi pakai. Untungnya juri-juri mengerti. Cara menulis ceplas-ceplos tanpa beban. Ekspresip sekaligus impresip. Cerpen pemenang kedua: “Si Jay”, karya Nizaska Syaula Melati. Cerpen pemenang ketiga “Si Jampang”, karya Anindyawati Ratna Putri. Cerpen pemenang keempat “Si Doel", karya Zainal Mufidah Hasaan. Cerpen pemenang kelima “Juragan Boing” karya Umairah Nazifah.

Peserta Lomba Tingkat SMP
Jumlah peserta Lomba Mengarang Cerpen Betawi tingkat SMP 19 orang. Yang terpilih pemenang pertama “Kebaya Betawi” karya Kartika Laras Panduwati, tentang gadis sedang sewot mencari kebaya apa yang bisa ditampilkan untuk acara di sekolah. Nyaknya miskin, tidak memiliki apa-apa. Lalu berkilah. Dikatakan kebaya yang diinginkan sudah ada, tetapi mana, tetapi mana, tetapi mana— begitu selalu diuber pertanyaan putrinya. cara Kartika Laras membawakan kocak, cengkok Betawinya pas Pengetahuan busana Betawi, rinci. Para pendengar senang. Berlanjut lancar. Menjelang hari H-nya sang putri buka-buka lipatan pakaian di almari. Didapatkan kebaya nyaknya. Sudah lama tidak dipakai-pakai, kok cocok dengan yang diinginkan. Dari kesedihan menjadi kegembiraan. Cerpen pemenang kedua “Patime dan Jamal, karya Tamara Ayu Ekaputri. Cerpen pemenang ketiga, “Kontes Pendekar", karya WendeN X. Watulingas. Cerpen pemenang keempat, "Si Pitung" karya Zabra Shalimah. Cerpen pemenang kelima, “Petualangan Apin", karya Haris Pradhikto.
Peserta Lomba Tingkat SMA
Jelas tulisan-tulisan para siswa SLTA lebih mumpuni. Gayanya lebih maju. Ada yang seperti esei namun mengandung cerita hingga menarik sekali. Ada yang baik narasi maupun dialog langsung pakai dialek Betawi. Terlihat pada cerpen pemenang pertama “Gerak Hati Penari Ngarojeng” (mengisahkan seorang penari Ngarojeng yang sudah tenar lalu sering dikontrak sebagai penari latar. Selama dikontrak oleh impresariat tari dia mendapat honor lumayan, istilahnya “duit bergebok-gebok”, namun setelah itu dia sadar hanya dieksploitasi saja dengan menari gaya erotik vulgar. Maka dia kembali jadi penari Ngarojeng, salah satu jenis tari Betawi yang bersenibudaya, walau honornya amat kecil tidak seperti di nightclub. Cara bertuturnya dengan dialek Betawi cukup canggih dan kuat maka dari itu nilainya tertinggi). Cerpen pemenang kedua, “Namenye Juge Orang Betawi”, karya Tera Gayatri (kisah pasangan remaja Milah dan Ramdani mempersiapkan pentas budaya Betawi yang akhirnya memadu kasih diteruskan pernikahan). Cerpen pemenang ketiga “Damai itu indah”, karya Viola Surya Cipta, tentang Ali si Jujur di sekolah namun diirikan kawan kemudian difitnah. Cerpen pemenang keempat adalah “Piala” (tentang pemuda kriminal yang bolak-balik dipenjara hingga warga kampung selalu curiga dan waspada setiap keluar dari bui padahal setelah itu dia jadi orang baik-baik). Cerpen pemenang kelima adalah “Die Tetep Babe Gue” (tentang nasib gadis anak istri nomor buntut, jarang dikunjungi bapak dan toh selalu mendambakan bapak, sungguh trenyuh).

Peserta Lomba Tingkat Perguruan Tinggi
Karya-karya tulis berwujud cerpen dari kalangan ini lebih berbobot lagi sesuai latar pendidikan yang mereka miliki. Setelah diteliti lebih mendalam, ternyata yang menjadi pemenang pertama “Bang Udin Bule Kebayuran” karya Baridah seorang mahasiswi jurusan Ekonomi asal Cipulir. Ceritanya tentang anak Betawi yang benar-benar bule dulunya bernama Daniel kemudian setelah diangkat anak oleh Haji Husen diganti nama menjadi Udin. Panggilannya Udin Bule yang katanya anak haram. Ceritanya 14 halaman, kocak, fantasinya “gila"!
Cerpen pemenang kedua “Bukti Aye”, karya Sri Hastuti, tentang semangat tinggi seorang mahasiswi yang meneliti kemudian mementaskan hasil telitiannya di fakultas UI dengan sukses karena didukung pula oleh kawan-kawannya. Yang diteliti adalah sekeluarga seniman/seniwati lenong. Cerpen pemenang ketiga “Pengantin Sunat” karya Daisy Priyanti, tentang pernak-pernik bocah Betawi yang siap untuk disunat dengan segala upacaranya. Cerpen pemenang keempat “Aku dan Betawiku”, karya Nurhikmah, tentang bocah bernama Salim yang keluarganya seniman Ondel-ondel. Cerpen pemenang kelima adalah “Kisah kasih anak Betawi” karya Muh. Iwan Azhari, tentang percintaan sepasang pemuda yang penuh idiom-idiom lucu dan menarik.

Peserta Lomba Tingkat Kalangan Umum
Cerpen pemenang pertama berjudul “Senandung Hidup Nada-nada Tehyan” karya Zackir L. Makmur. Cerpen ini menguasai betul masalah interior kesenian Betawi terutama lenong di mana salah satu alat musik pengiringnya bernama tehyan, yaitu jenis biola khas Cina yang berdawai dan gema suara gesekannya ditampung oleh tempurung kelapa. Ceritanya digambarkan secara prosa liris. Misalnya ada metafora begini: ... ketika digesek penuh puitika perasaan, ati ikut bernyanyi. Enak didengar. Mempesona. Punya daya sugestif tersendiri. Cerpen pemenang kedua “Adat Kawinan Betawi, Masih Eksis?" karya Dahlia (esei yang 'bercerita' yang menyegarkan, lancar dan pembaca pasti terpikat untuk melanjutkan baca sampai titik terakhir. Cerpen pemenang ketiga “Ngejagein Kampung Ampe Linglung” karya Reno AZ, tentang meronda alias bertugas jaga selama siskamling, penuh rasa teror diancam maling yang sering membobol tanpa diketahui, pada akhirnya para peronda curiga ke seseorang (yang dicurigai bukan pemilik tuyul serta ada mau dengan seorang janda). Dia sebenarnya orang baik-baik yang justru pembina kampung. Cerpen pemenang keempat “Maen Mata Kena Borgol”, karya Widi Santoso, tentang perampok yang ditakuti menghadang Rukia atau Kia, untungnya diselamatkan Mat Gari hingga selamat dan akhimya kawinlah mereka berdua. Gayanya seperti ditektip Naga Mas tahun 1950-an yang penuh action). Cerpen pemenang kelima “Gara-gara Rendeman Kolor” karya Jibal Windiar, mengisahkan perjalanan cinta antara Mada dan Romlah yang sudah tiga tahun namun terhalang oleh ketidaksetujuan calon mertua lelaki. Terpaksa lari ke dukun minta jompa-jampi. Ada ungkapan seperti “Kaga kerase aer matenya jadi gerimis”. “Babenya kaga secuil pun rontok ame rengekan anak satu-satunye yang emas entu”. “Tung lipit tulang bawang siapa kejepit tunggu lubang nyam... Nyam”,)
Hadiah berupa piagam, buku dan uang ratusan ribu baru akan diberikan kepada para pemenang pada bulan September 2006 yad.

Jakarta 14 Jull 2006, RAHMAT ALI

Pelukis, Husni, Kebon Jeruk Jakarta-Barat

Wednesday, May 10, 2006

MALANG KOTA TERCINTA,
MALANG YANG TAK TERLUPAKAN
/ Rahmat Ali
I.
PEMBUKA
Ada beberapa indikator kuat untuk membenarkan seseorang itu berasal dari kota Malang atau paling sedikit dari Surabaya. Yaitu dari gaya bahasa JawaTimuran-nya. Di dalam berbicaranya selalu pakai kata-kata "kon" atau "ko-ện" (kamu), "ndik" atau "ệndik" (di), "yok opo sé..éééééé?" (bagaimana/gimana sih?), "nangdi?" (ke mana?), “molih” (pulang). Termasuk juga slank atau kata balikan khas Malang antara lain "wanyik nès hoo" (ini bagus kawan"), "kadit" (tidak), "ayas" (saya), "kèra Ngalam" (arek Malang), "raijo kanyab" (banyak duit), "ayakmèn" (orang kaya), "èbès" (bapak), "kèwut" (tua), “ngalup” (pulang), “amrin” (pacar) dan banyak lagi. Tidak dilupakan kata maki-makian, yang bukannya tidak sopan atau buruk namun justru itu menunjukkan akrab. Karena sudah lama tidak ketemu maka seorang kawan langsung menegur: "Héi diancuk suwé gak ketemu nangdi aé ko-ên?" (Hai kawan lama tidak ketemu ke mana saja kamu?) Begitu juga kata-kata "jangkrik!", "diamput!", "bêdès!" (monyet) dll-nya yang diucapkan keras-keras tanpa malu di hadapan orang banyak sambil tertawa cekakak-cekikik. Begitulah beberapa indikator seseorang itu dari kota Malang alias "Arema". Tidak adalah kata-kata yang demikian diucapkan oleh warga kota lain di Indonesia bahkan di seluruh dunia kecuali di kota Malang.

I.
MASA SEKOLAH
Kotaku Malang dengan udaranya yang sejuk karena dikelilingi banyak gunung serta candi serta peninggalan bersejarah serba unik lainnya, merupakan lahan cerita tak pernah habis-habis dalam hidupku. Awal-awalnya mengapa aku di kemudian hari memilih profesi tukang bercerita alias penulis adalah berkat di SD Blakangloji, sekolah negeri yang banyak dilupakan. Di situ Bu Endang dan guru-guru lain umumnya wanita telah mengajarkan dasar-dasar ilmu serta motivasi pada diriku untuk gemar membaca, membaca dan membaca, ditambah agar mencintai kesenian di samping tidak lupa berolahraga.
SD Blakangloji di Malang waktu itu, awal tahun 1950-an memang benar-benar memungkinkan kami murid-muridnya maju. Dulunya ALS (Algemene Lagere School) atau SR/Sekolah Rakyat. Halamannya luas di depan, terutama lagi di belakang--- memberi kami peluang berlari-lari, berlempar-lemparan bola kasti, bal-balan dan juga permainan lainnya. Dia waktu itu merupakan satu-satunya sekolah yang menerapkan amat pentingnya koordinasi antara para orangtua murid dan para guru. Dari yuran-yuran para orangtua akhirnya terselenggara sistem peningkatan pelayanan dan perhatian terhadap para murid a.l. menyediakan air minum matang di wadahnya yang higienis untuk kami yang haus saat istirahat dan secara rutin sebulan sekali mendatangkan dokter memeriksa kesehatan, terutama telinga, hidung, tenggorokan serta gigi. Saat begitulah semua murid diperiksa teliti. Termasuk aku. Gigi lubang perlu dibor kemudian ditambal pakai timah hingga tertutup rapi tidak usah dicabut. Selanjutnya sampai sekarang gigi-gigiku penuh plombiran namun tetap utuh.
Selain itu kami murid-murid tiap bulan rutin memperoleh pembagian selusin buku tulis serta mata pena sekaligus. Saat itu pada bangku kami masing-masing disediakan pot kecil dari gelas isi tinta. Pihak sekolahlah yang menyediakan tinta di botol besar. Tiap pagi kami memeriksa pot tinta. Jika ternyata berkurang kami ramai-ramai antri di gudang untuk mengisikan tinta baru ke pot. Tradisi waktu itu para murid memang harus menulis pakai tangkai kayu.
Mata pena yang sudah tebal oleh endapan tinta celup bahkan seperti berkarat menjadikan kurang efektip dipakai menulis. Dengan mata pena baru bentuk tulisan pada kertas bisa "runcing". Agar tidak kotor kami harus bermodal "flui" (pengisap tinta). Dengan begitu akan lebih cepat kering tulisan di kertas. Fasilitas lain yang bisa menambah pengetahuan dan wawasan kami di luar pelajaran adalah tersedianya perpustakaan kecil yang oleh Bu Endang dibuka tiap istirahat. Buku-bukunya baru dibeli dari toko dan memuat berbagai disiplin meliputi sejarah, falsafah, pengetahuan tentang berbagai bangsa di dunia dan lain-lainnya. Keadaan buku telah tersampul rapi, lengkapi nomor perpustakaan. Kami maksimal dibolehkan meminjam seminggu kemudian harus kembali. Sayangnya buku-buku roman amat cepat dipinjam kawan-kawan kelas lain. Aku hanya mendapatkan buku biasa-biasa saja, kurang terkenal.

Padahal waktu itu aku menginginkan roman seperti "Salah Asuhan", "Sitti Nurbaya", "Tenggelamnya Kapal van der Wijck", "Layar Terkembang", "Atheist" dan lain-lain yang amat "top" zaman itu. Agar supaya tidak ketinggalan kawan-kawan sekelas yang maniak baca, aku mencari akal dengan mendaftar jadi anggota perpustakaan Departemen P & K Jl. Arjuna. Di situ aku jadi kenal petugasnya yang ramah, Pak Wid, yang hafal di luar kepala judul buku-buku sastra. Di situ pula aku berhasil memperoleh buku bagus antara lain: "Mereka yang dilumpuhkan", "Di sudut-sudut Balkan", "Winnetou" serta "Sebatang Kara"-nya Hector Malot dan lain-lain. Waktu itu aku baru kelas 5 mau naik ke kelas 6.
Seseorang bisa dilihat kefasihan berbahasanya dari cara membaca di kelas. Bu Endang itulah yang mentes kami dalam membaca secara cepat namun berseni. Pembacaan bergilir namun mendadak. Jadi tiap murid menyimak sebaik-baiknya penuh waspada jika tidak ingin gelagapan kemudian dimarahi Bu Endang. Cukup satu dua paragrap saja dibaca. Atas penampilan yang ditunjuk membaca, dengan mudah bisa disimpulkan, seseorang sering membaca atau tidak. Di kelas pula kami sering ditanya Bu Endang apa saja isi salah satu buku. Yang ditanya segera memaparkan. Akan malulah murid yang diam saja. Berarti tidak pernah pinjam buku di perpustakaan.
Ukuran Bu Endang kecil, mungkin tinggi tidak lebih dari 150 senti. Dia beda dari guru-guru lain yang sudah berumahtangga. Dia belum bersuami juga. Tampaknya mempertahankan tetap berstatus lajang. Karena itu pagi-pagi sekali sudah siap di kelas. Roknya selalu terusan rapi. Rambut dikelabang namun dilekatkan lagi melingkar di kepala. Kuku tangan dipotong runcing, terpelihara. Dialah yang mengajar bahasa Indonesia dan mempersiapkan kami agar lulus dengan baik.
Guruku yang lain Bu Imam, mengajar tumbuh-tumbuhan. Yang kuingat di antaranya dia mengajar kami perkembangan kacang mulai dari biji sampai tumbuh tunas, lalu tampak batang kemudian berdaun dan seterusnya. Selain itu Bu Imam juga merangkap mengajar kesenian. Yang diutamakan seni suara. Kawan-kawan yang menyanyi kor. Aku ditugaskan sebagai tukang seruling. Serulingku bambu yang kubeli di pasar. Karena tiap hari pelajaran menyanyi aku sebagai penyulingnya aku terbiasa selalu ditunjuk. Makanya di rumah aku berlatih agar penyajian di kelas tidak mengecewakan Bu Imam.

Ukuran fisik bangunan SD-ku cukup besar dan luas. Di belakang gedung sekolah berbentuk U terbalik terbentang halaman luas tanpa rumput, bisa dimanfaatkan untuk bermain kasti, badminton dan "yokari" (pukul bola tenis terikat tali karet panjang, alat pemukulnya berwujud tampel kayu). Di tengah halaman tersebut beringin tinggi dan kokoh serta rindang. Di sebelahnya berdiri rumah tua ditempati Pak Kebon. Dia yang bertanggungjawab keamanan dan kebersihan sekolah. Isterinya diizinkan Ibu Kepala Sekolah berjualanan makanan untuk para murid saat beristirahat. Toh pagi-pagi para murid sudah banyak berkerumun-kerumun di warung Pak Kebon untuk ngobrol sambil jajan tahu petis, yang lain menikmati "menjes" (tempe bungkil tepung gorengan), "rondo royal" alias "janda matrek" yang tidak lain tape goreng dan "kontol kambing" (memang nama porno hingga para murid wanita suka memendekkannya saja "kambing", kuwe kacang ijo dua kepalan kecil gorengan). Minumannya belum ada botolan atau aqua seperti abad ke 21 sekarang. Saat itu cukup segelas teh hangat, kopi atau kacang ijo.
Di depan gedung sekolah terbentang halaman cukup luas pula ditumbuhi beringin besar di tengahnya. Halaman depan ini ditabur kerikil. Jika orang berjalan di atasnya akan terdengar gesekan atau saling beradunya antara batu kerikil yang satu dengan lainnya. Lalu di depannya lagi berdiri pagar tembok setinggi satu setengah meter sebagai pembatas dari jalan raya yang dilewati pejalan kaki dan kendaraan umum. Guru-guru yang datang dan pulangnya belum ada yang membawa kendaraan, bersepeda pun tidak. Umumya naik becak.
Satu-satunya guru lelaki di sekolahku hanya Pak Yusuf. Agaknya waktu itu dia baru lulus dari Sekolah Guru. Jadi belum luwes mengajar kami. Kepada kawan-kawanku perempuan dia canggung sekali. Dia guru olahraga. Kami biasa berlatih kasti di lapangan rumput di Sawahan. Ke sananya kami berjalan kaki ke arah selatan kira-kira dua kilometer. Pulangnya juga berjalan kaki. Waktu itu rata-rata kami masih tidak bersepatu. Aku bercelana pendek. Yang hebat di dalam kasti, Krisna. Usianya paling tua di antara kami semua sekelas. Tampelannya keras sekali. Bola terpukul jauh sampai di luar garis. Kalau tanding lawan sekolah lain dialah jago kami. Pasti lawan terkecoh. Sekolah kami menang. Krisna hero.

Namun di bidang lain, maksudku pelajaran-pelajaran di kelas, dia lemah. Boleh dikata banyak nilai jeblok. Mungkin anggapannya kasti saja pelajaran yang paling penting, lainnya tidak. Aku tidak tahu di mana Krisna sekarang.
Beberapa belas tahun berselang setelah aku tinggal di Jakarta, bekas SD Blakangloji yang penuh kenangan tersebut rupanya telah sirna ditelan bumi. Telah dibimsalabim jadi rumah milik cukong kota Malang. Entah pejabat mana dan periode walikota siapa akhirnya SD Blakangloji yang luas dan rindang jadi pindah hak. Padahal gedung tersebut telah berjasa di dalam mencetak para putera bangsa. Kok sangat mentolo-mentolonya sang oknum pejabat bikin rekayasa hingga gedung sekolah untuk rakyat dijual kepada cukong. Apa alasan dan motipnya? Padahal setelah diteliti, di depan gedung SD Blakangloji itu terdapat bekas ditemukannya prasasti peninggalan raja Airlangga!

II.
MASA BERMAIN & BERTUALANG
Saat bersekolah memang amat indah. Banyak kawan. Beberapa dari wajah mereka masih bisa kubayangkan. Banyak pula kesan, baik yang bagus maupun buruk. Yang baik dan menyenangkan saat gurau dengan kawan-kawan sekelas dengan topik obrolan aneka macam. Juga dengan kawan-kawan sekampung. Yang buruk dan tidak membahagiakan serta paling menohok menyakitkan: saat Bapak meninggal mendadak. Akibatnya aku yang baru usia 8 tahun tidak seperti kawan-kawan sekolah yang masih punya ortu lengkap. Beaya apa saja pada mereka dari Bapak, apa dia sebagai pekerja, pegawai biasa, guru, tentara, polisi, atau pedagang dll-nya. Sedangkan aku sendiri? Bayangkan, yang membeayai sekolahku hanya Bunda satu-satunya. Karena aku anak lelaki dari dua anak, saat kematian Bapak aku merasa jadi dewasa sebelum waktu. Mauku cepat-cepat tamat sekolah, bekerja dapat hasil. Nyatanya tidak. Masih lama. Harus menjalani hampir segalanya proseduril. Aku harus pandai-pandai gaul dengan kawan baik di lingkung sekolah maupun lingkung kampung semua demi terhiburnya diriku. Jika tidak demikian aku bisa "nelongso" (sedih dukana) terus dan akhirnya menderita tbc berat. Aku tidak mau mengalami nasib begitu sedih dan bodoh.
Tidak ada jalan lain sehabis pulang sekolah dan makan di rumah sekedarnya, aku manfaatkan waktuku banyak-banyak untuk main dengan kawan sekampung. Aku jadi tahu betul mainan zaman itu, mulai dari "entik" (memukul kayu sejengkal pakai kayu lebih panjang sedikit, ada yang jaga di depan, kalau kayu yang dipukul melayang bisa ditangkap berarti ganti giliranlah yang jaga. Kalau tidak, pihak penjaga, begitu kayu yang dipukul jatuh di tanah haruslah melempar balik, dan pihak yang sudah memukul bisa memukul lagi. Lalu dari titik jatuh, dihitung pakai gagang kayu. Jika saat memukulnya ganda, dan tetap kayu yang melayang tidak bisa ditangkap, menghitungnya boleh pakai peniti hingga amat banyaklah jumlahnya), "sepaktekong" (menendang kaleng ukuran bekas kaleng susu sampai ke jalanan besar yang penuh kendaraan), "kenekeran" alias main kelereng, "kekehan” (adu gasing kayu ujung berpaku dibentuk menyerupai kapak pembelah gasing lawan), mengejar layang-layang putus, mencari buah asam yang telah jatuh di tanah, memanjat buah tanjung di halaman gedung kabupaten, sampai main bola di Alun-alun atau terjunan dari buk (tembok) jembatan "Splendid" ke lubuk sungai Brantas yang lokasinya tepat di bawah sekali.
Berkat tiap sore tak perduli panas hujan terus saja main bola di Alun-alun, tim kami sering menang di pertandingan-pertandingan antar kampung. Yang dipergunakan gol kami tidak lain ya baju-baju ditumpuk di sebelah kanan kiri kiper. Kami bertelanjang dada, kaki cekeran tanpa pelindung berupa sepatu. Waktu itu zamannya "bola perut ayam" (bola putih murah mudah meletus atau gembos). Resiko lainnya jika melanting ke jalan raya. Banyak tergantung ke masing-masing sopir. Kalau mengerti itu bola kami, sopir akan ngerem hingga bola selamat dari gilasan. Jika sopir raja tega dan terus saja mengegas, meletuslah bola grup kami satu-satunya. Kami harus urunan lagi beli baru. Saat berikutnya main bola kami lebih meningkat. Tidak lagi pakai "bola perut ayam". Ganti bola karet: lebih tebal, lebih kuat dan tentu saja lebih mahal sedikit (kami urunan sepuluh senan, kurs nonton bioskop zaman tahun 1950-an itu 50 sen kelas kambing, jika beli pada calo jadi 75 sen. Itu cukup mahal buat kami anak-anak). Biarpun bola karet, karena tiap hari berlatih, sundulan kepala maupun tendangan kami pakai kaki kanan atau kiri cukup bagus, bisa dibanggakan orang lain.

Tidak sombong, kami bisa bagi-bagi bola mungkin lebih kompak dari permainan orang dewasa di stadion. Mahir mendribel bola, mengecoh apalagi. Kaki masih cekeran saja, belum masanya pakai sepatu bola seperti orang dewasa. Kalau kebetulan kena batu ya berdarah-darahlah jari kaki kami. Kalau beradu antara kaki dengan kaki ya berakibat keseleo dan kesakitan. Saat berlangsung pertandingan besar di stadion pasti kami aegrup nonton. Istilah kami “browot”, masuk tanpa beli karcis lewat pagar yang banyak ditumbuhi pohon lamtoro alias petai Cina. Biar dilapisi kawat duri kami bias saja menyilang-nyilangkan badan. Yang jaga keamanan pasti kuwalahan karena yang membrowot jauh lebih banyak. Bukan anak-anak sepantaran kami saja, bahkan orang-orang dewasa nimbrung pula. Justru mereka yang seperti panutan kami. Jika penjagaan benar-benar ketat maka kami memanjat pohon yang tumbuh tegak dan banyak dahan serta cabangnya yang menjorok ke dalam pagar stadion. Dari atas pohon tampak jelas namun harus waspada, jangan sampai jatuh (kini pagar hidup pohon-pohon lamtoro sudah dipangkas, diganti tembok kokoh, tidak mungkin lagi menerobos). Yang paling enak memang nonton di dalam. Bisa melihat pemain-pemain Malang berlaga. Waktu itu kiper Persema adalah Mursanyoto, hebat dia. Dia seperti Paijo juga pernah dipilih jadi kiper PSSI. Sebagai bek adalah Gisman. Lawan bebuyutan Persema adalah Persibaya. Mereka punya penyerang San Liong dan beknya Sidi. Mereka ini pemain PSSI. Pernah juga PSM dari Makassar datang bertanding melawan Persema. Waktu itu penyerangnya Ramang. Dia lebih hebat lagi, larinya kilat tak terduga, tendangannya bertubi-tubi ke gawang, mungkin setaraf Pele. Hanya Ramang kalah ekspos. Buktinya ketika PSSI melawan kesebelasan Rusia di Melbourne, Australia, mampu bertahan mati-matian hingga skor tetap 0 - 0. Saat diulang lagi esoknya jelas PSSI keok karena kelelahan sekali.
Aku selain pemain kiri luar pernah juga menjadi penjaga gawang di dalam tanding-tanding. Pada suatu hari aku menangkap bola rendah dan saat itu juga kaki seorang penyerang tepat menendang mukaku. Mulut, pipi dan mataku bengkak. Untuk beberapa hari aku tidak masuk sekolah. Toh aku tidak kapok-kapok ke Alun-alun lagi untuk main bola.

III.
TUALANG KE PUSAT-PUSAT WISATA
Karena jarang sekali mendapat bekal uang dari Bunda seringlah aku tidak bisa ikut acara-acara sekolah dalam rangka darmawisata. Lebih baik tinggal di rumah. Sebagai ganti pada kesempatan lain aku dengan beberapa kawan sekampung pergi ke beberapa pusat wisata secara jalan kaki saja. Pertama-tama kami ke pemandian Wendit, sekitar 8 km timur laut kota Malang. Kami tidak lewat jalanan utara via Blimbing kemudian setelah itu belok kanan. Yang kami tempuh perjalanan potong kompas via Rampal, lalu menyusur Kali Sari yang turapnya di sepanjang pinggir tampak lurus. Meneruskan berjalan melewati jalanan setapak sepanjang pinggiran kebun kangkung yang mengambang di atas permukaan air. Justru mulai dari sini perjalanan kami sudah mendekati sumber air yang berwujud danau besar bernama Wendit. Nama aslinya Walandit, daerah perbukitan rindang yang di kakinya penuh sumber hingga akhirnya menjadi danau.
Sejak zaman Singosari bahkan sebelumnya daerah Wendit sudah ada. Lalu pada zaman Ken Arok dijadikan desa "perdikan" dan diperuntukkan bagi para petugas agama, bebas pajak. Yang istimewa dari tempat wisata Wendit ini kera-keranya. Mereka turun dari pohon-pohon jati di gundukan bukit kemudian mengangakan mulut. Bukannya mau menggigit. Hanya minta perhatian. Artinya agar diberi makanan berupa kacang, ketela, jambu, salak, singkong atau pisang rebus. Penduduk sekitar danau memanfaatkan tempat rekreasi Wendit untuk berjualan makanan dan souvenir. Yang mereka jual rujak cingur, pecel dan kolak. Air tawarnya di kendi sebagai minuman gratis sehabis makan. Para penjual makanan kecil seperti ketela, singkong, pisang rebus dan kacang--- dijajakan keliling.
Para pedagang tahu bahwa pada umumnya para pengunjung hanya membeli bukan untuk dirinya tetapi untuk para monyet. Mengenai souvenir yang dijajakan adalah mainan anak-anak berupa pesawat terbang baling-baling terbuat dari kayu sono atau randu. Laris juga dan dari dulu dikerjakan turun temurun khas Wendit. Rekreasi bagi pengunjung yang tidak suka berenang adalah naik perahu dari pusat danau sampai perairan tanaman kangkung. Tukang perahu menggunakan galah panjang yang ditonjokkan ke dasar danau. Di atas perahu dipasang kerudung kain untuk menghindari panas dan hujan.
Aku setiap ke Wendit pasti lebih suka mandi di danau yang cukup luas itu. Airnya bukan saja sangat bening dan biru namun juga dingin sekali, seperti es Tampak ikan-ikannya yang menggerombol dan seperti sudah biasa dengan para manusia. Selain ikan di dasar danau juga tumbuh ganggang panjang yang bergerak-gerak. Kami menyebutnya "mendong", yang kalau dicabut dan lalu dijemur, nantinya dianyam menjadi tikar. Yang berenang di danau cukup banyak. Di tengah dipasang "pos perhentian", berwujud papan terpaku dan terikat amat kuat tidak lepas-lepas. Ke situlah umumnya para perenang berhenti melepas lelah barang sebentar. Kemudian sehabis itu berenang lagi ke pinggir danau. Ada satu kolam lagi yang bertembok dan harus bayar. Aku hanya beberapa kali mandi di situ, soalnya sempit dan perenangnya terlalu banyak berhimpit-himpit.
Kukira perjalanan menarik lainnya ke Singosari. Ke sananya menggunakan trem dari Alun-alun. Setelah di Blimbing, terus. Kalau belok kanan ke Wendit. (Kini tidak ada lagi tremnya, di Alun-alun dan sepanjang Jl. Kayutangan sudah tertimbun aspal, hanya sebagian relnya yang di Wendit masih lengket di tanah). Sebelum sampai Singosari mampir dulu Watu Gede yang hanya berwujud tempat pemujaan kuno abad ke 12 dan 13, resot tersebut dilengkapi kolam kecil saja sekedarnya. Mungkin dulunya pasti lebih indah. Yang paling menarik kalau berjalan kaki lagi ke arah barat jalan raya dekat pasar Singosari. Di sanalah lokasi candi besar Singosari. Kami naik ke atas untuk melihat yoni yang tidak lagi punya lingga. Beberapa patung antara lain seperti Nandi (sapi suci), Ganesha (gajah) dan termasuk “Prajnaparamita” diangkut ke Negeri Belanda pada zaman VOC dahulu.
Setelah berjalan lagi beberapa langkah ke barat kami sampailah ke patung raksasa separo badan, yang satu di seberang jalan kecil sebelah utara. Satunya lagi sebelah selatan. Patung ukuran bis Kopaja itu membelesak ke tanah saking amat raksasanya. (Kini sudah dikatrol dan tampak kaki-kakinya di atas muka tanah yang disemen rapi). Kalau diteruskan lagi berjalan ke arah dua kilometer ke barat terdapat kolam pemandian Ken Dedes. Untuk berenang lumayan juga. Di dalam air banyak ikannya yang besar-besar. Di belakang pemandian tersebut tumbuh sederetan bambu petung yang langka.


Dengan mandi di kolam itu aku seringkali membayangkan kecantikan Ken Dedes yang di dalam "Pararaton" dipaparkan sebagai wanita dengan paha bercahaya-cahaya. Apa benarkah wujudnya persis sebagaimana yang dipatungkan: "Prajnaparamita" yang notabene figur Ken Dedes sendiri? O betapa jelitanya puteri Singosari yang dulunya isteri Akuwu Tunggul Ametung di Tumapel (sekitar Kuta Bedah?) kemudian dikudeta berdarah oleh Ken Arok. Atas aksinya itu Ken Arok memperoleh Ken Kedes dan mengangkatnya menjadi permaisuri kemudian menurunkan cikal bakal raja-raja Majapahit!
Petualanganku yang mengesan, ke gunung Kawi. Jalan kaki ramai-ramai lewat kampung, ladang jauh dari keramaian. Lebih separo hari melangkah dengan menahan lelah. Karena gurau banyak, tidak rasa. Di Kawi, maksudku bukan puncak gunung, bersuasana ramai sekali. Umumnya kalangan saudagar, cukong-cukong, mereka datang dari tempat-tempat jauh. Di situ ada altar puja, ada hio, pentas wayang kulit malamnya. Nasi selamatan dibagi-bagikan. Ada kertas ramalan segala bagi peziarah bahwa nanti nasibnya tercapai, dapat jodoh atau ada harapan namun masih tunggu beberapa saat (entah cepat atau beberapa belas tahun berselang barulah tercapai). Begitu di antaranya yang yang dibacakan oleh seorang simbah.

IV.
HANYA SEKEJAP DI PGA
Kesulitanku di bidang finansial teratasi setelah aku berhasil mendaftarkan diri dan diterima masuk ke PGA (Pendidikan Guru Agama). Pendidikan ini kutempuh empat tahun setelah tamat dari SD Blakangloji. Di sini selain mendapat pelajaran bahasa Inggris dan Arab juga tentu saja Hadis, Tarikh, Tauhid, Feqih, Tafsir dan lain-lainnya yang berkaitan dengan agama Islam. Kunci paling utama dari pelajaran-pelajaran tersebut adalah penguasaan terhadap bahasa Arab tingkat dasar. Jadinya aku digembleng tiap hari. Caranya dengan memahami sorof yang tidak lain sistem konjugasi kata-kata kerja. Sebenarnya tidak muskil asalkan tahu rumus-rumus dan hukumnya. Setelah dua tiga tahun mengerti jugalah aku. Bisa nulis dan baca. Pokoknya tidak buta huruf.

Sebenarnya menurut guru-guru aku sudah diarahkan untuk menerus ke PHI (Pendidikan Hakim Islam) di Jogjakarta kemudian setelah itu ke Al Azar di Kairo. Namun saat ujian aku membuat kesalahan blunder. Ujian pekerjaan tangan begitu tergesa-gesanya kulaksanakan namun tidak juga selesai-selesainya. Karena mendadak panik aku jadi tidak sabar lagi. Mata ujian tersebut menghasilkan nilai rendah. Aku dinyatakan tidak lulus. Gagallah rencanaku ke PHI, apalagi ke Al-Azar, Kairo. Untungnya waktu itu aku ikut ujian SMP juga. Lulus. Aku segera menerus ke SMA I Negeri Alun-alun Bunder yang tiap bulannya harus membayar uang sekolah. Dulu selama empat tahun di PGA aku memperoleh ID (Ikatan Dinas) sebesar Rp. 140,- setiap bulannya. Waktu itu hem Arrow hanya Rp.12,- Kos sebulan Rp.25,- sampai Rp.50,- Jadinya hidupku cukup mewah. Aku serahkan sebagian besar pendapatanku kepada Bunda. Untuk keperluan pakaian dan perlengkapan sekolah tidak masalah. Sepatu baru, hem dan celana baru, termasuk alat-alat mandi, semuanya lengkap. Setelah tidak ada lagi uang ID tiap bulan, meranalah hidupku selama di SMA. Aku merasakan bagaimana saat bangkrut tidak ada seorang juga yang menolong. Pakaianku lama kelamaan tinggal satu-satunya. Sepatu juga. Aku seperti kembali ke SD Blakangloji. Tiap bulan pikiranku terganggu oleh keraguan, kira-kira bisakah aku bayar sekolah. Aku tidak mampu membeli buku pelajaran. Harusnya pada usia remaja demikian aku mulai tandang ke rumah pacar. Namun aku yang selalu bokek, bagaimana bisa ajak naik ke boncengan. Sepeda saja aku tidak punya. Mau naik becak, wah, kempes kantong. Maka tahu dirilah. Kalau bisa tunda masa remaja dari para pacar. Biarpun ada filem bagus ya biarlah berlalu, aku berpuasa dulu walau tidak sedikit cewek-cewek cantik yang mungkin mau. Konsekuensinya aku putus cinta dari mereka yang kusimpati sebelumnya. Konsentrasiku kemudian lebih baik pada majalah sekolah. Dulunya majalah "DIAN" yang stensilan ini pernah diasuh Idrus Ismail (cerpenis asal Sumbawa yang lembut, alm) yang kemudian kuliah di Gajah Mada dan akhirnya menjadi perwira AURI berpangkat Kolonel. Giliran berikutnya, "DIAN" diasuh Sunaryono Basuki (kini Profesor Bahasa di Singaraja) dan aku sendiri. Sibuk juga namun pelajaran tidak terganggu sedikit pun.


Guru-guruku waktu itu Bapak Hasibuan (direktur yang tiap pagi kontrol bangku dan tangga-tangga sekolah apa masih berdebu atau sudah dibersihkan pakai bulu kucing), Pak Adan mengajar bahasa Perancis dengan suaranya yang serak, Pak Hudan mengajar sastra (pernah jadi Bupati Jombang), Pak Darwis mengajar Arab Melayu (sering aku yang disuruh menulis di papan) kemudian Pak Blasius yang gendut berkacamata pengajar bahasa Kawi. Saat mau mengajar di depan kelas selalu lebih dulu makan roti lapis bawaan dari rumah. Enak saja dia makan tanpa malu-malu. Lalu di depan murid-murid perempuan yang cantik dia pura-pura mau merangkul. Kami yang murid laki-laki lalu tertawa gembira. Guru wanitanya yang baru lulus kemudian mengajar kami adalah Bu Titien dari Bandung dan Bu Marni dari Jogja. Yang mengajar sejarah Bu Hanum, orangnya kecil dan cantik. Guru lainnya setelah aku ikut pindah rombongan siswa dari SMA I ke SMA IV di Kota Lama, Pak Gun, Kepala Sekolah. Kendaraan yang dipakainya sepeda biasa yang pada zaman itu lagi ngetren dipasangi mesin bagi yang punya duit lebih. Larinya kencang, suaranya seperti rentetan plembungan diletakkan di antara ban dan slebor. Cukup bising. Pak Gun tanpa mengayuh kecuali kalau mesin mogok. Pak Gun agaknya juga nyentrik dalam berbusana. Mungkin di rumah isterinya tidak berani memberitahu. Sering celana dalam yang dipakai celana panjang biasa. Barangkali udara dingin mempearuhi Pak Gun bercelana rangkap-rangkap begitu. Suatu hari "balapan", celana panjang di dalam justru menyembul jelas. Toh Pak Gun cuek ke podium di halaman sekolah sebagai inspektur upacara berpidato panjang di depan barisan kami murid-muridnya.

V. DENGAN SENIMAN-SENIMAN
Malam-malam aku sering bertemu seniman-seniman lokal zaman itu, di antaranya Emilia Sanossa yang karya-karyanya sering ditayangkan di TVRI. Dia penulisnya sekaligus pemain. Ada lagi Ramayana rambut panjang bak pertapa. Hobi nyanyi seriosa sepenggal-sepenggal. Dia orang teater juga (entah sekarang di mana, tidak kedengaran lagi masih hidup atau sudah dod). Pemain teater lainnya adalah Mamek Haryanto, ganteng dan berkumis tinggal di Kayutangan. Purnawan Tjondronegoro (sudah almarhum, suami Titiek WS) dari Surabaya sering datang ke Malang dan ngobrol dengan kami sampai larut.

Tulisannya yang lancar biasanya tentang perang waktu itu sering nongol bersambung di majalah "Varia", Jakarta. Di dalam ngobrol Purnawan lebih lancer lagi, ramai, nyrempet-nyrempet porno. Yang pernah datang lainnya dari Surabaya adalah Suprijadi Tomodihardjo, pengasuh budaya koran "Trompet Masjarakat" yang isterinya dari kampung Bareng Bandarangin. Dia penyair dan cerpenis (sering dimuat di Kompas akhir-akhir ini). Kini di Koln, Jerman dan masih bermilis-milis denganku via internet. Grupku sendiri adalah Buddhy Setyoadji, cerpenis di koran-koran hari Minggu, Jakarta, dan Teguh Santosa (dulu illustrator majalah “Gelora” kemudian jadi komikus kondang) asal Kasin kemudian pindah Kepanjen serta Bramastho (awalnya tukang bikin vignet lalu jadi pelukis yang kemudian pindah ke Jakarta, sanggarnya pernah terendam banjir Ciliwung di bawah kampung Condet). Ketiga orang tersebut kini sudah pada almarhum.

VI.
PENUTUP
Umumnya Malang yang sejuk hanya habitat awal bagi sebagian besar penghuninya. Setelah tamat atau tidak tamat pendidikan formal hengkang ke kota lain bahkan ke luar negeri. Aku sendiri belakangan meninggalkan Malang karena perlu ngendon dulu berkuliah di Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia di FKIP Universitas Airlangga di Jl. Semarang (gedung baru waktu itu) lalu pindah ke Jl. Tumapel yang dulunya bekas “Hotel Splendid”. Di bawahnya persis jembatan sungai Brantas. Di FKIP itu aku dikuliahi Pak Suwoyo Wojowasito si ahli kamus yang suka memontiri mobilnya sendiri. Dia seorang linguist. Lalu Pak Suwito Santoso, ahli bahasa Jawa Kuno atau Kawi yang kemudian hijrah mengajar di Australia bersama isterinya yang juga dosenku bidang filologi. Lalu Pak Umar Junus, teoritikus linguistik yang menguliahi pakai rumus-rumus Aljabar. Kemudian Pak Dawam, dosen Islamologi dari Mesir. Aku diajar juga oleh Bu Hartini Suwondo, ahli Sanskrit. Sempat juga aku bertemu dengan Pak Purbotjaroko, itu professor yang tersohor keahliannya di bidang prasasti-prasasti kuno. Waktu itu beliau tunuk-tunuk datang dengan bercaping bambu.

Ya, pelajaran-pelajaran telah kulahap dan toh begitu lulus aku segera mendaftar masuk Angkatan Laut yang waktu itu zamannya Bung Karno sedang menghadapi konfrontasi. Aku bertugas di pulau-pulau, di hutan karet sunyi berbulan-bulan, sangat jauh menyimpang dari ilmu-ilmu budaya yang pernah kudapat. Aku merantau juga ke negeri-negeri jauh. Aku kemudian kawin dan menetap di Jakarta, negeri yang selalu bergelimang dengan hiruk pikuk dan “gua-gua” dan “elu-elu”. Toh kota tercinta Malang sulit kulupakan. Orang pasti selalu terkesan soto, rawon dan rujak cingur yang sedap tak ada taranya, pada pasar besar yang teratur rapi sejak sebelum Perang Dunia II, ke pasar Krempyeng tempat transaksi barang-barang rombengan, pada gunung Kawi tempat yang percaya "ambil berkah" (aku dan kawan-kawan berjalan kaki ke sana sekedar ingin tahu dan main saja lho). Juga pada gedung SD Blakangloji yang telah dilego oknum pejabat tinggi pemerintah kota (alumnusnya di antara kawan-kawanku ada yang jadi dokter anak, ahli ilmu jiwa, profesor sastra universitas terkenal, laksamana dan aku sendiri seselesai kerja di AL lalu pindah di pemerintahan dan puas berkeliling separo bumi lalu meneruskan karir sebagai penulis), pada gedung SMA Negeri Alun-alun Bunder yang menghadap tugu kotapraja Malang, pada SMA IV Kota Lama, pada Jl. Kayutangan yang membentang, pada jembatan "Splendid" yang di bawahnya mengalir sungai Brantas tempat biasanya aku mandi-mandi bersama kawan-kawan sekampung, pada Alun-alun wahana kami main bola, pada mesjid jamik dengan dua menaranya tempat burung sriti bersarang dan aku pernah memanjatnya sehabis solat Isya, pada Wendit dengan monyet-monyetnya, pada kota Batu dengan pemandian "Selecta" dan kebun apelnya, pada stadion waktu masih dipagari pohon-pohon lamtoro tempat kami menerobos tanpa karcis jauh sebelum ditembok tinggi dan pada lain-lainnya yang amat banyak tidak terhitung. Pokoknya seniman-seniman dan para ahli di Malang-lah dicetak. Juga tidak disangsikan Malang sebagai kota wisata, kota sejarah (tempat raja Gajayana, Empu Sendok, Airlangga, Ken Arok, Kartanegara dan Wijaya raja pertama Majapahit), lengkap pula petilasan-petilasan candi, patung dan bukti-bukti sejarah lainnya yang terserak-serak.

Jakarta 4 November 2005.

(Tulisan ini dibuat untuk menyambut usia 50 tahun Eka Budianta penulis asal Malang juga dan telah dipublikasikan di dalam buku "MEKAR DI BUMI", penerbit Pustaka Alvabet, Februari 2006).

Karya-karya Rahmat Ali
I. Yang berbentuk novel:
1. Sang Gubernur Jendral (Gramedia, 1976), 2. Fatahillah
Pahlawan Kota Jakarta (Cypress Jakarta, 1982, diteruskan Balai
Pustaka, 1997). 3. Para Pengawal Sultan Babullah (Jantera Bakti,
1983), 4. Ratu Kalinyamat (Cypress Jakarta 1985), 5. Novi (Balai
Pustaka, 1986), 6. Baron Sakender (Mitra Gama Widya, 1998), 7.
Nyai Dasima (Grasindo, 2000), 8. Negeri Surilang (Grasindo, 2002),
9. Narapidana Luar Galaksi (Grasindo, 2002) dan 10. Pacar
Cantik Di Kapalselamku (Majas Jakarta, 2004).
II. Yang berbentuk cerita bersambung:
11. Naga Taksaka (Sinar Harapan, 1964). 12. Kapiten Jonker
(Ditektip & Romantika, 1979). 13. Pelarian Onrust (Republika, sejak
Mei 1997).14. Pate Rodin (Republika, sejak Mei 1998), 15. Monster,
Monster (Republika, 1999), 16. Angkasa Renggi (Suara Pembaruan,
2000), 17. Gipsi Laut (Sinar Harapan, sejak Mei-Agustus 2005)
III. Yang berbentuk cerita rakyat:
18. Cerita Rakyat Betawi I (Grasindo 1993)
19. Cerita Rakyat Betawi II (Grasindo 1993)
IV. Yang berbentuk kumpulan cerpen/puisi:
20. Bi Gayah sambalnya mmmm….m (Majas Jakarta, 2004)
V. Yang berbentuk antologi cerpen dengan pengarang lain:
21. Dari Jodoh sampai Supiyah (Djambatan, 1976)
22. Guru Pahlawan Tanpa Tanda Jasa (Aries Lima, 1983)
23. Lukisan Sekuntum Mawar (Rosda Bandung 1985),
24. Cerita Pendek Indonesia III (Gramedia, 1986)
25. Een Parel in het rijstveld (Novib Den Haag, 1986),
26. Cerpen Nusantara Mutakhir (Dewan Bahasa dan Pustaka,
Kuala Lumpur 1991)
27. Kalung dari Gunung (Besari, 2004)
28. Aisyah dari balik tirai jendela, Besari, 2006)
VI. Yang berbentuk antologi puisi dengan penyair lain:
28. Jakarta Dalam Puisi Mutakhir (Dinas Kebudayaan
Propinsi DKI Jakarta, 2000)
29. Maha Duka Aceh (Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin, 2005).

P A G U T cerpen Rahmat Ali

Majalah Sastra Horison, No 5 Mei 1981, Thn. XVI


P A G U T
cerpen
Rahmat Ali

Krokeh, suatu desa di Madiun. tahun 1939.
Sejak kecil aku sudah terbiasa tidur di lantai tanah. Hanya beralas selembar ti­kar tua. Begitu keadaanku. Karena orang tua miskin. Amben bambu hanya untuk bapak dan emakku. Mereka yang mem­beriku hidup. Bapak kerja: Emak mene­rima gaji dan mengolah makanan untuk kami bertiga. Jadi sesuailah kalau aku mendapat bagian hanya tidur di lantai tanah. Alhamdulillah pulas juga. Aku se­hari penuh sudah ikut bantu-bantu. Pagi-pagi nimba. Begitu dalammya sumur. Ber­puluh-puluh kali ember kunaikkan. Ku­isikan pada kulah. Padahal ukurannya cukup besar. Kalau aku berendam bisa termuat semua seluruh tubuhku. Ini selalu kulakukan kalau bapak menyuruhku menguras. Membersihkan lumut-lumutnya tiap dua minggu sekali. Bapak memang tidak suka kotor. Sedilkit saja butek aku langsung diperintahkan untuk mengganti dengan air baru. Ikan-ikan emas kutangkapi lebih dulu. Kucarikan gentong penam­pungan sementara. Begitu air kulah sudah baru maka ikan-ikan emas itu kucemplungkan kembali.
Bapak dan emak tentunya senang, Me­reka mandi. Sorenya sabelum matahari terbenam aku menimba lagi. Walaupun begitu emak masih memberengut juga. Menyalakan ublik dan lampu teplok de­ngan memberengut. Membagi nasi juga membrengut. Kalau aku dewasa pasti aku bertanya, kenapa selalu bermasam cuka, aku salah apa, minta di tunjunkan biar aku bisa memperbaikinya. Nyatanya aku baru tiga belas, masih anak anak. Belum, punya penghasilan. Hidup masih menggandol orangtua. Maka aku harus menurut. Menguras tenaga. habis­-habisan. Siang sehabis sekolah, katau ada orang mambutuhkan, aku dengan senang menggembalakan kerbau-kerbaunya. Sore pulang mengisi kulah lagi untuk mandi bapak dan emak. Jadi aku tidak protes apa-apa. Pakoknya ransum tetap untukku. Sepiring nasi tidak penuh. Disiram bobor. Atau lodeh. Atau tempe baceman segum­pil. Minum air kendi. Minuman ini bisa kuteguk kenyang-kenyang
Pikilranku menerawang. Ke langit-langit yang terbuka. Jenis binatang itu betapa cepat menciptakan jala-jalanya. Terbuat hanya dari liurnya. Nyamuk-nyamuk yang kesasar tidak bisa berontak lagi. Jadi santapan. Apakah aku termasuk juga si lemah yang pada suatu saat kesasar di jarang laba-laba pencengkeram itu?
Kiranya aku tak penlu berpikir terlalu jauh. Lebih baik tak perduli. Aku masih mempunyai dunia tersendiri. Dengan kawam-kawan penggembala. Atau kesibukan di sekolah. Nulis. Baca. Atau kasti melawan sekolahan lain. Di situ aku ber­kesempatan melampiaskan gejolak-gejolakku. Lari kencang-kencang. Teriak. Melem­par bola ke arah lawan. Atau aku yang kena bola sampai membekas. Kebiru-­biruan dan aku nyengir. Saat lainnya ke­tika memandikan kerbau-kenbau di sungai. Malamnya aku cepat ambruk. Paginya ge­ragapan. Sudah siang lagi. Nimba lagi. Sekolah tanpa sarapan. Kawan-kawan ber­sepatu. Kakiku sendiri cakar ayam. Baju yang itu-itu juga tanpa sangu. Kawan-­kawan lain banyak yang bersepeda. Aku terus jalan. Kalau merasa hampir terlambat aku terus berlari. Ya berlari. Berapa kali sehari? Terus lari. Terus. Jasmaniku tertempa. Mentalku terasah tidak terasa.
Jauh lebih nikmat tidur dengan kemit-­kemit desa. Mereka bertugas meronda. Posnya di gardu. Selain meronda rumah-­rumah, mereka juga memeriksa saluran air di sawah. Soalnya banyak tangan usil yang suka menjebol atau membuntu aliran air. Ini bisa menimbulkan pertengkaran. Dengan perondaan maka tata tertib air lebih terjamin. Tepat jam duabelas ken­tongan dipukul. Kemudian tidur. Tidak jarang kemit-kemit didamprat lurah gara-­gara mereka lebih banyak ngorak dari pada jaga. Tahu-tahu padi selumbung su­dah ludes dibongkar maling. Kalau begitu tidak aman tidur bersama-sama para ke­mit di gardu. Bisa-bisa gerombolan kecu nekad menyerang gardu. Setelah kemit­-kemit diamankan secara kejam mereka bongkar lumbung atau menyikat lainnya yang lebih berharga. Maka lebih baik aku di rumah saja.
Alangkah tenteramnya tidur bapak dan emak. Di atas dipan berkasur. Hangat. Beda sekali dengan diriku. Kedinginan. Terutama waktu desa dilanda hujan mu­sim rendeng. Serangga-serangga muncul dari liang. Mereka berkunjung ke tikarku. Hingga tidak heran kalau aku sampai di sengat kelabang yang berkaki seribu. Juga kalajengking. Aku memang tidak bisa menghindar.
Pernah juga aku mengikuti kawan­-kawan keluar rumah waktu malam. Keti­ka itu musim tebu ditebang. Pabrik gula Rojoagung sibuk. Sejak pagi lori-lori ber­gantian, meluncur dari hanggarnya, pasti lewat desa kami. Pemandangan paling in­dah adalah malamnya. Api kecil memer­cik-mercik lewat cerabongnya. Ke langit hitam tanpa bulan: Genbang-gerbong pe­nuh lonjongan tebu berderak.. Sambungan besi dengan besi lainnya menciptakan bu­nyi yang berdernyit-dernyit. Mengundang hampir sebagian warga Krokeh tumplek. Tegak di sepan:jang rel. Peluit ditarik kuat-­kuat oleh masinis. Justru orang-orang se­perti tak mau minggiir. Mana anak-anak nya­lang. Orang-arang dewasa lebih nyalang. Kakek-kakek tidak mau ketinggalan pula. Semua bernafsu untuk mendapatkan tebu.
Waker-waker memukul-mukulkan tong­kat ke arah mereka yang mulai meman­jat. Dicegah yang depan yang belakang mengganggu. Begitu bolak-balik. Beberapa sudah di atas gerbong. Melemparkan bun­del-bundel lonjoran tebu ke bawak Pen­cabut-pancabut dari samping demikian gesitnya bertindak. Iringan gerbong lori yang ditarik lokomatip kecil itu seperti seekor naga yang lelah. Seluruh tubuhnya luka. Begitu habis tikungan dia tampak kelelahan menuju Rojoagung. Peluitnya rintihan kesakitannya. Aku dan kawan-kawan, juga kebanyakan penghuni Krokeh, gembira sekali. Terlampiaskanlah sudah. Berapa lonjor yang sudah kucabut dari gerbong? Pada saat demi!kian kesempatan bagiku untuk berteriak sekeras-kerasnya. Tertawa yang selepas-lepasnya. Kukupas kulit tebu. Kureguk airnya. Hausku ter­obati. Kekangan hidupku mendapatkan kemerdekaan, biarpun masih samentara.
Pada suatu malam berikutnya adalah saat yang tidak bisa kulupakan. Suparlan, Kusni. Jaw,ar, Jiyo dan Lamidi mengajak­ku ke sawah mencari kodok hijau. Empat orang di antara kami, termasuk aku, ber­tugas membawa obor dari tangkai papaya. Terang sekali. Aku berjalan di barisan belakang. Setiba di tikungan pematang aku merasakan sesuatu mencatek kakiku. Mula-mula tidak begitu kuperhatkan. Lama-lama berpengaruh juga. Langkah berat. Pusing. Badan lunglai dingin-dingin. Kawan-kawan kuberitahu. Kuanjurkan ke­pada mereka untuk balik. Mereka menu­rut. Aku dituntun ke rumah Kusni yang paling dekat. Dari jauh dia sudah panggil panggil.
"Mak, mak," katanya keras.
Seorang perempuan separo baya muncul dari pintu belakang.
"Apa, Kus?”
"Lihat Wadji, mak, Tiba-tiba lemas."
Mak Pin mnyingsingkan lengan, baju­nya. Memperhatikan diriku dengan lebih teliti.kakiku diraba-rabanya.
"Ini yang sakit?" tanyanya diarahkan padaku.
"Ya, Mak,” jawabku.
"Benar memang," kata Mak Pin lagi.
"Terasa panas. Bengkak. Dipagut ular."
Aku membelalak besar.
"Ular apa kira-kira, Mak Pin?" tanya Lamidi.
"Tungkin weling," jawabnya. "Coba ambilkan akik emak di kamar, Kus. Tenang saja, Wadji. Jangan gelisah."
Suasana Mak Pin demikian kalem. Tetapi mataku makin membelalak. Perasaanku takut sekali. Weling sangat berbisa. Ham­pir semua orang tahu. Begini rasanya bisa weling menyerangku. Seperti tubuh ular itu menyusup ke dalam diriku melalui lu­bang luka. Terus ke betis. Dengkul. Paha. Selangkangan. Pinggul. Membeli-belit isi perut. Berarti sebentar kemudian sampai dada. Dia bakal membawa mulut lebar-­lebar. Lalu jantungku gilirannya dihancur­kan!
Kepanikanku sudah di puncak. Umur muda. Baru tigabelas. Begitu pendek hidup. Padahal aku ingin lebih. Bepergian jauh. Bagaimana emak? Apa sudah ada yang memberitahu bapak di pabrik, ka­rena sedang tugas ronda? Memang me­reka bukan oarngtua kandungku. Aku di pungut ketika masih usia enam bulan. Gara-gara orangtua kandungku tengkar lalu bercerai. Ternyata bapak kandungku menghambur ke perempuan lain. Emakku merana. Jualan pecel dan kuwe-kuwe. Lalu datanglah bapak dan emak angkat­ku. Aku dihidupi mereka sampai besar. Bapakku ini sebagai mandor. Kerjanya tiap hari di pabrik gula Rojoagung. Ka­dang-kadang ikut lori mengambil tebu yang baru ditebang. Dasar aku yang tidak tahu diri. Aku pula yang menyanggongnya bersama kawan-kawan waktu lewat tikung­an desa. Tetapi bapak begitu baiknya pa­daku. Aku bersyukur dia menganggapku sebagai anak kandungnya sendiri. Aku disekolahkan. Keperluanku selalu dipenuhi. Dengan segala usahanya yang keras. Aku tahu bapak dulu penjudi. Tidak menghe­rankan. Karena rata-rata karyawan pabrik adalah penjudi. Sepeqti dianjurkan oleh pimpinan pabrik. Mungkin pimpinannya yang Belanda itu senang sekali kalau para karyawannya terjerumas dalam perjudian. Mereka jadi melarat. Banyak hulang. Ka­lau sudah begitu enaklah si Belanda. Orang-orang itu, bapakku juga bisa diperas tenaganya dengan upah sedikit.
Alhamdulillah bapak berhenti judi se­jak memungutku sebagai anak. Aku ada­lah harapannya. Aku masa depan bapak. Maka aku bisa masuk sekolah. Tetapi, biarpun sudah henti judi, sisa hutang ba­pak masih menumpuk. Ini sangat mengganggu pembayaran uang sekolahku. Ka­rena waktu itu aku masuk sekolah swasta, Aku tidak boleh nunggak lama-lama. Be­gitu tidak menguntungkan. Aku harus ke luar. Berapa kali sudah aku dikeluarkan. Pernah sampai setahun aku nganggur. Ha­nya mengisi kulah tiap pagi dan sore. Atau menggembala kerbau kalau ada orang yang suruh. Selebihnya nganggur. Kasihan bapak. Aku minta agar aku ker­ja saja jadi kuli di pabrik. Ayah marah. Bagaimanapun aku harus sabar beberapa saat. Aku menunggu. Dan betullah. Aku rnendapat kesempatan bersekolah lagi.
Yang tidak bisa berhenti dari judi ada­lah emak. Entah mengapa? Mungkin sudah mendarah daging. Membudaya. Emak sering kalah. Kalau sudah begitu emak sering marah-marah. Kepada siapa saja. Juga kepadaku. Soal kecil saja bisa mem­bikin mulutnya teriak-teriak. Semoga saja aku masih bisa tahan.
Rasa sakit semakin nyeri. Panas me­lonjak-lonjak. Kurasakan panasnya mendekati dada. Pada saat itulah Kusni da­tang. Dari kamar Mak Pin. Membawa cincin. Cincin itu bermata akik warna putih keabu-abuan. 0leh Mak Pin cincin itu diterima dengan gembira. Lalu mata akiknya ditempelkan pada luka bekas gigitan. Sesuatu yang lain dari yang lain kurasakan setelah itu. Tubuh ular seperti ditarik dari perutku sebelah atas. Lalu turun dan turun. Mulai dari perut ke ping­gul. Selangkangan. Paha. Dengkul. Betis. Dan seterusnya. Itulah bisanya yang tersedot keluar kembali dengan lancar berbentuk busa. Terkumpul di mulut luka. Di ujung mata akik terkumpul pula bisa­nya. Berbentuk buih-buih putih. Aku ti­dak pusing-pusing lagi. Semua yang menyaksikan pada terkesimak. Plong.
Jkt, 17 Desember 1980.


SLANGEBIT
Rahmat Ali


Krokeh, een dorp bij Madioen, 1939
Van jings af heb ik altijd gewoon op de grong geslapen. Op niet meer dan een dun versleten slaapmatje tussen mij en de aarde. Zo is mijn leven. Want mijn ouders zijn arm. Er is alleen een hamboebed voor mijn vader en moeder. Zij zorgen boor mij. Vader werkt. Moeder krijgt het geld en maakt het eten voor ons drieen. Tercht dus dat ik op de aarden grond moet slapen. Alhamdulillah, ik slaap nog lekker ook. Ik help al de hele dag mee in huls. ‘s Morgens vroeg eerst water putten. Diep dat die put is! Tientallen emmers hijs ik op! Die giet ik leeg in de waterbak. En die waterbak mag er wezen! Ik kan er met mijn hele lichaam onder water in staan. Dat doe ik altijd als ik van mijn vader het water moet verversen. Een keer in de twee weken moet ik die bak schoon boenen en de aanslag ban de randen afhalen. Vader houdt er niet van dat de mandibak vuil is. Als het water maar een beetje troebel ziiet, moet ik het van vader al verversen. Eerst vang ik de goudvissen. Die stop ik zolang in een pot. Zodra er weer shoon water in de waterbak zit, laat ik de goudvissen terugplonzen.
Vader en moeder vinden het fijn met fris water te mandien. In de namiddag voor zonsondergang ga ik weer waterputten. Ook al doe ik dat, moeder kijkt altijd even stuurs. Met een stuurs gezicht steekt ze de olielampjes aan. Met een stuurs gezieht geeft ze ons onze portle rijst. Als ik later groot ben, vraag ik haar vast waarom ze toch altijd zo zuur is azijn, wat ik toch verkeerd doe en of ze het me uit wil leggen. Dan kan ik het beter proberen te doen. Maar ik ben pas dertien en nog klein. Ik verdien nog niets. Ik ben nog helemaat van mijn ouders afhankelijk. Dus moet ik wel doen wat zij zeggen. Ik doe heet erg mijn best voor hen. ‘s Middags na schooltijd hoed hoed ik met alle plezier jarbouwen, als niemand dat wil. Bij thuiskomst vul ik dan de waterbak, zodat vader en moeder kunnen baden. Ik protesteer met geen woord. Als ik maar mijn vaste rantsoen krijg. Een bord rijst helemaal tot de rand gevuld, met soep of sajoer lodeh, een stukje gebakken tempe en water uit de waterkruik. Water mag ik drinken zoveel ik wil.
Mijn gedachten gaan aan de haal als ik een open spinneweb zie. Wat hebben die dieren zo’n net snel geweven. Met niets meer dan hun speeksel. De muggen die daarin terechtkomenkunnen geen kant meer uit. Ze worden allen nog maar uitgezogen. Hoor ik ook bij de zwakken die op een bepaald moment in het web en de dodelijke greep van zo’n spin belanden?
Zover moet ik maar niet denken. Beter daar maar niet op door te gaan. Ik heb nog zo mijn eigen wereldje. Op het vee passen met mijn vriendjes. School, Schrijven, lezen. Of kastie spelen tegen een andere school. Daar kan ik me helemaal in uitleven. Heel hard rennen. Schreeywen, De bal heel ver weg slaan. Of zelf door de bal getroffen worden zodat ik onder de blauwe plekken kom te zitten. Maar dan kan me niet schelen. Een andere keer karbouwen baden in de rivier. ‘s Avonds val ik als een blok in slaap. ‘s Morgens ben ik dolblij dan het weer dag is. Water putten. Zonder ontbijt naar school. Bijna al mijn vriendjes hebben schoenen. Ik moet op blote voeten. Mijn bloes is ook maar zo zo. Zakgeld voor onderweg is er ook niet bij. Een heleboel van mijn vriendjes gaan op de fiets. Ik moet altijd lopen. Als ik bang ben dat ik te laat kom ren ik. Ja, rennen. Hoeveel keer per dag wel niet? Rennen. Altijd maar rennen. Het staalt mijn lichaam. En onegemerkt wordt ook mijn geest gescherp.
Het allerleukste is het om bij de nachtwakers te slapen. Ze hebben een speciaal wachthuisje. Ze bewaken niet allen de huizen in het dorp, maar ook controleren ze de irrigatlekanaaltjes in de rijstvelden. Die worden namlijk door frijpgrave vingers nogal eens verstop of doorgestoken. Daar kunnen degrootste ruzies van komen. Door deze nachtclijke controle is er meer gatantie voor een eerlijke verdeling van het water. Precies om twallf uur ‘s nachts slaan ze op de tongtong. Daarna gaan ze slapen. Vaak krijgen ze van de loerah op hun kop omdat ze meer slapen dan waken. Zonder dat ze er iets van gemerkt heben, is de hele rijstschuur een keer leeggestolen. Dan is slapen bij de nachtwakers in het wachthuisje niet zo veilig. Het gebeurt ook wel dan een wachtpost door een bende wordt overvallen. Nadat ze de nachtwakers van kant hebben gemaakt, roven ze de hele dorpsschuur leeg of pikkenb andere waardevolle dinden. Dan kan ik maar beter gewoon thuis siapen.
Wat slapen vader en moeder toch lekker. Op hun ben en hunmatras. En nog lekker warm ook. En heel verschil met mij. Ik heb het vaak koud. Vooral in de regentijd. Allerlei insekten komen uit hun hol te voorschijn en brengen mijn tikar een bezoek. Geen wonder dat ik wel eens door een duizendpoot of een schorpioen words gebeten. Daat kan ik echt niets aan doen.
Ik ben ook wel eens ‘s nachts met vriendjes stiekem het huis uit geslopen. In de tijd van de suikerrietoogst. Het is dan bij de suikerlabriek Rodjoeagoeng altijd heel druk. Van de vroege morgen tot de late avond glijden de lorries af en aan uit de loods en komen langs ons dorps. Een schitterend gezieht, vooral ‘s avonds. Een klein vuur flakkert in de pijp omhoog naar de donkere hemel zonder maan. Knerpend rijden de wagons beladen met rietstengels voorbij. He schuren ban ijzer op ijzer geeft een zeer doordringend geluid en roept een deel ban de inwoners van Krokeh bijeen. Daar staan ze langs de rails. En de machinist maat fluiten. Net of de mensen geen stap opzij willen. De kinderen kijken met grote ogen en de groete mensen zetten nog grotere ogen op, tot zelfs oudjes. Allemaal zijn ze tuk op suikerriet.
De bewakers slaan met stokken iedereen terug die naar boven probeert te klimmen. Als ze de voorste mensen weggejaagd hebben, moeten ze achteraan opnieuw beginnen. En omgekeerd. En paar zitten er al boven op een lorrie en gooeien hele bossen suikerriet naar beneden. Ook van opzij plukken de mensen er razendsnel bossen tussenuit. Die lange rij lorriers voortgetrokken door een kleine locomotief is net een overver moide slang. Met wonden over haar hele lijf. Na de bocht gaat het bergafwaarts richting Rodjoagoeng. De stoomfluit kreunt van pijn. Mijn vriendjes en ik en mer ons heel wat inwoners va Krokeh zijn helemaal door het dolle heen. Hoeveel bossen suikerriet hebben we niet te pakken gekregen! Op zo’n moment gil ik het uit van plezier en gleren we van de lach. Ik schil een rietstengel en zuig het sap eruit. Een uitstekend middel tegen de dorst. Mijn leven krijgt de vrije teugel, al is het maar even.
Een van de volgende avonden geberurt er iers dat ik nooit van mijn leven zal vergeten. Ik was met een stel vriendjes, Soeparlan, Koesni, Djawar, Djijo en Lamidi de sawa’s ingegaan om groene kikkers te vange. We hadden vier fakkels bij ons van papajataken. Ik had er ook een. Dan geert veel licht. Ik liep aehteraan. In bocht van een sadijkeje voelde ik opeens iets in mijn been bijten. Eerst lette ik er niet op. Maar na een tijdje kreeg ik er last van. Het lopen viel me opeens heel zwaaar. Ik kreeg hoofdpijn en had het opeens koud. Ik vertelde het aan mijn vriendjes en ik vroeg of ze wilden teruggaan. Dan deden ze. Ze brachten me naar het huis van Koesni, want dat was het dichtste bij. Van verre riecp hij al: ‘Mam...Mam...’
Een al wat oudere vrouw kwam de achterdeur uit.
‘Wat is er, Koes?’
‘Kijk eens naar Wadji, mam. Hij voelt zich niet lekker.’
‘Kijk ecns naar Wadji, mam. Hij voelt zich niet lekker.’
Boe Pin rolde de mouwen van haat kabaja wat op. Ze keek me onderzoekend aan. Haar handen berastten mijn been.
‘Doet het hier pijn?’ vroeg me toen.
‘Ja, Boe Pin.’ Zei ik.
‘Dat klopt,’ zei ze weer. ‘ Het voelt warm aan en het is helemaal opgezet. Je bent door een slang gebeten.’
Mijn ogen werden groot van schrik.
‘Wat voor slang, Boe Pin?’ vroeg Lamidi.
‘Vast een vergiftige, een witbuikslang, denk ik,’ zei ze, ‘Haal de agaat eens uit de kamer, Koes, Kalm maat, Wadji, Niet bang zijn.’
De stem van Boe Pin klonk behecrst. Maar mijn ogen werden steeds groter. Ik was doodsbcnauwd. Een witbuikslang is erg vergiftig. Dat weet bijna iedereen. Dat die slang mij zo maar kon bijten! Ik had het gevoel alsof die slang met zijn helelijf bij mij naar binnen was geglipt. Door dat open wondje. En vandaar naar mijn kuit, mijn knie, mijn dij, mijn lies en mijn zij. Nu kronkelde hij door mijn buik. Nog even en hij was bij mijn borst. Dan zou hij zijn bek wijd opensperren en mijn hart verslinden.
Ik was helemaat in paniek. Ik was nog zo jong. Pas dertien. Zou ik maar kort te leven hebben? En dat terwijl ik juist heel lang wilde leven, verre reizen wilde maken. Wist moeder het al? En had iemand vader die nachtdienst had op de fabrick al gewaarschuwd? Ze waren niet mijn echte vader en moeder. Want toen ik een baby van zch maanden was, hadden ze mij geadopteerd. Mijn echte ouders hadden namalijk altij herrie en waren uit elkaar gegaan. Het schijnt dat mijn echte vader altijd andere vrouwen had. Mijn echte moeder kon daar niet meer tegen en kwijnde weg. Ze verdiende allen wat geld met de verkoop ban koekjes en petjel. Toen kwamen mijn pleegouders en die hebben me grootgebracht. Mijn tweede vader is opzichter. Hij gant elke dag naar de suitkerfabriek van Rodjoagoeng. Soms gaat hij met de lorries mee om het pas geblukte suikerriet op te halen. Wat gedraag ik me eigenlijk toch afschuwelijk. Want samen met mijn vriendjes probeer ik dat suikerriet crat te halen wanneer de lorries door de bocht bij het dorp gaan En mijn vader is altijd zo goed voor me gewecst. Ik ben blij dat hij mij als heeft aangenomen. Hij heeft me op school gedaan en hij geeft me alles wat ik nodig heb, hoe hard hij daarvoor ook moet plosteren. Ik weet dat vader vroeger van gokken hield. Dat is geen wonder. De meeste arbeiders in de fabriek gokken graag. En het is net alsof de directie hen daarin aanmoedigt. Misschien vinden die Hollandse directeuren het wel prachtig als hun werknemers aan het gokken slaan. Het maakt hen straatarm. Ze krijgen schulden. En dan hebben die Hollanders een makkie aan hen. Want voor een schijntje kunnen ze die mensen, onder wie mijn vader, dan afbeulen.
Alhamdulillah’, vader is met gokken gestopt toen hij mij als kind had aanggenomen. Ik ben zijn enige hoop. Ik ben vaders toekomst. Daarom mocht ik ook naar school. Maar al gokt hij nier meer, hij heeft nog wel een hoop schulden. Daardoor kan mijn schoolgeld vaak nier op tijd worden betaald. En omdat ik op een particuliere shool zit, kan ik geen uitstel van betaling krijgen. Zodra er niet meer aan mih te verdienen valt, moet ik van schoool af. Zo ben ik heel vaak van school gestuurd. Een keer duurde het wel een jaar voordat ik weer naar school kon. Ik had niets anders te doen dan ‘s morgens en ‘s avonds de mandibakken vulten. Of karbouwen hoeden als iemand dat vroeg. Arme vader. Ik vroeg hem of ik maar nier als koeli op de fabriek zou gaan werken. Maar toen werd vader boos. Ik moest hoe dan ook geduld hebben. Ik wachtte. En inderdaad. Ik kon weer naar school.
Moeder kan jammer genoeg niet mer gokken stoppen. Waarom, weet ik niet. Het zit haar schijnlijk in het bloed. Het is zo’n gewoonte dat ze er niet meer afkomt. Ze verliest vaak. Dan is ze niet te genieten. Tegen. Tegen iedereen vaart ze uit. Ook tegen mij. Om de kleinste kleinigheden zet een grote mond op. Als ik het maar bij haar kan uithouden.
Ik voel me steeds zieker en ellendiger woeden. Het branderige gevoel komt hoger en hoger. Ik voel het al bij mijn borst. Dan komt Koesni binnen met de ring uit de kamer van Boe Pin. Een ring met een wit-grijze agaat. Boe Pin pakt de ring opgelucht aan. Dan legt ze de agaat op de plek waar ik gebeten ben. Daarna krijg ik een heel gek gevoel. Net of dat slangelijf uit mijn bevenbuik wordt weggetrokken. Steeds verde naar beneden. Van mijn maag naar mijn heup, naar mijn lies, mijn dij, mijn knie en zo door. Dat is het gif dat wordt weggezogen. Het komt weer naar buiten. Razend snel! En het schuimt. Het blijft op de plek van de wond zitten, Ook aan de agaat zit gif. Het ziet eruits als wit schuim. Mijn hoofdpijn is opens over. Iedereen die het heeft megemakt, staat versteld. He! He! Een pak van mijn hart. ***