Tuesday, November 14, 2006

Sastra Sejarah Lebih Indah

SASTRA SEJARAH LEBIH INDAH

PENAMPILANNYA sederhana dan terkesan tidak memedulikan fesyen. Namun, ia cukup terlihat trendi. Sebab di usianya yang sudah senja, 67 tahun, ia masih gemar memakai topi dan sepatu sport. Ia Rahmat Ali penulis yang pada juni lalu baru saja menerbitkan novel terbarunya, Gipsi Laut. Ia berpendapat usia tua bukanlah halangan untuk berkreasi. Malah lelaki yang telah mempunyai lima cucu itu tetap optimistis karyanya akan mampu bersaing di pasaran dengan karya-karya dari para penulis muda. Terbukti, dalam novel terbarunva, Rahmat cukup terampil mengangkat tema yang jarang dibidik para penulis lain, yaitu kehidupan di seputar laut. Tengoklah petikan dari bagian kedua dalam novelnya itu. “Maafkan aku, Long, bukannva aku bermaksud merendahkan martabatmu. Coba aku dulu menitis pada kalangan yang sekolahan, katakan pedagang atau pegawai negeri, mungkin lain. Ini aku di kalangan puak Orang Laut. Tiap hari di biduk bercadik. Miskin dan terbelakang tak tersentuh pendidikan. Jika dibanding dengan perompak-perompak laut yang bersenjata tajam dan bersenapan, berpestol pula, tentunya kami puak Orang Laut rentan diserang dan dimusnahkan tanpa perIindungan. Tapi para datuk yang baik lantaran sesajen kami, selalu jadi pelindung utama sehari-hari." Dalam kisah tersebut, meskipun tampak sederhana, terlihat bagaimana Rahmat menguasai tradisi yang berdiri tegak di tengah kehidupan orang-orang laut. Dengan kekuatan yang sederhana, sesajen, bagaimana orang-orang laut digambarkan mampu membangun komunikasi dengan kekuatan-kekuatan spiritual, sekaligus mampu membangun jaringan politiknya dengan para penguasa. Lebih jauh, bisa kita simak dalam lanjutan deskripsi itu. “Kami aman-aman saja di perairan pedalaman republik, di perairan kepulauan, di laut teritorial, di zona tambahan, di zona ekonomi eksklusif, di landas kontinen, di laut lepas, serta di kawasan dasar laut internasional luas wilayah kedaulatan republik, atau di luar perbatasannya yang sampai jauh. Istilah-istilah kesepakatan antarnegara tersebut sejak leluhur kami dulu sampai sekarang tak kami kenal tak mau kami kenal, karena kami menganggap seluruh laut di planet ini bebas seperti milik kami sendiri." Dalam pembicaraan bersama Media Indonesia, Rahmat mengaku bahwa menulis sastra berlatar sejarah akan lebih berbobot. Seperti dalam novel Gipsi Laut, ia susah payah menuliskan kisah perjuangan orang-orang laut di Riau pada kurun 1967-1968. Pada novel-novel sebelumnya, Rahmat pun sudah membuktikan sastra berlatar sejarah tidak kalah dengan sastra pop. Sang Gubernur jenderal (1976), Ratu Kalinyamat (1978), Para Pengawal Sultan Babullah (1989), dan Fatahillah, Pahlawan Kota Jakarta (1982). Itulah berkah yang didapat Rahmat sebagai orang yang sejak 1973 hingga 1980 bekerja sebagai pegawai di Dinas Museum dan Sejarah Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Apalagi ketika pada 1976 ia menjadi tim pendiri Museum Bahari yang kini berdiri di Pasar Ikan, Jakarta, tempat ia mendapat kesempatan mempelajari museum dan sejarah di sejumlah negara Eropa, seperti Norwegia, Swedia, Denmark, Belanda, Jerman, Inggris.

Monday, November 13, 2006

HASIL LOMBA MENGARANG CERPEN BETAWI TAHUN 2006

HASIL LOMBA MENGARANG
CERPEN BETAWI TAHUN 2006

Peserta Lomba Tingkat SD

Setelah dinilai tim juri SM Ardan, Jose Rizal Manua
dan Rahmat Ali, hasil Lomba Mengarang Cerpen Betawi 2006 yang diselenggarakan Perpustakaan Umum Pemda DKI (PERPUMBA) di Kuningan, Jakarta Selatan, cukup menggembirakan. Para pemenang nomor satu dari seluruh tingkatan (SD, SMP, SMA, PT dan Umum) bergiliran membaca karyanya di podium. Yang tampil pemenang pertama “Kisah Anak Tukang Becak" karya Hanafiah Khairunnisa, klas 6 SD. Ceritanya panjang. Tentang keluarga tukang becak. Pada suatu saat tanpa diduga tukang becak tersebut mengalami kecelakaan dan dirawat di rumah sakit terdekat. Malang tidak bisa ditolong lagi. Si bapak tukang becak meninggal. Si tokoh gadis kecil yang yatim sejak itu lalu dengan gigih berjuang menghadapi hidup.
Tulisan-tulisan berwujud cerpen karya murid-murid SD lainnya cukup bagus. Semangat mereka tinggi di dalam mengikuti lomba. Biar tidak punya mesin tik apalagi komputer mereka tidak habis akal. Tulis tangan saja biarpun tidak jarang yang ureg-ureg bolpoinnya kurang jelas. Tidak ada koma tidak masalah. Di dalam berdialog tanpa tanda baca dan lainnya lagi pakai. Untungnya juri-juri mengerti. Cara menulis ceplas-ceplos tanpa beban. Ekspresip sekaligus impresip. Cerpen pemenang kedua: “Si Jay”, karya Nizaska Syaula Melati. Cerpen pemenang ketiga “Si Jampang”, karya Anindyawati Ratna Putri. Cerpen pemenang keempat “Si Doel", karya Zainal Mufidah Hasaan. Cerpen pemenang kelima “Juragan Boing” karya Umairah Nazifah.

Peserta Lomba Tingkat SMP
Jumlah peserta Lomba Mengarang Cerpen Betawi tingkat SMP 19 orang. Yang terpilih pemenang pertama “Kebaya Betawi” karya Kartika Laras Panduwati, tentang gadis sedang sewot mencari kebaya apa yang bisa ditampilkan untuk acara di sekolah. Nyaknya miskin, tidak memiliki apa-apa. Lalu berkilah. Dikatakan kebaya yang diinginkan sudah ada, tetapi mana, tetapi mana, tetapi mana— begitu selalu diuber pertanyaan putrinya. cara Kartika Laras membawakan kocak, cengkok Betawinya pas Pengetahuan busana Betawi, rinci. Para pendengar senang. Berlanjut lancar. Menjelang hari H-nya sang putri buka-buka lipatan pakaian di almari. Didapatkan kebaya nyaknya. Sudah lama tidak dipakai-pakai, kok cocok dengan yang diinginkan. Dari kesedihan menjadi kegembiraan. Cerpen pemenang kedua “Patime dan Jamal, karya Tamara Ayu Ekaputri. Cerpen pemenang ketiga, “Kontes Pendekar", karya WendeN X. Watulingas. Cerpen pemenang keempat, "Si Pitung" karya Zabra Shalimah. Cerpen pemenang kelima, “Petualangan Apin", karya Haris Pradhikto.
Peserta Lomba Tingkat SMA
Jelas tulisan-tulisan para siswa SLTA lebih mumpuni. Gayanya lebih maju. Ada yang seperti esei namun mengandung cerita hingga menarik sekali. Ada yang baik narasi maupun dialog langsung pakai dialek Betawi. Terlihat pada cerpen pemenang pertama “Gerak Hati Penari Ngarojeng” (mengisahkan seorang penari Ngarojeng yang sudah tenar lalu sering dikontrak sebagai penari latar. Selama dikontrak oleh impresariat tari dia mendapat honor lumayan, istilahnya “duit bergebok-gebok”, namun setelah itu dia sadar hanya dieksploitasi saja dengan menari gaya erotik vulgar. Maka dia kembali jadi penari Ngarojeng, salah satu jenis tari Betawi yang bersenibudaya, walau honornya amat kecil tidak seperti di nightclub. Cara bertuturnya dengan dialek Betawi cukup canggih dan kuat maka dari itu nilainya tertinggi). Cerpen pemenang kedua, “Namenye Juge Orang Betawi”, karya Tera Gayatri (kisah pasangan remaja Milah dan Ramdani mempersiapkan pentas budaya Betawi yang akhirnya memadu kasih diteruskan pernikahan). Cerpen pemenang ketiga “Damai itu indah”, karya Viola Surya Cipta, tentang Ali si Jujur di sekolah namun diirikan kawan kemudian difitnah. Cerpen pemenang keempat adalah “Piala” (tentang pemuda kriminal yang bolak-balik dipenjara hingga warga kampung selalu curiga dan waspada setiap keluar dari bui padahal setelah itu dia jadi orang baik-baik). Cerpen pemenang kelima adalah “Die Tetep Babe Gue” (tentang nasib gadis anak istri nomor buntut, jarang dikunjungi bapak dan toh selalu mendambakan bapak, sungguh trenyuh).

Peserta Lomba Tingkat Perguruan Tinggi
Karya-karya tulis berwujud cerpen dari kalangan ini lebih berbobot lagi sesuai latar pendidikan yang mereka miliki. Setelah diteliti lebih mendalam, ternyata yang menjadi pemenang pertama “Bang Udin Bule Kebayuran” karya Baridah seorang mahasiswi jurusan Ekonomi asal Cipulir. Ceritanya tentang anak Betawi yang benar-benar bule dulunya bernama Daniel kemudian setelah diangkat anak oleh Haji Husen diganti nama menjadi Udin. Panggilannya Udin Bule yang katanya anak haram. Ceritanya 14 halaman, kocak, fantasinya “gila"!
Cerpen pemenang kedua “Bukti Aye”, karya Sri Hastuti, tentang semangat tinggi seorang mahasiswi yang meneliti kemudian mementaskan hasil telitiannya di fakultas UI dengan sukses karena didukung pula oleh kawan-kawannya. Yang diteliti adalah sekeluarga seniman/seniwati lenong. Cerpen pemenang ketiga “Pengantin Sunat” karya Daisy Priyanti, tentang pernak-pernik bocah Betawi yang siap untuk disunat dengan segala upacaranya. Cerpen pemenang keempat “Aku dan Betawiku”, karya Nurhikmah, tentang bocah bernama Salim yang keluarganya seniman Ondel-ondel. Cerpen pemenang kelima adalah “Kisah kasih anak Betawi” karya Muh. Iwan Azhari, tentang percintaan sepasang pemuda yang penuh idiom-idiom lucu dan menarik.

Peserta Lomba Tingkat Kalangan Umum
Cerpen pemenang pertama berjudul “Senandung Hidup Nada-nada Tehyan” karya Zackir L. Makmur. Cerpen ini menguasai betul masalah interior kesenian Betawi terutama lenong di mana salah satu alat musik pengiringnya bernama tehyan, yaitu jenis biola khas Cina yang berdawai dan gema suara gesekannya ditampung oleh tempurung kelapa. Ceritanya digambarkan secara prosa liris. Misalnya ada metafora begini: ... ketika digesek penuh puitika perasaan, ati ikut bernyanyi. Enak didengar. Mempesona. Punya daya sugestif tersendiri. Cerpen pemenang kedua “Adat Kawinan Betawi, Masih Eksis?" karya Dahlia (esei yang 'bercerita' yang menyegarkan, lancar dan pembaca pasti terpikat untuk melanjutkan baca sampai titik terakhir. Cerpen pemenang ketiga “Ngejagein Kampung Ampe Linglung” karya Reno AZ, tentang meronda alias bertugas jaga selama siskamling, penuh rasa teror diancam maling yang sering membobol tanpa diketahui, pada akhirnya para peronda curiga ke seseorang (yang dicurigai bukan pemilik tuyul serta ada mau dengan seorang janda). Dia sebenarnya orang baik-baik yang justru pembina kampung. Cerpen pemenang keempat “Maen Mata Kena Borgol”, karya Widi Santoso, tentang perampok yang ditakuti menghadang Rukia atau Kia, untungnya diselamatkan Mat Gari hingga selamat dan akhimya kawinlah mereka berdua. Gayanya seperti ditektip Naga Mas tahun 1950-an yang penuh action). Cerpen pemenang kelima “Gara-gara Rendeman Kolor” karya Jibal Windiar, mengisahkan perjalanan cinta antara Mada dan Romlah yang sudah tiga tahun namun terhalang oleh ketidaksetujuan calon mertua lelaki. Terpaksa lari ke dukun minta jompa-jampi. Ada ungkapan seperti “Kaga kerase aer matenya jadi gerimis”. “Babenya kaga secuil pun rontok ame rengekan anak satu-satunye yang emas entu”. “Tung lipit tulang bawang siapa kejepit tunggu lubang nyam... Nyam”,)
Hadiah berupa piagam, buku dan uang ratusan ribu baru akan diberikan kepada para pemenang pada bulan September 2006 yad.

Jakarta 14 Jull 2006, RAHMAT ALI

Pelukis, Husni, Kebon Jeruk Jakarta-Barat