Thursday, March 30, 2006

Cerpen "Mata Blorong"

MATA BLORONG
Rahmat Ali


SARPAN sedang dihinggapi penyakit ingin cepat kaya: Padahal kondisi sebenarnya sangat berlawanan. Inilah payahnya.

"Repot suamimu, Minah," kata mentuanya. "Dia mulai ber­gaya pula. Hampir semua persoalan dikatakan beres. Malasnya makin menjadi jadi. Baru mau bangun kalau matahari sudah di tengah langit. Matanya merah geragapan. Memandang sepele mereka yang cari rumput. Mahunya apa? Setahun yang lalu dia kupuji. Tidak malu cangkul-cangkul di sawah lurah. Tiga anak­anakmu ditugaskan pula, mengembala selusin kambing dan dua kerbau. Lurah kita orang baik. Dia menghargai Sarpan yang rajin. Harusnya anak-anakmu tidak terlibat sekeras itu. Tetapi benar juga. Daripada main-main. Tidak menghasilkan apa-apa. Lumayan hasilnya untuk sangu lebaran mereka. Banyak faedahnya meng­awasi beberapa binatang ternak itu di padarig rumput dekat hutan sana itu. Dan sekarang, beberapa bulan kemudian, kenapa tiba-tiba terbalik. Sarpan jadi kelihatan dungu. Linglung. Tidak pedulian. Seperti tidak sedar kalau punya tanggungan keluarga. Kamu di­biarkan menghadapi tungku yang tidak pernah bernyala. Lalu anak­anakmu diumbar sampai sore di sungai. Hanya main-main melulu kerja mereka. Kerbau dan kambing-kambing lurah dibengkalaikan. Yang punya kelam kabut. Kamu yang kena damprat orang. Padahal tidak tahu apa-apa. Gara-gara Si Sarpan. Ke mana suamimu, Minah? Sudah seminggu tidak pulang-pulang. Berasmu habis. Tunggakan di warung menompok. Tidak terbayar-bayar. Hairan aku melihat kelakuan menantu yang begini. Apa jawapan, Minah?"

Apa yang dikatakan bapaknya benar. Sebagai anak perempuan satu-satunya, Minah tidak bisa menjawab. Tidak baik. Via harus tetap menghormati bapaknya. Dia tumpuannya. Pagi tadi Minah dan anaknya meninggalkan rumah Klayatan. Lalu bergabung kembali ke tempat orang tua. Malu. Dan sebenarnya tidak tega merepotkan. Dia sudah tua. Sudah capek memelihara anak. Kahwin ertinya pisah dengan orang tua. Bererti Minah harus sudah pandai mandiri. Hanya kenyataannya lain.

"Sudahlah, kang," pernah menyarankan suaminya Sarpan, "kita hidup ala kadarnya saja. Bukankah sudah punya anak. Mereka harta kita yang amat mahal. Nanti lama-lama kita juga bisa lebih senang."

Tetapi tidak demikian dengan jalan fikiran Sarpan. Dia lain daripada yang lain. Biar hidup di desa dia berfikiran jauh. Itulah sebabnya mentua Sarpan sering menuduhnya suka ngelantur. Ber­khayal yang tidak-tidak. Asal bukan untuk alasan yang dibuat-buat saja. Biar dikira sableng. Padahal sebenarnya sekadar menutup­nutupi kalau dia kahwin lagi. Biasa kehidupan lelaki di desa. Kalau sudah bosan kepada isteri lalu bertingkah aneh-aneh.

Apa ya, fikir mentuanya.
Nyatanya tidak. Mentuanya geleng-geleng. Minah makin sedih. Sedangkan Sarpan tetap tidak kunjung pulang. Sehari, seminggu, sebulan. Tidak nongol juga.

Sementara itu Sarpan di tempat yang lain sedang menghadapi kecamuk. Sebagai lelaki dia ingin dipandang lebih. Oleh siapa pun. Terutama di depan mentuanya yang duda itu. Orang tua ini baik. Dia sayang kepadanya. Tetapi Sarpan tidak mahu sekadar disayang­sayang mentua. Itu tandanya kalau dia lelaki lemah. Padahal Sarpan tidak mahu dianggap lemah. Dia ingin bisa memberi pakaian yang layak kepada anak-anak dan isterinya. Ingin membuatkan rumah yang kukuh clan gede. Ingin lain-lainnya lagi.

"Tidak usah dulu, kang," Sarpan sering ingat kata-kata isteri­nya. "Kita orang hidup di desa sudah diketahui ukurannya. Pondok bambu atap lalang ini sudah lumayan untuk kita bersama anak­anak. Sabar sedikit, kang. Pokoknya sampeyan tresno kepadaku."

"Ya, ya, Minah. Aku tresno padamu."

Sarpan senyum sendiri. Itu masa-masa bahagia yang sederhana, waktu Sarpan hanya berduaan dengan Minah di rumah nginap di rumah kakeknya. Kesempatan bagi Sarpan dan Minah saling mengudar rasa. Mengungkapkan keinginan-keinginan. Atau untuk selamanya menyumbat mancurnya hasrat-hasrat, kerana sudah tidak mungkin jadi kenyataan.

Bosan rasanya memikirkan nasib yang tak kunjung berubah. Toh renungan muncul di sebarang tempat di sebarang waktu. Kapan mujur dan jadi kaya? He, he, he. Betapa senang dijuluki sebagai orang yang serba kecukupan. Rumah gede. Lombong penuh. Ker­bau setiap tahun bertambah. Kambing dan ayam tak terhitung lagi. Seberapa pun wang dibutuhkan bisa bergemerincing dengan mulus. Mengalir tak berkeputusan. Para tetangga dan kenalan-kenalan pasti lebih sering berkunjung. Omong-omong sambil menikmati teh nasgitel. Dicampuri nyamikan ubi, jagung atau pisang rebus. Atau siang hari dia tidak lupa melambai mereka yang lewat depan rumah. Begitu tamu duduk Sarpan bisa langsung' teriak kepada Minah di dapur. Untuk cepat-cepat angkat nasi dan menghidangkannya di atas tikar berserta lauk-pauknya yang lengkap. Jangan lupa lalapannya, Minah. Sambal dengan air degan. Amboi, betapa sedap. Ah. Begitu kira-kira harapan Sarpan. Terhormat. Dipuji-puji, disegani. Tetapi mengapa sekarang tetap sebagai Sarpan yang dulu­dulu juga. Petani miskin. Isterinya membantu sebagai penumbuk padi di rumah lurah. Bahu sudah begitu capek menumbukkan alu ke dalam lumpang. Upah hanya tiga tempurung beras. Tidak seimbang. Tidak tahan hidup terus-menerus begitu keras. Aku harus mening­galkan keluargaku, demi kebahagiaan mereka, keputusan Sarpan. Dia lalu menghilang. Tanpa pamit. Berbulan-bulan tidak memberi khabar.

Tahu-tahu Sarpan sudah di atas trak barang. Kerja sebagai kenek pembantu yang belum ngerti apa-apa. Dengan cepat belajar bagaimana harus gantikan oli, ngisi air radiator dan memasang atau nyopot kabel aki. Rupanya tidak begitu sukar. Waktu hujan dia harus buru-buru mendirikan tenda terpal di atas bak truk. Ke­ringatnya bercucuran. Rupanya lebih berat dari macul. Tetapi enak juga setelah terlaksana. Beras, gula atau terigu yang berkarung­karung aman dari titisan hujan. Sarpan sendiri nyenyak tidur di bawah tenda trak itu. Hangat. Kota-kota pantai di Jawa Timur makin sering dijelajahnya satu demi satu. Kemudian giliran Jawa Tengah. Kesempatan berikutnya Jawa Barat. Senang sekali.

Dengan sang sopir trak yang dilayaninya tiap hari Sarpan sering ngobrol. Hampir tentang segala masalah. Tentang berbagai lapangan pekerjaan. Tentang guru yang kurang mendapat perhatian, gaji sering lambat dibayar, murid-murid yang kurang ajar dan tidak
terkendali. Lebih enak jadi pedagang kelontong. Bikin warung di depan rumah. Harga-harga naik pedagang ikut naik. Tidak bakalan rugi.

"Itu hanya pandangan orang saja," jawab sopir menanggapi perkiraan Sarpan, bahawa jadi pedagang lebih enak dari guru, bahawa sopir lebih enak dari kenek. "Masing-masing punya tang­gungjawab, Kang Sarpan. Aku nyopir punya beban berat sekali. Harus bisa mengirimkan barang-barang pesanan sampai di tempat tujuan. Padahal di jalanan banyak sekali rintangan. Pada setiap pos tidak boleh diam. Selalu bayar, kang. Biar tidak begitu besar tetapi puluhan kali. Sudah berapa? Belum lagi kalau ban meletus, mesin mogok, atau macet kerana tabrakan antara kenderaan satu dengan lainnya. Ya, pokoknya menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya. Mahu apa sekarang? Jadi guru sudah diketahui umum bagaimana nasib mereka. Dan aku jadi sopir, umum sudah lebih tahu. Sudahlah, kang. Omong lain saja dah."

Sopir ini biar masih muda tetapi lebih banyak pengalamannya, fikir Sarpan. Berkat kerjanya tiap hari yang menglanglang dari kota ke kota. Juga lantaran pergaulannya dengan banyak orang. Cuba dulu-dulu Sarpan jadi kenek, barangkali sudah jauh berlainan hidupnya. Obrolan lalu pindah ke bidang lain. Yang banyak sangkutannya dengan nasib, peruntungan, hari-hari baik dan sebaliknya. Serta perempuan.

Tiba-tiba sang sopir tertawa ngakak. "Memang hari-hari baik kita, peruntungan dan kekayaan kita, banyak dipengaruhi perem­puan. Benar, kang. Makanya untuk sementara aku belum mahu kahwin. Payah. Menimbulkan banyak fikiran. Aku sekarang ingin bebas dulu. Sepuas-puasnya. Soal perempuan bisa dicari, kalau sekadar pemuas. Kakang lihat sendiri antara Surabaya sampai Rembang. Berderet. Belum lagi kalau trak kita meluncur di jalan lebar menuju Cirebon, terus menggelinding ke arah Jakarta. Bagaimanapun sama saja, kang. Maaf. Itu rahsia lelaki. Ha, ha, ha, ha."

Sarpan terdiam. Dia ingat isterinya di rumah. Hanya sepintas. Ingat anak-anak dan mentua. Juga hanya sepintas. Kemudian mencuba hanyut lagi dalam obrolan. Sementara itu mesin tetap menderum. Sekali-kali klakson melengking.

"Kang Sarpan, sudahlah. Tidak usah pusing-pusing mikir. Apa adanya saja. Sehari dapat dan habis dimakan sudah lumayan. Kalau mbah-mbah kita dulu mungkin lain. Mereka banyak percaya kepada hal-hal yang tidak nyata. Tetapi kerana yakin betul akhirnya jadi kenyataan juga. Seperti nunggu telur Nyi Blorong. Bersemadi di pinggir Laut Kidul. Toh hasil juga. Bukankah hal begitu tidak masuk nalar? Zaman sekarang tidak mungkin, kang. Ya dari kerja keras kita menabung sedikit-sedikit. Beli cincin, beli kalung untuk perempuan di rumah. Lain kali beli berikutnya. Begitu cara menompok harta. Atau dijual setelah beberapa hari dibeli."

Sarpan tetap Sarpan. Tidak lama kemudian penyakit lamanya kambuh. Malas-malasan. Teledor tidak isi air radiator. Oli mesin kecampur sabun. Sopir marah besar. Sarpan akhirnya minta diting­gal di Jakarta saja. Tinggal di Priok. Hidup sebagai pengurnpul kaleng-kaleng bekas dan besi-besi tua. Tiap hari keliling kampung. Masuk halaman-halaman rumah orang. Belakangan dia pindah di Depok. Ikut orang pegawai Pea Cukai yang wangnya banyak. Sarpan diangkat sebagai tukang kebun. Tanah yang luas dipacul sendirian oleh Sarpan. Biasa baginya, seperti di desa Klayatan dulu. Kalau kerjaan selesai di perintahkan ke kota cari bibit tanaman serta pupuk-pupuk yang diperlukan. Sarpan mulai berkenalan dengan kereta Jabotabek. Selalu periuh. Segala lapisan masyarakat tumplek di dalam gerbung. Pada berdiri semua di dalam ruangan yang sangat pengap. Tangan-tangan mereka tergantung. Mereka semua menyandarkan nasib pada kereta Jabotabek. Wajah-wajah yang tegang itu sudah tidak asing ditatap Sarpan. Waktu pintu tersorong otomatis kaki-kaki mereka segera, berlompatan keluar. Sementara itu yang mahu masuk juga bergegas mendorong ke dalam. Saling tidak mahu mengalah. Setelah di dalam gerbung para penumpang yang baru pada repot cari gantungan tangan.

Kehidupan keras semua, fikir Sarpan makin yakin. Di mana ada laut yang ganas di Jakarta, fikirnya kemudian, masih di dalam kereta. Ancol. Ya, Ancol, jawabnya sendiri. Majikannya memberi Sarpan sangu banyak untuk beli bibit clan pupuk. Kesempatan Sarpan tidak mahu pulang ke Depok. Dia ingin beli karcis masuk Ancol. Dia segera turun di Kota. Ikut oplet jurusan Priok. Berhenti di hujung Gunung Sahari. Di situ dia mulai jalan. Hanya sebentar. Lalu tiba di depan loket. Dia jalan lagi. Mampir di Pasar Seni beberapa jam. Lihat seniman-seniman membuat gambar di atas kulit kambing. Mengagumi mereka yang mencukil-cukil kayu sawo. Mereka dapat duit lumayan dari pekerjaan itu. Tanpa susah-susah naik Jabotabek. Tanpa terdesak-desak. Mereka kerja di tempat yang terbuka. Enak begitu. Ah, nasib mereka lebih baik, fikir Sarpan.

Dengan wang majikannya yang lumayan Sarpan memasuki restoran yang lapang dan segar. Dipesannya lauk-lauk yang lazat. Juga bir. Malamnya kebetulan ada tontonan. Di tengah pasar, Sarpan menikmatinya di tengah para pengunjung lainnya yang berjubel. Dan tengah malam dia sulah di pinggir pantai. Dia menolak gangguan-gangguan cewek yang sudah berkali-kali datang. Malam itu dia ingin memahami Laut Ancol lebih akrab. Dia lihat kelap-ke­lip kapal di kejauhan di tengah laut. Mengapa tidak turun hujan lebat dan laut Teluk Jakarta tidak mengamuk dengan ganas? Sayang. Andai kata lautnya ganas seperti yang di Pelabuhan Ratu. Hanya angin sepoi yang melandanya. Memberinya sedikit dingin yang tidak bererti.

"Aku datang lantaran panggilanmu, Nyai Blorong," kata Sar­pan pelan-pelan. ,

"Aku sudah bersenang-senang. Sekarang aku mau bersusah­susah. Aku ingin membersihkan diri. Lantaran ingin menemuimu, Nyai Blorong. Menemuimu di Pantai Ancol ini. Aku yakin biar ombak di sini tidak besar, tetapi kamu ada. Segera timbul dari te­ngah laut. Lalu memberiku nasihat-nasihat. Agar aku bisa pulang kampung dengan nama baik. Ah, kukira kau tetap nyai yang baik. Tiap hari matamu mengikuti perjalananku. Matamu terus mengin­tai. Tanda yang baik bagiku. Maka pada kesempatan ini aku ke tepi laut. Agar bertemu mata dengan mata. Mata Sarpan dengan mata Nyai Blorong."

Seketika cewek-cewek menjauh mendengar ucapan Sarpan. Orang bisa jadi macam-macam setelah masuk Ancol, fikir si cewek. Lebih baik cari lelaki yang hanya mahu menghamburkan wang dan berasyik-asyik. Daripada melayani mereka yang sinting­sinting. Bukan hanya sekali dua kali orang lalu senewen di pinggir laut. Pernah ada yang ketemu Mariam si penjaga jambatan Ancol. Pernah juga seorang insinyur jadi sebleng. Dan sekarang giliran lelaki yang bicara sendirian itu. Baikan kabur ke tempat lain. Sarpan tidak peduli kepada gunjingan cewek. Tidak ambil pu­sing. Dia meneruskan bicaranya.

"Kamu mahu apa, Pan? Kaya, terkenal, dihormati, disanjung­sanjung dengan harta yang bertompok-tompok tanpa korupsi? Ba­gus, bagus. Tidak sukar yang harus kamu kerjakan. Asal mahu."

"Jelas aku mau, Nyai Blorong. Mau, mau. Aku sudah me­nunggu-nunggu petua darimu. Terima kasih, terima kasih." Sebenarnya Sarpan hanya mendengar angin yang sepoi. Lampu kapal tetap kelap-kelip di kejauhan. Tertawa cewek-cewek malam sekali-kali mengejek di balik pohon-pohon kelapa.

"Aku senang mendengar tertawamu yang meriah itu, Nyai Blorong. Katakan apa yang harus kukerjakan. Sekarang juga aku sudah siap melaksanakan perintahmu."

"Ya, ya, ya. Aku katakan. Begini. Kamu kumpulkan batu-batu putih dan bakar di tungkumu di rumah Klayatan sana. Bagi setiap nyala yang besar kamu segera mendapat setompok emas. Bisa kamu tukar dengan barang apa saja yang jadi keinginanmu. Tetapi hanya selama tujuh tahun. Setelah itu kamu jadi milikku. Mengerti, Sarpan?"

"Mengerti, Nyai Blorong. Aku mengerti."

"Nah, pulanglah. Temui anak-anak clan isterimu. Kemudian kerjakan sendirian di tempat yang sunyi. Tidak boleh seorang pun tahu."

Sarpan seperti sadar. Dia tertawa sendirian. Dia lihat Ancol sudah sepi sekali. Restoran-restoran pada tutup. Kerusi-kerusinya sudah terbalik. Dia menyeringai keluar. Tukang-tukang sapu menoleh kepadanya dengan perasaan agak hairan dan aneh. Sarpan tidak juga peduli. Benarkah dia sudah bicara dengan Nyai Blorong? Menurut orang-orang tua ceritanya menyeramkan. Kalau sudah memperlihatkan diri bererti orang tersebut sudah mendekat ajalnya sendiri. Sarpan jadi takut. Mengumpulkan batu-batu putih tidak lain mencopoti tulang belulang anak-anaknya. Untuk dibakar biar tungku menyala lebih besar. Wah, wah. Celaka. Celaka. Tidak mau. Setelah tujuh tahun jadi milik Nyai Blorong. Tidak mau. Sarpan bagaimanapun tidak bersedia diperbudak oleh siapa Saja. Untung sadar dan cepat-cepat meninggalkan Pantai Ancol. Pantai itu menimbulkan fikiran yang tidak-tidak. Serba ngaco.

Sarpan lebih sedar lagi. Sudah tujuh tahun dia mengembara, tidak pernah pulang. Mungkin Nyai Blorong yang dibayangkannya semalam tidak lain Kala, dewa waktu di Jakarta. Dia menagih Sarpan, tidak seyogianya hidup di Jakarta secara santai-santai. Tiap orang harus punya pegangan tetap sebagai apa saja. Sopir juga pekerjaan mulai di samping kenek. Juga sebagai tukang kebun di rumah pegawai Bea Cukai di Depok itu. Tetapi Sarpan sudah mem­bawa lari wangnya untuk foya-foya di pantai Ancol. Bagaimana? Ah, Sarpan bingung. Tidak punya pendirian harus apa. Akhirnya diputuskan untuk kembali ke kampung. Klayatan di sana tanah kelahirannya. Di sana dia mulai tumbuh jadi manusia, dapat isteri dan anak-anak. Apa yang dicari lebih dari hidup sehari-hari yang biasa-biasa saja. Sudah dibuktikan ke Surabaya, ke Semarang, Cirebon atau Jakarta juga tidak punya perbedaan. Malah lebih re­koso. Lebih keras. Penuh risiko. Bisa-bisa sableng, sinting, urakan dan gila. Sarpan tidak mau. Atau mungkin itu sudah merupakan hukuman dari Nyai Blorong, yang matanya selalu mengintai dan menggoda iman manusia. Yang mempermainkan mimpi-mimpi Sarpan selama ini? Ya, Sarpan tidak merasakan. Tidak sedar lan­taran hipnotis mata Blorong itu sendiri? Benarkah sudah sejauh itu jiwa dan fikiranku terpengaruh, tanya Sarpan kurang yakin.

Yakin atau tidak sudah jadi kenyataan. Sedar atau tidak Sarpan sudah mengembara jauh, melupakan anak-anak, menjauhi isteri yang tidak tahu apa-apa, membikin gelisah mentua, menjauhkan jarak hubungan desa dengan dirinya'yang di kota. Apakah keisti­mewaan Jakarta sehingga dia tertarik, tersedot, terpental, dan hidup sendirian tanpa tujuan?

Sarpan lalu didera oleh petualangannya sendiri. Dia menangis. Dia dipermainkan mimpi yang disihirkan dari mata Blorong. Dia melihat tulang-tulang kaki anak-anaknya dipotong-potong. Lalu dijadikan kayu-kayu pembakar tungku kehidupan Sarpan yang tidak menentu. Bah: Dosanya. Dosanya melebihi Gunung Semeru. Maafkan aku, Minah. Ampuni suamimu.

Kala telah berubah jadi Siwa. Wajahnya menyeringai menatap marah terhadap Sarpan. Ketakutanlah dia. Bersembunyi balik bantal. Berteriak-teriak di dalam rumah kontrakan dari kardus di pinggir Ciliwung. Pulang, Sarpan. Lebih baik pulang ke Klayatan. Anak isterimu serta mentuamu masih mau menerima kedatangan­mu.. Daripada kamu jadi sampah tong-tong Jakarta. Kereta Jabotabek bukan tempatmu menyandarkan nasib. Kaleng-kaleng dan besi tua bisa melibatkan dirimu ke dalam pencurian dan pemalsuan besar. Pulang saja, Sarpan. Pulang masih jauh lebih mulia daripada mengais-ngais di Jakarta.

Gelaplah dunia di dalam rumah kontrakan Sarpan yang dari kardus di tepi Ciliwung itu, ketika Siwa telah berubah kembali jadi Kala. Lalu kembali lagi menjelma mata Blorong. Menyeringai mendelik. Mengedip-ngedipkan kegenitan. Kemudian seperti am­bles, bolong tanpa biji mata. Blorong jadi jerangkung. Berwujud kerangka tanpa daging. Menari-nari, berputar-putar di sekeliling Sarpan.
Sarpan tidak tahan. Dia p-ulang dengan bis. Kenapa aku jadi gila? Kalau dulu tidak pergi-pergi sudah lumayan hidupku di desa. Di Jakarta penuh Blorong. Mereka berwujud kawan-kawan yang jadi majikan, jadi bos, jadi cukong. Jadi tauke, bahkan koruptor­koruptor. Mereka bisa memperbudak diriku. Mereka bisa meme­rintahku jadi penipu. Dan Sarpan yang lupa bisa kaya sendiri, hidup dari tulang-tulang bangsanya.

"Minah, Minah," teriak Sarpan setiba di rumah. Isterinya ke­hairanan. Dia sudah tampak reyot, tua, kurang makan, penyakitan. Anak-anaknya juga kurus. Kurang gizi. Mentua sudah setahun meninggal. Tetapi tidak apa, fikirnya. Dia kembali untuk memben­tuk hal-hal baru, tidak mengulangi kesalahan-kesalahan lama. Sarpan tersenyum.

Horison

(Cerita Pendek ini dimuat di “Cerpen-Cerpen Nusantara Mutakhir” diselenggaran oleh Suratman Markasan. Di terbitkan oleh Dewan Bahasa dan Pustaka Kermenterian Pendidikan Malaysia, Kuala Lumpur 1991)

Cerpen "Kena Jaring"

Kena Jaring
Karya: RAHMAT ALI

Menit demi menit berlalu. Dan, aku tidak tahu apakah aku bisa sampai di kantor tepat pada waktunya. Sangat malu kalau ter­lambat. Padahal program seharian bakal penuh. Sudah berjanji mau menerima tamu. Tiga surat penting harus cepat-oepat di­kirimkan kepada Gubernur. Lalu aku harus menandatanga:ni usul kenaikan pangkat anakbuahku. Habis itu menghadiri rapat bulanan dengan Kepala Personalia. Bertumpuk benar tugas­tugasku.
Biarpun demikian aku masih belum bernasib baik. Toh fasilitas yang sedikit menyegarkan rupanya berlalu saja dari de­pan hidungku. Rnmah dinas tidak dapat. Yang ada kontrakan di kampung. Apalagi mobil yang bernomor merah. Jemputan saja tidak. Jadi tiap hari aku menggunakan pengangkutan umum. Romantik dan dinamikanya berada di atas roda partikelir ini amat menarik bagiku.
Ada dua rute perjalanan yang kutempuh tiap hari. Pertama dari Ragunan ke Kebayoran. Ini dekat. Yang membawaku adalah jenis mikrobis warna manggis. Biar sudah rongsokan cukup lin­cah juga. Dalam lima belas menit sampai di Kebayoran. Aku segera antri bis yang lebih besar. Inilah rute kedua. Blok M - Kota. Yang membawa adalah perusahaan bis SMS warna biru. Dari jenis Greyhound bikinan Amerika. Biarpun kencang tetapi lama juga. Memang jauh. Biasanya aku turun di Beos, depan stasiun kereta. Dari situ aku tinggal jalan sebentar ke kantor.
Di daerah Kota memang bertumpuk kantor-kantor peme­rintah, bank-hank serta perusahaan-perusahaan besar. Kebanyak­an pegawainya tinggal di Jakarta Selatan. Tidak heran bis SMS dipenuhi mereka. Paling laris. Dalam beberapa detik sudah penuh. Biar jumlah bis ditambah tetapi penumpang-penumpang yang harus dimuat masih belum habis-habis juga. Termasuk aku yang belum bisa naik.
Sekali pernah aku mengajak istriku ke kantor. Dengan bis yang padat itu. Sampai di rumah kembali dia jatuh sakit. Sejak itu kapok dan tidak mau ikut-ikut lagi. "Hati-hati, mas !" selalu pesannya tiap aku meninggalkan rumah. Memang ngeri. Tapi itulah hidup. Waktu pertama kali aku menggunakan bis, empat tahun yang lalu, kurasakan badanku seluruhnya remuk-remuk. Terpaksa kuurutkan. Minum jamu godogan saban pagi dan ma­lam menjelang tidur. Sekarang sudah kebal. Tidak sakit-sakit, tidak lekas masuk angin.
Suara petugas DLLAJ melalui corong berkumandang : "Satu persatu, satu persatu!" Dan di pintu bis sang kondektur sibuk membagikan karcis. "Jangan tergesa-gesa, Bis saudara­-saudara masih banyak !"
Suara petugas hanya berkumandang, dan orang-orang tidak penduli. Mereka lebih menonjol dengan sifat-sifat individunya. Dengan hasrat-hasrat dan nafsu-nafsunya. Begitulah mereka be­rebut. Agar menguasai tempat terlebih dulu.
"Satu persatu, satu persatu!" pengeras berdengung lagi. Dan bis penuhlah.
Aku tidak mau menanggung resiko yang konyol. Seperti beberapa hari yang lalu, ketika terjadi kecelakaan. Seseorang sudah meloncat waktu bis belum berhenti. Padahal masih cepat­-cepatnya dari Kota. Dia meloncat dan salah injak. Terpeleset. Kakinya tergilas roda. Rupanya orang sudah lupa tragedi itu. "Tunggu sampai bis berhenti! Jangan tergesa-gesa!" Sekali lagi orang sudah lupa. Orang mulai melanggar lagi. Bahaya!
"Hati-hati, mas," mengiang pula suara istriku. "Ya, ya, ya. Aku harus hati-hati."
Sementara itu klakson-klakson berbagai bis dengan ber­macam-macam warna berkaok memasuki terminal Blok M, Ada pula bis yang selalu menggemakan lagu-lagu Melayu dengan irama dangdut, meriah. Tetapi yang paling menakutkan adalah kekasaran-kekasaran para sopir. Biar sudah di pelataran terminal belum juga memperlambat kekencangannya. Bis-bis itu hinggap seperti tawon. Berdengung dan memuntahkan penumpang-­penumpang dari Banteng, Grogol dan Kota. Lalu menjaring lagi: manusia-manusia yang sangat membutuhkan. Ke jurusan-jurusan yang mereka pilih.
Menit-menit yang terbuang semakin bertambah. Jarum jam menatapku tajam-tajarn. Aku sudah sangat terlambat. Berabe. Tiba-tiba aku seperti habis keselomat api. Mendadak, ketika untuk ke sekian kalinya bis hinggap, aku segera ikut-ikut terle­bih dulu meloncat.
"Lega sekarang!" kata seorang laki-laki sekitar 35 tahun yang juga telah berhasil meloncat dan duduk bersebelahan de­uganku. Aku terpaksa memberikan senyum sedikit. Manusia kota memang aneh, Biar sudah lama sering ketemu tetapi tidak mau juga saling kenal nama masing-masing. Kami lalu saling berdiam. Lebih untung aku, pikirku. Dapat di samping jendela. Terbuka pemandangan di luar. Yang bukan saja indah. Lebih dari itu. Berkelap-kelip waktu malam. Menggeliat-geliat waktu kepanasan siang-siang. Menggigil waktu kehujanan. Dan sekarang kulihat Jakarta sedang cantik-cantiknya berdandan. Dan nanti kalau sudah kepanasan segera menggeliat-menggeliat. Bisa lumer akhirnya.
"Tarik'." kondektur belakang mengomando. Sopir pun se­gera tancap gas. Bis terbang. Sejak itu mulailah drama-jiwa­manusia di atas roda.
Tidak jauh di depan kulihat beberapa penghadang memberi isarat. Bis direm. Penumpang-penumpang baru menyumbat pintu. Pada saat itulah seseorang menjerit dan aku menyaksikan seorang wanita hampir membentur kaca tetapi untung tangarmya cepat bertahan.
"Jangan dorong begitu, dong. Kek kasar benar sama wanita, Brengsek!"
"Kok marahnya sama saya. Lihat saja sendiri. Orang begini banyak mendesak dari pintu. Kalau nggak mau kesenggol jangan naik bis!"
Wanita itu merah padam, sedang pemuda yang marah karena dituduh sembarangan makin berkacak pinggang,
Kondektur depan menyeruak di antara para penumpang yang berdiri, "Ada yang belum dapat karcis?"
Beberapa orang terpaksa mengecek karcis-karcisnya yang sudah disimpan di saku atau diselipkan di ban arloji. Suara kon­dektur meneruskan : "Jangan ada yang belum dapat karcis. Nanti kalau ada pemeriksaan kondektur juga yang disalahkan polsus. Bisa dipecat!"
Dia balik ke pintu depan setelah orang-orang tidak ada yang menyahut. "Deplu, Deplu?"
Tidak pula ada yang menyahut. "Langsung!"
Sopir makin tancap gas. Angin menyerbit-nyerbit lewat jendela. Menyapu kepalaku yang berambut gandrong, Terdengar klakson yang beruntun. Di depan sebelah kiri ada helicak yang tidak mau minggir. Kondektur depan dan belakang tentu saja marah-marah.
"Bangsat, bosan hidup ya?"
Dan kondektur belakang menambah makian : "Ngentot kebo, lu!"
Sopir helicak blingsatan dan membanting tajam-tajam ke kiri.
Para penumpang yang dengar menunjukkan wajah terkejut. Sebagian orang yang menyaksikan kelucuannya tertawa gelak­-gelak. Kondektur belakang dan depan yang habis memaki puas­nya bukan main.
"Kembali saya mana?"
"Tadi uangnya berapa?" tanya kondektur.
"Seratus."
"Kok saya belum pernah terima ratusan dari ibu."
"Tadi, tadi? Yang kamu masukkan sendiri ke dalam ka­leng?"
"Lain kali bawa uang yang pas, bu. Sekarang jadi repot kalau sudah di dalam."
"Ya, tapi jangan berlagak pilon kalau tidak ditanya!" Karena yang dihadapi wanita kondektur itu tidak bilang apa-apa lagi.
Penumpang yang turun hanya sedikit. Di halte Komdak tambah lebih sepuluh orang. Beberapa dengan karcis di tangan menerobos pintu belakang. Kondektur belakang memanjat jen­dela. Tangan kirinya segera menuding-nuding : "Geser lagi ke dalam, pak. Belakang masih kosong. Itu mas yang berbaju kotak-­kotak. Geser sedikit, mas. Ya, ya, begitu. Dengan hormat bergerak sedikit ke belakang. Kasihan mereka yang di tangga. Sebangsa dan setanah air, mas!"
Pakai sebangsa dan setanah air segala. Hebat betul! "Geser ke mana lagi?" seorang laki-laki tua menggrundel. "Di atap bis 'ngkali," jawab orang sebelahnya.
"Sudah adu-pantat begini masih tambah terus."
"Duit. Sekali lagi duit."
"Tolong geser sedikit, pak. Geser sedikit!"
Memindahkan kaki saja sudah tidak bisa. Yang sudah enak-­enak duduk tidak akan ambil perduli. Biar wanita yang berdiri di samping tetap saja lelaki-lelaki yang duduk tidak bakal me­nawarkan jasanya. Jarak masih jauh dan orang perlu duduk. Mana mau berkorban? Kalau aku sendiri yang duduk di pinggir belum tentu berbuat lebih galan.
Tidak selamanya aku mujur dapat tempat. Sering kalah cepat. Tahu-tahu sudah penuh semua. Mereka yang sudah duduk pada menunjukkan kemenangannya. Aku blingsatan, Pernah karena sesaknya aku tidak dapat tempat biar berdiri sekalipun. Aku hanya berpijak beberapa senti saja di tangga pintu. Separo tubuhku berkibar dihembus bayu.
Hati manusiaku memprotes. Sungguh nikmat mereka yang duduk. Tenang. Tidak tegang memandang aspal-aspal keras yang tiap waktu siap menggores tubuhku. Gedung-gedung yang me­gah bersitegak sepanjang pinggir-pinggir Thamrin. Mungkin tahu nasibku di tangga bis. Matanya jeli memandangku. Iba, penuh kasih sayang dan juga penuh sinisme. Lampu setopan yang khusus memantulkan sinar kuning terus menerus memberikan peringatan kepada semua lalu-lintas agar lebih waspada. Lalu sirine mengaung-ngaung panjang. Tiga sepedamotor palisi mendahului di depan. Sudah itu sebuah sedan hitam dengan berben­dera meluncur sangat leluasa. Di belakangnya dibuntuti lagi pengawal bersenjata satu regu. Hidup sungguh nikmatnya. Se­mua mau. Aku juga mau suatu ketika bepergian dengan supir. Aku yang duduk di belakang menyedot cerutu sambil membaca. Sorga jalan raya!
Lamunan fantastis. Aku harus tahu diri sebagai pegawai pemerintah yang tidak dapat fasilitas-fasilitas istimewa. Aku terima. Aku bangga dengan bis kota.
Apalagi kalau sekali tempo tiba-tiba muncul gadis muda yang ayu. Seketika hilang itu bau-bau yang tengik. Yang tercium adalah wewangian dari bajunya yang tipis dan pendek. Kulitnya yang halus serta bibimya yang merekah basah, ditambah lagi dengan rambutnya panjang lepas-lepas dan menempel di dadaku. Dadaku ikut berderai dihembus romantika sekejap. Sayang si cantik lekas turun. Aku kembali menghirup bau-bau tengik dan penuh kekonyolan. Lebih keder lagi kalau orang lalu menginjak ujung sepatuku tanpa penyesalan. Sialnya, sialnya diriku. Per­nah sopir yang kuhadapi adalah yang sangat brutal. Dia selalu membelok tajam-tajam sampai oleng. Ngeremnya selalu dengan mendadak. Barisan penumpang yang berdiri, yang kebetulan se­dang tidak berpegangan, seketika pada roboh ke depan seperti batang pisang, Gila. Semua orang memaki. Tapi dia tidak bisa merobah cara menyopirnya. Karena pijakan gasnya tersendat­-sendat menimbulkan rasa mual bagi mereka yang jarang naik bis. Seorang perempuan yang berpakaian udik kulihat membongkokkan badan. Dia muntah. Seluruh makanan pagi berpindah ke lantai bis.
Kalau sudah begini terserah sopir, deh. Dibawa ke mana saja mau. Asal tidak ditumbukan ke jembatan. Atau ditusuk­kan ke pagar pemisah jalan macam tahun yang lalu. Bis begitu mengebut hingga sukar dikendalikan. Dan menubruk pagar besi. Begitu kencangnya sampai bis tersebut menancap ke besi. Aku berdoa agar pagi ini tidak bernasib seperti sate ayam.
Aku sampai kenal betul mana pegawai yang turun di Mer­deka mana yang Harmoni dan Gajah Mada. Bahkan sampai kepada copetnya aku tahu. Dia selalu berpakaian lebih parlente dari pegawai biasa macam aku. Orang tidak bakal mengira. Dan kalau dia sudah meloncat dari bis baru orang yang kehilangan jadi ribut mencari siapa malingnya. Tidak akan ketemu. Dan tasnya sudah teriris silet. Tentu saja aku tidak mau ikut campur. Aku tahu para pencopet selalu main pisau. Aku masih terlalu sayang kepada jiwaku. Toh juga sama-sama cari makan.
Aku tersadar dari lamunanku ketika dari arah sopir ter­dengar orang teriak-teriak mengejutkan : "Kebakaran, kebakar­an l"
Memang kulihat jelas asap mengepul. Orang tidak berpikir lagi dan berebutan cari selamat. Setelah terbebas di luar kujum­pai beberapa orang yang kepalanya benjol, orang yang tangannya bcrdarah lataran terjepit, lalu wajah-wajah wanita yang pucat dan gemetar.
"Kita ganti bis lain saja," kata seorang gadis.
"Ayok, aku sendiri ngeri deh."
Penumpang berkurang separo. Lainnya menunggu perkem­bangan selanjutnya.
"Apa yang telah terjadi?" tanya seseorang.
Aku termasuk penumpang yang sok ingin tahu. Aku pergi ke tempat sopir yang mulai dikerumuni.
"Karung sialan," teriak sopir akhirnya. "Siapa yang me­naruh karung di atas kabel aki? Ternyata goni ini yang terba­kar."
"Buset! Buset!" kandektur-kandekturnya ikut mengumpat. Seorang penumpang menongol dan bertanya ke arah sopir, "Jalan lagi, bang?"
"Ayok!"
Dan sisa penumpang yang masih cinta kepada SMS warna biru masuk lagi ke dalam. Bebas, leluasa dan tidak berdesak­desakan.
"Kota, Kota!" kondektur belakang dan depan berpromosi. Aku mengambil tempat dekat jendela. Biar sudah sangat terlambat aku tersenyum lega. O, bahagianya!

(Cerpen ini adalah pemenang kedua sayembara Kincir Emas 1975, dari buku "Dari Jodoh sampai Supiyah", penerbit Jambatan, Jakarta 1976).

IN HET NET GEVANGEN

/Rahmat Ali

Minuten gaam voorbij. Ik heb geen idee of ooir nog op tijd op kantoor kom. Bij de gedachte allen al voel ik me opdelaten. En dat terwijl mijn programma vandaag overvol is. Ik heb een afspraak mer een aantal mensen. Er moeten zo snel mogelijk drie belangrijke brieven naar de Goeverneur de deur uit. Ik moel een promotievoorste; voor paar van mijn personeelsleden ondertekenen/ En dan moet ik de maandelijkse vergadering met de Chef Personeelszaken. Werkelijk heel wat dat ik doen moet.
Maar ondangks alle verantwoordelijkheden die ik drang, ben ik bepaald nog niet in goeden doen. Alle faciliteiten die het leven wat aangenamer maken, gaan mijn neus kennelijk altijd voorbij. Vooe mij geen dienstwoning, maat een gewoon huurhui in de kampong. Laat staan een dienstauto een dienstauto kan er nict af. Dus moet ik iedere dag debruik maken van het openbaar vervoer. Maar door de romantiek en de dynamiek die ik daar tussen allerhandc ‘particuliere wielen’ tegenkom, ben ik bijzonder geboeid.
Iedere dag leg ik twee vaste routes af. De cerste van Ragoenan* naar Kebajoran. Dat is maar een klein eindje. Op die rit word ik door een soort minibusje vervoerd, paars als de schil van manggistans Een oude ik in Kebajoran. Daar stap ik snel op een grotere bus over. Dit is de tweede route. Van Blik M naar het centrum, Kota. Die tocht neemt het vervoersbedrijf SMS voor zijn rekening met bluewe Grehoundbussen van Amerikaanse makelij. Hoe hard ze ook racen, jet duurt endeloos. Maar het is ook een heel eind. Meestal stap ik uit hij Beos voor het station. Vandaar hoef ik dan nog maar een klein stukje lopen.
Inkota is het een opeenhoping van regeringsgebouwen, banken en grote bedrijven. En aangezien het meeste kantoorpersoneel in Zuid-Djakarta woont, is he niet verwonderlijk dan de SMS-bussen altijd stampvol zijn. In een paar tellen zijn ze afgeladen. En ook al arriveren er elk ogenblik nieuwe bussen, de stroom pascagiers endigt nooit. En daar behoor ik zelf ook toe want ik heb nog steeds geen plaats weten te bemachitigen.
Ik heb mijn vrouw wet eens mee naar kanttor genomen, Met die stampvolle bus. Toen ze weer thuis was, werd ze prompt ziek. Sindsdien heeft ze de schrik te pallen en wil ze noot meer mee. ‘Voorzichtig, Mas,’ bindt ze me op het hart als ik van huis ga.
En inderdaad, het is vreselijk. Maar zo is het leven,. Toen ik voor het cerst met de bus ging, nu vier jaar geleden, had ik na aflood he gevoel alsof mijn hele lichaam plat was geperst. Ik moest me wel laten masseren, en ‘s morgens en ‘s avonds voor het bed gaan kuidenthee drinken. Nu kan ik er tegen. Ik ben zelden ziek of verkouden.
De stem van een of andere vervoersfunctionaris schalt via de microfoon: ‘Een voor een!’ De conducteur is in de deuropenig druk bezig kaartjes uit te delen, ‘Niet dringen alstublieft. Er komen na ons nog andere bussen.’
De stem van de vervoersfunctionaris schalt voort zonder dat het tot de mensen doordringt. Die tonen zich zoals ze werkelijk ziin. Met al hun persoonlijke begerten en hartstochten leveren ze slag om maat het eerst een plaatsje te bemachtigen.
‘Een voor een,’ schlat de microfon opnieuw. En vol is de bus.
Ik heb geen zin onnodig risico te lopen. Zoals die man een paar dagen geleden die ban een rijdende bus sprong. En dat terwijl die in volle vaart uit Kota kwam. Hij gleed uit en kwam met zijn benen onder de wieten terecht. Kennelijk is men deze tragedie alweer vergeten.
‘Niet dringen alstublieft! Wachten tot de bus stilstaat!’
De mensen zijn alles alweer vergeten en maken weer dezelfde fout. Levensgevaarlijk! ‘ Voorzichtaig, Mas,’ klinkt de stem van mijn vrouw nog in mijn oren na.
‘Iderdaad, ik moet voorzichtig zijn.’
Ondertussen komen andere bussen in de meest schreeuwende keleuren luid claxonnerend het busstation van Blok M binnenrijden, daarbij soms ook nog Malesise liedjes met een opwinden dansritme via hun luidspreken ten gehore brengend. Maar het allerergste is het woeste rijden van chauffeurs. Ook al zijn ze op het terrien van het busstation, denk niet dat ze maar iets vaart minderen. Gonzend als bijen strijken de bussen neer om hun passagiers, afkomstig uit Banteng, Grogol en Kota uit te spuwen. Dan vissen ze een nieuwe lading mensen op die elkaart al staan te verdringen. En voeren hen in de riehting van hun keuze.
Steeds meer minuten gaan door zinloos wachten verloren. Ik houd de wijzers van de klok scherp in de gaten. Ik ben veel en veel te laat. Wat een ellende. Plotseling voel ik me als door een vuur neerstrijk, ren ik vliegensvlug mee en weet voor de anderen op de treeplank te speringen.
‘Wat een opluchting!’ zegt een man van een jaar of vijfendertig die ook met succes de sprong heeft gewaadd en nu naast me zit. Ik lach hem minzaam toe. Vreemde lui die stadsmensen! Ook al komen ze elkaar nog zo vaak tegen, elkaar bij naam en toenaam kennen willen ze niet. We zwijgen nu beiden. Ik heb meer geluk dan hij, denk ik. Ik zit lekker bij het raampje. Ik kan naar buiten kijken en van het uitzieht genieten. En dat is niet allen mooi. Meer dan dat. Bij avaond is Jakarta vol lichtjes. Overdag zinderend van de hitte. Bij regen ritlend van de kou. En nu zie ik hem in zijn mooiste tooi. Sraks puft hij weer van de warmte. Tot smeltens toe.
‘Optrekken,’ commandeert de conducteur op het achterste gedeelte van de bus. Onmiddellijk geeft de chauffeur planggas. En weg vlegen we. En dan begint het innerlijk drama van demens die zich aan de wielen heeft toevertrouwd.
Op straat niet ver voor me uit zie ik mensen een stopteken geven. Onze remmen gieren. Nieuwe passagiers doemen op in dedeuropening. Plotseling geeft iemand een gil en ik zie een vrouw keihard naar het raam schieten. Gelukkig weet ze zich nog met haar hende tegen te hoeden.
‘Niet zo dringen. Kan je wel tegen vrouwen. Stuk onbeschoft!’
‘Wel ja, geet mij de schuld maar. Kijk zelf nou eens hoeveel mensen er bij de deur binnendringen. Als je niet aangeraakt wilt worden, ga dan niet met de bus!’
De vrouw ziet rood van woede, terwijl de jongeman gepikeerd een steeds grotere mond opzet.
De voorste conducteur wringt zich tussen de staande passagiers door, ‘ Allemaal voorzien?’
Noodgedwongen halen een paar passageier de kaartjes opnieuw te voorschijn, die ze al in hun zak of onder hun horlogenbandje hadden weggestopt. De stem van de conducteur de klos. Hij kan door de politie op staande voct worden ontslagen’
Wanneer niemand antwoord geeft, gaat hij terug naar de ingang: ‘ Deplu, Deplu?’
Niemand hoeft er uit bij het ministerie van Buitenlandse Zaken.
‘Doorrijden.’
De chauffeur geeft weer planggas. De wind waait door het raam en strijkt langs mijn half lange haar.
Pltseling een doordringend getoeter. Links voor ons rijdt een heltjak, een tor ‘taxi’ omgebouwde bromfiets, die niet opzij wil. Dat wekt de woede van beide conducteurs.
‘Rotzak, levensmoe?’
En de ander er onmiddellijk overheen: ‘Karvouwescheet!’
Van schrik gooit de chauffeur van de helitjak met een ruk het stuur om.
De passagiers die het horen kijken elkaar geschokt aan. Een paar schieten in de lach. De conducteurs voelen zich na deze scheldpartij bijzonder voldaan.
‘Krijg ik mijn geld nog terug?’
‘Hoeveel heb u dan gegeven?’
‘Honderd.’
‘Ik heb helemaal geen honderd gehad, Boe,’
Noe en of, daarnet! U hebt het zelf in uw trommel gedaan!’
‘Volgende keer met gepast geld betalen, Boe. Di is veel te lastig.’
‘U moet zich niet van de domme houden. U weet het drommels goed.’
Omdat hij met een vrouw te maken heeft, hondt de conducteur, verder zijn mond.
Er zijn maar weinig mensen die ultstappen. Bij de halte Komdak komen er weet meer dan tien bij. Een paar dringen met hun kaartje demonsratitief in de hand zelfs via uitgang naar binnen. De achterste condeuteuer klimt in het raam. Druk mer zijn linkerhand gebarend roept hij: ‘ Naar binnen dooor schuiven, mensen. Achterin is nog plaats. Jongeman in dat geblokte shirtje, opzij een beetje! Ja, goed zo! Wilt u allemaal naar achtern doorlopen! Denk aan de mensen op de trecplank. Een volk een vaderland, mensen.’
Wel ja, een volk, een vaderland. Haal de hele grondwet er maar bij! Sterk, joor!
‘Waar naartoe doorschuiven,’ bromst een oude man.
‘Naar het dak zeker,’ antwoordt iemand naast hem.
‘We staan al bil aan bil, en toch laden jullie er nog meer bij.’
‘Poen, altijd weer poen!’
‘Doorlopen alstublieft. Doorlopen!’
Onmogelijk nog een poot te verzetten. Degenen die lekker zitten, stoeren zich nergens aan. Al staat er een vrouw in hun buurt, geen man die over opstaan piekert. De rit is nog ver en zitten doet een mens goed. En wie jeeft zin zich op te offeren? Ik zou niet veel galanter zijn als een zitplaatsje te bemachtigen. Vaak leg ik het tegen anderen af. Voordat ik er erg in heb, is alles al bezet. Degenen die wel zo gelukkig zijn, kijken me triomfantelijk aan. En ik voel me opgelaten. Een keer was het zo vol dat ik zelfs geen staanplaats meer vond. Allen een paar centimeter treeplang onder mijn voeten. De helft van mijn lichaam wapperde buiten in de wind.
Als mens kwam mijn gemoed hier tegen in opstand. Die lui met een ziplaats kwamen er maar mooi af. Onbezwaard en doodbedaard zaten ze naar het asfalt te turen dat elk ogenblik mijn lichaam kon openscheuren. Misschien beseften de statige gebouwen aan weerskanten van Djalan Thamrin we, hoe beroerd ik er op de treeplang van die bus aan toe was. Hun grote ogen keken naar mij. Half ontroerd, half medelijdend mar ook cynisch.
Specialegele knipperlichten manen het verkeer voortdurend tot meer voorzichtigheid. Dan loeien er opeens sirenes. Voorafgegaan door drie motoren van politie zoef een grote zwarte slee met vlaggetjes op de bumper voorbij, in zijn kiezog gevolgd door gewapende bodyguaards. Wat een luizeleventje. Zo wil iedereen het wel. Zo wil ik ook nog eens naar kantoor. Met een chauffeur, en ik een sigaar rokend en lezend op de achterbank. Een hemel op aarde voor iedere weggebruiker.
Eee fantastisch idee, maar ik moet mijn plaats kennen. Ik ben maar een gewoon regeringsambtenaartje zonder speciale faciliteiten. Ik schik me in mijn lot. Ik ben er juist trots op dat ik gewoon met de bus ga.
Vooral af en toe als er een mooi meisje meegaat. Dan zijn ook meteen alle vieze luehtjes verdwenen. Je ruikt allen nog de parfum die uit haar korte dunne jurkje opstigt. Ze heeft een mooie glanzende huid, halfgeopende vochtige lippen en lang loshangend haar dat langs mijn borst strijkt. Bij zo’n vleugje romantiek begint mijn hart opeens sneller te kloppen. Jammer dat zo’n schoonheid er altijd weer zo snel uiat moet. Dan komen al die vieze onberstemde luchtjes weer in mijn neus. Nog erger wordt het wanneer iemand heel hard op mijn tenen trapt, en dat nog wel zondere excuus te vragen. Wat een pech, wat een ontzettende pech. Soms heb ik een heel woeste chauffeur die op twee wielen door de bocht scheurt en zo onverwacht emt, dat de staande passagiers die zich goed fasthouden, als pisangstammen door aan het schelden. Maar zijn manier van rijdenkan zo iemand nu eenmaal nie veranderen. Door al dat ruwegas geven worden mensen die niet vaak met de bus gaan, gauwmisselijk. Zo zag ik een vrouw in dorpskleren zich voorever bukken en overgeven, Haar hele ontbijt verhuisde naar de bodem van de bus.
In zo’n situatie ben je volslagen aan de buschauffeur overgeleverd. Waar je techtkomt doet er niet meer toe. Als de bus maar nier tegen een brugleuning botst of in de vangrails blijft steken zoals verleden jaar, toen een bestuurder door te hard rijden de macht oever izeren vangrails schoot dat hij als het ware op het ijzer werd vastgespietst. Ik bid dat ik deze dag niet als sate eindig.
Ik ken de meeste ambtenaren in de bus en weet precies waar, ze uitstappen. Wie bij Merdeka, wie bij Harmoni, en wie bij Djalan Gadjah Mada. Zelfs de zakkenrollers ken ik, Die zien er altijd veel netter uit dan gewong kantoormensen zoals ik. Dat is minder verdacht. En als de boosdoener al lang van de bus is gesprongen, gaat het slachtoffer nog eens woedend naar de dader op zoek. Vergeefse moeite. Wel is zijn tas mer een scheermes opengesneden. Maar daar bemoei ik me niet mee. Zakkenrollers staan snel klaar met een mes. En mijn leven is me nog telief. Bovendien...allemaat moeten we aan de kost zien te komen...
Ik schrik uit mijn mijmeringen ope wannerrt ik in de buurt van de chauffeur een geweldig gegil hoor: ‘Brand, brand!’
En inderdaad zie ik een dikke rookwalm opstijgen. Zonder zich verder een ogenblik te bedenken zoekt iedereen zich trappend en duwend een veilig heenkomen. Eenmaal in de buitenlucht kom ik iedereen weer tegen, een paar onde de builen, anderen met bebloede handen omdat ze bekneld hebben gezeten. De vrouwen zien doodsbleek en staan nog op hun benen te trillen.
‘Kom op, we nemen een andere bus,’ zegt een meisje. ‘Dit is me te eng.’
De helft van de passagiers verdwijnt. De anderen wachten op de dingen die komen gaan.
‘Wat is er eigenlijk precies aan de hand?’ vraag iemand. Ik behoor tot hen die er het fijne van willen weten, en du drom ik met de anderen om de bestuurder heen.
‘Die ellendige zak!’ schreeuwt de chauffeur. ‘Wie legt er nou een jute zak op de accu. Dat gaat toch zeker in de fik!’
‘Wat kaffeig! Wat een kafferstreek!’ kankeren ook de beide conducteurs.
Een passagier vraagt de chauffeur: ‘Gaan we weer?’
‘Kom op, we gaan weer.’ En het restantje passagiers dat de blauwe SMS-bus nog voor lief neemt, stapt weer in. De keer is er plaats te over en hoeven ze niet te dringen.
‘Kota, Kota!’ roepen de conducteurs vol vuur. Ik ga maar bij het raampje zitten. Al been ik veel en veel te laar, van louter opluchting moet ik lachen. Het is allemaal wonderwel afgelopen!

(Cerpen ini selain diterjemahkan di dalam bahasa Belanda juga dalam bahasa Indonesia dibacakan dan dipiringhitamkan oleh Radio Hilversum, Nederland, terikut pula cerpen-cerpen lainnya yang memenangkan sayembara Kincir Emas 1975.)


Wednesday, March 22, 2006

BIODATA


BIOGRAFI SINGKAT

Rahmat Ali dilahirkan di Malang, 29 Juni 1939. Alumnus Bahasa dan Sastra Indo­nesia FKIP Unair Malang (1960-1964) ini lalu mengabdi sebagai perwira marinir pada 1964-1973. Kemudian, dia ditransfer ke Pemda DKI (1973-1995) hingga pensiun awal.

Kegiatan tulis-menulis sudah digeluti sejak mengurus majalah Dian di SMA Bagian A di Alun-Alun Bunder Malang, 1958­1960. Sajak-sajaknya dimuat di koran lokal Trompet Masyarakat dan salah satunya pernah mendapatkan hadiah buku Priangan Si Jelita karya Ramadhan KH. (Redaktur koran: Supriyadi Tomodihardjo).

Sementara, cerpen-cerpennya juga dimuat di majalah Tanahair (semula bernama Terang Bulan), lalu Gelora (keduanya terbitan Surabaya). Selain cerpen, laporan kegiatan kesenian juga sering ditulisnya di majalah Antara. (majalah-majalah tersebut tidak terbit lagi).

Tulisan-tulisannya juga tersebar di Wanita, koran Hidup, Berita Minggu, Pedoman, Sinar Harapan (cerbung), Suara Pembaruan, Kompas, sajak-sajak di Budaya Jaya, Indonesia Raya (esai sejarah tentang "Meriam Si Jagur"), Intisari, Femina, Tomtom, Horison, Cadence (Association des Professeurs de Francais En Indonesie). Sajak-sajak berbahasa Prancis yang dihasilkannya antara lain "Cher7antuk", "Les7eunes Montagnardes", dan "La Belle Chanteuse de Rock" yang memenangkan hadiah di buletin Le Coq, CCF Jakarta, tahun 1986.

"Kena Jaring", cerpennya, memenangkan hadiah Kincir Perak Radio Hilversum dan diterbitkan dalam antologi Dari lodoh sampai Supiyah (Jambatan, 1975). Cerpen lainnya diterbitkan dalam antologi antara lain Guru, Pahlawan Tanpa Tanda Jasa (Ar­ies Lima, 1982), Lukisan Sekuntum Bunga (Rosda Bandung, 1985), Cerita Pendek Indonesia III (Gramedia, 1986), Cerpen-cerpen Nusantara Mutakhir (Dewan Bahasa dan Pustaka, Kementerian Pendidikan Malaysia, Kuala Lumpur, 1991).

Karya lain yang berdasarkan legenda adalah Cerita Rakyat Betawi I dan II (Grasindo, 1993), Sang Gubernur Jenderal (Gramedia, 1976), Fatahillah, Pahlawan Kota Jakarta (Cypress Jakarta, 1982) yang memperoleh penghargaan Yayasan Buku Utama 1983, Para Pengawal Sultan Babullah (Jantera Bakti,1983), Ratu Kalinyamat (Cypress Jakarta, 1985), Novi (Balai Pustaka, 1986), Baron Sakender (Mitra Gama Widya, 1998), dan Nyai Dasima (Grasindo, 2000), Negeri Surilang (grasindo 2001).

Rahmat Ali kini tinggal di Jakarta bersama istri, empat anak, dan empat cucunya. Hobi bertualang dan berenang tetap menjadi bagian hidupnya.

Tuesday, March 07, 2006

Sang Gubernur Jendral karya Rahmat Ali


DUA

SEMENTARA itu di suatu kerajaan yang jauh dari wilayah kraton Jayakarta. Terlihat sesosok tubuh kekar yang sedang termenung-menung seperti tidak ingat lagi siapa dirinya.

Dia tidak menyangka peronda-peronda itu datang dengan serentak dan demikian banyak. Dengan tiba-tiba beberapa orang dari mereka memberikan pukulan keras tepat pada tengkuknya. Pande Wulung nyelosor ke bumi. Begitu juga nasib kawankawannya yang lain. Bersamaan dengan itu menggelegarlah dari mulut mereka tawa yang keras. Pande Wulung dan kawan-kawannya sudah tidak sadar lagi. Tubuhnya diseret dan dimasukkan ke dalam tempat yang gelap.

Orang-orang yang tinggal tidak jauh dari tempat mereka disekap itu tentu tahu kalau ada tangkapan yang tidak lama lagi akan diadili ram ai-ramai seperti biasanya. Dan mereka yang tidak bisa melihat sinar terang di dalam kerangkeng itu kepengapan. Baunya apek. Tidak ada jendela. Hanya ada satu pintu besar di ujungnya. Pintu yang kuat dan digembok rapat-rapat.

Keluarga-keluarga yang tinggal tidak jauh dari rumah kerangkeng itu mulai bergunjing.
"Benar mereka orang-orang Surabaya?" salah seorang istri bertanya kepada suaminya yang baru kembali dari ronda.

"Pokoknya mereka bukan orang daerah kita. Mungkin juga Surabaya. Dan kalau dari sana tentunya mereka bermaksud jelek. Mereka sengaja mau menyelidiki rahasia Mataram. Tapi Mataram tidak mempunyai kelemahan. Ha-ha-ha. Baru saja sampai di desa yang paling depan mereka sudah ketangkap. Besok mereka akan tahu!"

Peronda yang sudah tiduran di samping istrinya itu tertawa lagi keras-keras.

"Tapi orang lain bilang bahwa mereka datang dari tempat yang lebih jauh lagi, kangmas;" istrinya mencoba meneruskan pembicaraan.

"Memang mereka ngotot mengatakan bukan orang Surabaya. Mereka datang dari arah barat sana. Pakaiannya sudah sangat lusuh dan compang-camping. Tapi mereka sehat-sehat nampaknya. Salah seorang sangat tegap. Itu sebabnya kami pukul yang paling besar lebih dulu. Dengan demikian amanlah negeri kita dari perusuh-perusuh yang bermaksud jelek."

Tidak lama kemudian terdengar suasana malam di desa itu. Suara gambang ditabuh lamat-lamat, diikuti tembang asmaradana seorang wanita. Malam pun berlalu.

Ketika Pande Wulung membuka mata dia heran melihat badannya sudah basah. Justru keheranan ini yang membuat orang-orang yang bersenjata lengkap tidak jauh dari dia menggelegarkan tawa lagi seperti kemarin. Seseorang dengan bejana air yang besar segera menggebyurkan ke arah Pande Wulung.

"Bangun, pahlawan!" teriak mereka mengejek. Pande Wulung mulai menyadari dirinya. Dia melihat ketujuh kawannya. Mereka juga baru sadar. Di mana mereka sekarang? Pande Wulung mengawasi sekitar. Dia tidak lagi di dalam rumah kerangkeng. Rupanya orang-orang tadi malam telah memindahkan mereka ke tempatnya sekarang. Tempat itu dikelilingi tembok-tembok tinggi. Pada beberapa sudut terlihat jeriji besi yang tertutup rapat. Beberapa ratus prajurit berdiri di atas tembok-tembok itu, menyaksikan ke bawah. Setelah diketahui Pande Wulung dan kawan-kawannya sudah siuman mereka yang tertawa-tawa tadi meninggalkan mereka. Seketika sepilah tempat itu untuk beberapa detik. Pande Wulung mengitari tempat itu dengan matanya. Sudut demi sudut ditataphya. Semua tembok tinggi, ada beberapa jeriji besi pada beberapa sudut, ada pula dua pintu besar yang ditutup dari luar. Pada salah satu tempat di atas tembok besar itu terdapat panggung kecil. Di situ duduk seseorang yang rupanya mempunyai kekuasaan di daerah itu. Dialah kemudian yang memberi isyarat kepada salah seorang bawahannya.

Orang-orang yang berdiri di atas tembok mulai bersorak. Pande Wulung dan ketujuh kawannya heran mengapa mereka tiba-tiba begitu bersemangat. Tidak lama kemudian salah satu jeriji besi dibuka dari atas dan seekor macan yang belang-belang mengaum. Tiba-tiba dua bekas perisai dilemparkan dari atas ke arah mereka, disusul ke2nudian dua bilah tombak. Pande Wulung menatap mereka yang melemparkan senjata-senjata itu dan mereka berteriak cepat-cepat untuk mengambil dan mempertahankan diri. Pande Wulung melihat kawan-kawannya. Mereka seperti terpaku. Tidak bisa bergerak dari tempatnya berdiri. Sedang macan itu dengan pelan tapi pasti makin mendekati mereka.

Pande Wulung tidak tahu pula apa yang harus dilakukan. Tapi kakinya sudah yakin melangkah ke arah tombak dan perisai di depannya.

Memang sering seperti ada kekuatan gaib dari luar memaksa mereka yang semula pemberani menjadi pengecut. Sebenarnya mereka bisa berbuat sesuatu, sehingga bahaya yang besar terhindar. Tapi justru terpukau ini mereka jadi patung hidup.

Apa yang harus dilakukan Pande Wulung? Dia bingung. Tapi dengan mendadak Pande Wulung mengeluarkan teriakan keras dan macan yang sudah dekat itu kaget dan lari ke belakang. Pada saat itu Pande Wulung menggenggamkan tombak yang satunya kepada seorang kawannya yang terpercaya. Dipungutkan pula sebilah perisai dan dipasangkan pada tangan kiri kawannya tadi.

"Kamu jaga di sini, Parta, melindungi kawan-kawan yang tidak bersenjata!"

Singkat saja perintah Pande Wulung, sementara dia sendiri mengambil posisi di luar kawan-kawannya yang menggerombol.

Macan itu seperti sudah tahu, bahwa salah seorang dari calon korbannya sudah mulai siap menyambut. Dia mulai mengaiskan kuku-kukunya pada tanah, demikian pula moncongnya mulai dihembuskan ke tanah. Ke mana saja Pande Wulung berjalan dia mengikuti dengan matanya yang kuning tajam. Tapi macan itu juga mulai menyadari bahwa serombongan calon korbar. yang lain menunggu di tempat lain. Mereka ini diam saja. Seperti pasrah. Tapi Parta yang sudah diserahi tombak mulai mendapatkan kepercayaan diri kembali. Ke mana saja langkah macan ke situ pula arah mata tombaknya.

Pande Wulung mulai yakin, bahwa macan itu lebih banyak memperhatikan kawannya. Jadi terang kalau dia tidak berhati-hati, kawan-kawannya akan jadi korban lebih dulu. Seekor macan yang sudah mengisap darah dan mencabik-cabik daging manusia biasanya makin buas. Ini jarang menimpa dirinya. Tapi dia yakin pula, kalau dia teledor, pasti hal itu bisa menimpa kawan-kawannya, mungkin pula dirinya sendiri. Tiba-tiba oleh gerak dia sendiri yang terburu-buru tangkai tombaknya yang dari kayu itu patah. Praktis tinggal mata tombaknya saja: Tepat pada waktu itu juga sang macan melompat ke arah kawan-kawannya. Bahaya. Dengan untung-untungan Pande Wulung menyambar puntung tombak itu dan dia terbang menyongsong macan.

Sang Gubernur Jendral karya Rahmat Ali (II)

DUA

SEMENTARA itu di suatu kerajaan yang jauh dari wilayah kraton Jayakarta. Terlihat sesosok tubuh kekar yang sedang termenung-menung seperti tidak ingat lagi siapa dirinya.

Dia tidak menyangka peronda-peronda itu datang dengan serentak dan demikian banyak. Dengan tiba-tiba beberapa orang dari mereka memberikan pukulan keras tepat pada tengkuknya. Pande Wulung nyelosor ke bumi. Begitu juga nasib kawankawannya yang lain. Bersamaan dengan itu menggelegarlah dari mulut mereka tawa yang keras. Pande Wulung dan kawan-kawannya sudah tidak sadar lagi. Tubuhnya diseret dan dimasukkan ke dalam tempat yang gelap.

Orang-orang yang tinggal tidak jauh dari tempat mereka disekap itu tentu tahu kalau ada tangkapan yang tidak lama lagi akan diadili ram ai-ramai seperti biasanya. Dan mereka yang tidak bisa melihat sinar terang di dalam kerangkeng itu kepengapan. Baunya apek. Tidak ada jendela. Hanya ada satu pintu besar di ujungnya. Pintu yang kuat dan digembok rapat-rapat.

Keluarga-keluarga yang tinggal tidak jauh dari rumah kerangkeng itu mulai bergunjing.
"Benar mereka orang-orang Surabaya?" salah seorang istri bertanya kepada suaminya yang baru kembali dari ronda.

"Pokoknya mereka bukan orang daerah kita. Mungkin juga Surabaya. Dan kalau dari sana tentunya mereka bermaksud jelek. Mereka sengaja mau menyelidiki rahasia Mataram. Tapi Mataram tidak mempunyai kelemahan. Ha-ha-ha. Baru saja sampai di desa yang paling depan mereka sudah ketangkap. Besok mereka akan tahu!"

Peronda yang sudah tiduran di samping istrinya itu tertawa lagi keras-keras.

"Tapi orang lain bilang bahwa mereka datang dari tempat yang lebih jauh lagi, kangmas;" istrinya mencoba meneruskan pembicaraan.

"Memang mereka ngotot mengatakan bukan orang Surabaya. Mereka datang dari arah barat sana. Pakaiannya sudah sangat lusuh dan compang-camping. Tapi mereka sehat-sehat nampaknya. Salah seorang sangat tegap. Itu sebabnya kami pukul yang paling besar lebih dulu. Dengan demikian amanlah negeri kita dari perusuh-perusuh yang bermaksud jelek."

Tidak lama kemudian terdengar suasana malam di desa itu. Suara gambang ditabuh lamat-lamat, diikuti tembang asmaradana seorang wanita. Malam pun berlalu.

Ketika Pande Wulung membuka mata dia heran melihat badannya sudah basah. Justru keheranan ini yang membuat orang-orang yang bersenjata lengkap tidak jauh dari dia menggelegarkan tawa lagi seperti kemarin. Seseorang dengan bejana air yang besar segera menggebyurkan ke arah Pande Wulung.

"Bangun, pahlawan!" teriak mereka mengejek. Pande Wulung mulai menyadari dirinya. Dia melihat ketujuh kawannya. Mereka juga baru sadar. Di mana mereka sekarang? Pande Wulung mengawasi sekitar. Dia tidak lagi di dalam rumah kerangkeng. Rupanya orang-orang tadi malam telah memindahkan mereka ke tempatnya sekarang. Tempat itu dikelilingi tembok-tembok tinggi. Pada beberapa sudut terlihat jeriji besi yang tertutup rapat. Beberapa ratus prajurit berdiri di atas tembok-tembok itu, menyaksikan ke bawah. Setelah diketahui Pande Wulung dan kawan-kawannya sudah siuman mereka yang tertawa-tawa tadi meninggalkan mereka. Seketika sepilah tempat itu untuk beberapa detik. Pande Wulung mengitari tempat itu dengan matanya. Sudut demi sudut ditataphya. Semua tembok tinggi, ada beberapa jeriji besi pada beberapa sudut, ada pula dua pintu besar yang ditutup dari luar. Pada salah satu tempat di atas tembok besar itu terdapat panggung kecil. Di situ duduk seseorang yang rupanya mempunyai kekuasaan di daerah itu. Dialah kemudian yang memberi isyarat kepada salah seorang bawahannya.

Orang-orang yang berdiri di atas tembok mulai bersorak. Pande Wulung dan ketujuh kawannya heran mengapa mereka tiba-tiba begitu bersemangat. Tidak lama kemudian salah satu jeriji besi dibuka dari atas dan seekor macan yang belang-belang mengaum. Tiba-tiba dua bekas perisai dilemparkan dari atas ke arah mereka, disusul ke2nudian dua bilah tombak. Pande Wulung menatap mereka yang melemparkan senjata-senjata itu dan mereka berteriak cepat-cepat untuk mengambil dan mempertahankan diri. Pande Wulung melihat kawan-kawannya. Mereka seperti terpaku. Tidak bisa bergerak dari tempatnya berdiri. Sedang macan itu dengan pelan tapi pasti makin mendekati mereka.

Pande Wulung tidak tahu pula apa yang harus dilakukan. Tapi kakinya sudah yakin melangkah ke arah tombak dan perisai di depannya.

Memang sering seperti ada kekuatan gaib dari luar memaksa mereka yang semula pemberani menjadi pengecut. Sebenarnya mereka bisa berbuat sesuatu, sehingga bahaya yang besar terhindar. Tapi justru terpukau ini mereka jadi patung hidup.

Apa yang harus dilakukan Pande Wulung? Dia bingung. Tapi dengan mendadak Pande Wulung mengeluarkan teriakan keras dan macan yang sudah dekat itu kaget dan lari ke belakang. Pada saat itu Pande Wulung menggenggamkan tombak yang satunya kepada seorang kawannya yang terpercaya. Dipungutkan pula sebilah perisai dan dipasangkan pada tangan kiri kawannya tadi.

"Kamu jaga di sini, Parta, melindungi kawan-kawan yang tidak bersenjata!"

Singkat saja perintah Pande Wulung, sementara dia sendiri mengambil posisi di luar kawan-kawannya yang menggerombol.

Macan itu seperti sudah tahu, bahwa salah seorang dari calon korbannya sudah mulai siap menyambut. Dia mulai mengaiskan kuku-kukunya pada tanah, demikian pula moncongnya mulai dihembuskan ke tanah. Ke mana saja Pande Wulung berjalan dia mengikuti dengan matanya yang kuning tajam. Tapi macan itu juga mulai menyadari bahwa serombongan calon korbar. yang lain menunggu di tempat lain. Mereka ini diam saja. Seperti pasrah. Tapi Parta yang sudah diserahi tombak mulai mendapatkan kepercayaan diri kembali. Ke mana saja langkah macan ke situ pula arah mata tombaknya.

Pande Wulung mulai yakin, bahwa macan itu lebih banyak memperhatikan kawannya. Jadi terang kalau dia tidak berhati-hati, kawan-kawannya akan jadi korban lebih dulu. Seekor macan yang sudah mengisap darah dan mencabik-cabik daging manusia biasanya makin buas. Ini jarang menimpa dirinya. Tapi dia yakin pula, kalau dia teledor, pasti hal itu bisa menimpa kawan-kawannya, mungkin pula dirinya sendiri. Tiba-tiba oleh gerak dia sendiri yang terburu-buru tangkai tombaknya yang dari kayu itu patah. Praktis tinggal mata tombaknya saja: Tepat pada waktu itu juga sang macan melompat ke arah kawan-kawannya. Bahaya. Dengan untung-untungan Pande Wulung menyambar puntung tombak itu dan dia terbang menyongsong macan.


(Cuplikan dari cerbung di Sinar Harapan tahun 1975/76 kemudian diterbitkan oleh Gramedia Jkt th 1976)

Sang Gubernur Jendral karya Rahmat Ali

SATU

TAHUN BARU 1619 dirayakan dengan meriah di kediaman resmi. Semua pejabat tinggi militer dan sipil datang bersama istri-istrinya secara berduyun-duyun. Suasana di dalam ruangan yang besar dan megah itu serba gemerlapan.

Musik pun mengalun, mengiringi para pembesar yang ngobrol-ngobrol tak berketentuan. Tentu saja para nyonya besar tidak ketinggalan berceloteh sambil memamerkan berlian-berliannya. Sekali-kali mereka lalu menyatukan diri dalam derai-derai tertawa yang panjang. Semua orang tampak bahagia malam itu. Siapa yang tidak, karena dalam beberapa tahun saja membuka usaha perdagangan - VOC telah kelihatan untung berlimpah-limpah. Jan Pieterszoon Coen sebagai Gubernur Jendral sudah tersebar keharumannya sampai di ujung Eropa sana. Terpuji sekali dia.

Upacara pesta mencapai puncaknya ketika berdentang dua belas- kali lonceng gubernuran. Semua hadirin berhenti sebentar mendextgarkan. Begitu selesai lonceng segera mereka teriak lebih gembira. Para nyonya besar dengan suami-suaminya berpelukan di tengah ruangan itu. Serentak pada saat yang bersamaan kapal-kapal yang sejak tadi tenang bersandar di dermaga pelabuhan segera pula membunyikan meriam-meriamnya ke . arah laut. Kapal-kapal itu penuh lampu-lampu hingga laut ikut benderang. Pemandangari ini menjadi sangat . indahnya dan orang-orang yang habis mengalami saat-saat yang berbahagia di dalam ruangan dansa gubernuran itu pada keluar satu persatu menyaksikan pelabuhan itu.

Sang Gubernur Jendral sudah menerima ucapanucapan selamat tahun baru dari para undangan. Dia mengajak para undangan tersebut lebih bersukaria lagi. Minuman-minuman keras dituangkan luberluber ke gelas yang bening. Dan isi gelas itu segera pula diregukkan ke dalam tenggorokan.

"Belum datang juga itu pangeran, Carpentier?" "Belum, Yang Mulia," jawabnya kepada Sang Gubernur Jendral.

"Biarlah kalau tidak mau. Pokoknya undangan sudah dikirimkan. Mari kita rayakan tahun baru ini lebih hidup. Kita keluar saja sekarang!"

Terutama Carpentier mengikuti perintah Sang Gubernur Jendral itu. Para pejabat lainnya dengan terpaksa mengikuti dari belakang. Dalam hati mereka memang tidak berani tinggal di dalam sementara atasannya sudah mengajak menikmati suasana taman di luar ruangan yang sudah panas itu.

Pakaian Sang Gubernur Jendral adalah pakaian kebesaran. Lengan bajunya ngepres dan bermotip kain renda. Krah baju tebal menggelembung hingga menutupi seluruh lehernya, juga dengan kain dari bahan rendaan yang bersusun. Rambutnya pendek potongan serdadu. Kumisnya melengkung diberati dengan dagu yang agak tebal. Pedangnya, yang seluruh sarung dan 15egangannya selalu berkilauan itu, tak henti-hentinya menjadi perhatian para nyonya besar yang berada tidak jauh dari Sang Gubernur Jendral ini. Pedang itu pedang emas. Pejabat-pejabat lain yang berada di bawahnya tidak berhak menggunakannya.

Ny. Eva Ment, istri Gubernur Jendral, seperti suaminya juga dirubung dan diikuti oleh istri para pejabat lainnya. Kipas-angin yang dikipas-kipaskan terbuat dari bulu merak yang indah.Pakaiannya yang dikenakan juga panjang berekor sampai menyapu lantai, seperti ekor merak, berwarna hijau muda. Jenis pakaian begini jadi mode pada abadabad tujubelasan dan hampir rata-rata istri pejabat memamerkannya pada malam-malam resepsi, apalagi di taman gubernuran waktu itu.

Sloki demi sloki sudah banyak yang diregukkan ke dalam tenggorokan para tamu. Terlebih Sang Gubernur Jendral sendiri. Pada saat itulah dia mengajak tamu-tamunya menaiki tembok benteng.

Tembok benteng itu cukup lebar untuk prajuritprajurit berdiri. Dan Jan Pieterszoon Coen sudah berdiri di atasnya sambil mengawasi sektor-sektor di luar benteng.

"Pemandangan di sini lebih indah lagi, Carpentier," katanya kemudian. "Tidakkah saudara lihat hal-hal yang lebih indah?"

"Memang demikianlah, Yang Mulia."
"Pada malam tahun baru 1619 ini aku berdiri di atas tembok bentengku yang hanya seluas 9000 meter lpersegi. Catatkanlah di dalam buku-buku kalian, bahwa tidak lama lagi aku segera meluaskannya lebih besar. Sebagai pembukaan ke cita-cita itu saksikanlah malam ini aku memberi tanda!"

Sang Gubernur Jendral dengan tidak disangkasangka lalu menyulut meriam yang berada di depannya. Meriam pun menggelegar dengan dahsyat. Pelurunya melayang melewati atap kraton Pangerkn Wijayakrama.

Para pengikut Sang Gubernur Jendral terperanjat bukan,kepalang. Lebih-lebih lagi prajurit-prajurit yang sebagian waktu itu sedang berjaga di posnya masing-masing di dalam benteng. Para prajurit kraton yang tidak jauh dari benteng Belanda itu juga terperanjat. Belum selesai mereka terheran-heran kedengaran lagi tembakan berikutnya. Dan tembakan-tembakan itu lewat lagi di atas atap kraton. Pangeran Wijayakrama terbangun- dari tidurnya dan memanggil Kyai Ganar.

"Kenapa semakin gila tindakan si Kapten Jangkung itu, Kyai Ganar? Apa dia menantang berperang? Aku sebenarnya sudah tidak sabar lagi kepadanya. Tapi sekali lagi tanyakan kepada Kapten Jangkung, apa sebab dia membuang-buang pelurunya sampai lewat atap kraton kita. Dia harus membayar denda atau menanggung resiko yang fatal."

Kyai Ganar malam itu juga datang ke Gubernur Jendral dan menyampaikan pesan.

"Maafkan aku, Kyai Ganar,' jawab Sang Gubernur Jendral. "Aku begitu terbuai di dalam pestaku. Kebahagiaan tahun baru tidak bisa kubendung di dalam jiwaku. Aku jadi mabok dan tidak sadar, ketika tanganku yang jahil ini menyulut meriam."

"Ada beberapa orang yang menjadi korban penembakan meriam tersebut, Kapten".

"Sekali lagi kukatakan aku lagi rnabok. Aku tidak sengaja, Kyai: Karena itu sampaikan maafku". Sang Gubernur Jendral lalu membayar seribu real. Tetapi sehabis membayar denda besok malamnya menembaki lagi ke arah istana Pangeran Wijayakrama. Inilah benih-benih permusuhan yang sengaja ditanam sendiri oleh Gubernur Jendral.

Beberapa minggu kemudian terdengar kabar yang' menggemparkan kraton.

"Benarkah kejadian itu, Kyai Ganar?" tanya Pangeran Wijayakrama kepada pembantunya yang setia pada suatu hari.

"Semua orang di Jayakarta ini tahu, Tubagus. Sayangnya hanya itulah. Orang-orang itu tertangkap. Tapi beritanya sudah tersebar luas, bahwa Kapten Jangkung hampir terbunuh". "Orang-orang Banten memang tidak memperdulikan benteng yang kokoh dan terjaga ketat, Kyai Ganar. Coba kalau penjaganya tidak tahu. Sudah jadi bangkai itu Kapten Jangkung yang sombong!" "Dan sejak sekarang kita harus lebih waspada, Tubagus", kata Kyai Ganar. "Biar bagaimanapun mereka yang di benteng menuduh kita yang mengirimkan pembunuh-pembunuh yang tertangkap itu".

"Soalnya orang-orang Banten dan kita sama juga, Kyai. Jadi kita siapkan saja pasukan kita. Daripada diserang lebih baik kita menyerang lebih dulu ke Benteng!"

Dan peristiwa itu terjadilah. Benteng Belanda diserbu dengan mendadak. Jan Pieterszoon Ccen melarikan diri dengan kapal penyelamat ke Ambon. Pangeran Jayakarta atau Wijayakrama berhasil dengan pasukannya menawan Carpentier, orang kedua setelah Gubernur Jendral. Tapi tidak lama kemudian datang lagi Jan Pieterszoon Coen dengan pasukan bantuannya sebanyak enam belas kapal. Kraton Pangeran Wijayakrama dibumihanguskan. Rakyat kacaubalau. Entah bagaimana nasib Pangeran Wijayakrama dan Kyai Ganar. Ada yang mengatakan mereka lari ke Pontang. Setelah itu tidak ada berita.

***


Sang Gubernur Jendral (I)

SATU

TAHUN BARU 1619 dirayakan dengan meriah di kediaman resmi. Semua pejabat tinggi militer dan sipil datang bersama istri-istrinya secara berduyun-duyun. Suasana di dalam ruangan yang besar dan megah itu serba gemerlapan.

Musik pun mengalun, mengiringi para pembesar yang ngobrol-ngobrol tak berketentuan. Tentu saja para nyonya besar tidak ketinggalan berceloteh sambil memamerkan berlian-berliannya. Sekali-kali mereka lalu menyatukan diri dalam derai-derai tertawa yang panjang. Semua orang tampak bahagia malam itu. Siapa yang tidak, karena dalam beberapa tahun saja membuka usaha perdagangan - VOC telah kelihatan untung berlimpah-limpah. Jan Pieterszoon Coen sebagai Gubernur Jendral sudah tersebar keharumannya sampai di ujung Eropa sana. Terpuji sekali dia.

Upacara pesta mencapai puncaknya ketika berdentang dua belas- kali lonceng gubernuran. Semua hadirin berhenti sebentar mendextgarkan. Begitu selesai lonceng segera mereka teriak lebih gembira. Para nyonya besar dengan suami-suaminya berpelukan di tengah ruangan itu. Serentak pada saat yang bersamaan kapal-kapal yang sejak tadi tenang bersandar di dermaga pelabuhan segera pula membunyikan meriam-meriamnya ke . arah laut. Kapal-kapal itu penuh lampu-lampu hingga laut ikut benderang. Pemandangari ini menjadi sangat . indahnya dan orang-orang yang habis mengalami saat-saat yang berbahagia di dalam ruangan dansa gubernuran itu pada keluar satu persatu menyaksikan pelabuhan itu.

Sang Gubernur Jendral sudah menerima ucapanucapan selamat tahun baru dari para undangan. Dia mengajak para undangan tersebut lebih bersukaria lagi. Minuman-minuman keras dituangkan luberluber ke gelas yang bening. Dan isi gelas itu segera pula diregukkan ke dalam tenggorokan.

"Belum datang juga itu pangeran, Carpentier?" "Belum, Yang Mulia," jawabnya kepada Sang Gubernur Jendral.

"Biarlah kalau tidak mau. Pokoknya undangan sudah dikirimkan. Mari kita rayakan tahun baru ini lebih hidup. Kita keluar saja sekarang!"

Terutama Carpentier mengikuti perintah Sang Gubernur Jendral itu. Para pejabat lainnya dengan terpaksa mengikuti dari belakang. Dalam hati mereka memang tidak berani tinggal di dalam sementara atasannya sudah mengajak menikmati suasana taman di luar ruangan yang sudah panas itu.

Pakaian Sang Gubernur Jendral adalah pakaian kebesaran. Lengan bajunya ngepres dan bermotip kain renda. Krah baju tebal menggelembung hingga menutupi seluruh lehernya, juga dengan kain dari bahan rendaan yang bersusun. Rambutnya pendek potongan serdadu. Kumisnya melengkung diberati dengan dagu yang agak tebal. Pedangnya, yang seluruh sarung dan 15egangannya selalu berkilauan itu, tak henti-hentinya menjadi perhatian para nyonya besar yang berada tidak jauh dari Sang Gubernur Jendral ini. Pedang itu pedang emas. Pejabat-pejabat lain yang berada di bawahnya tidak berhak menggunakannya.

Ny. Eva Ment, istri Gubernur Jendral, seperti suaminya juga dirubung dan diikuti oleh istri para pejabat lainnya. Kipas-angin yang dikipas-kipaskan terbuat dari bulu merak yang indah.Pakaiannya yang dikenakan juga panjang berekor sampai menyapu lantai, seperti ekor merak, berwarna hijau muda. Jenis pakaian begini jadi mode pada abadabad tujubelasan dan hampir rata-rata istri pejabat memamerkannya pada malam-malam resepsi, apalagi di taman gubernuran waktu itu.

Sloki demi sloki sudah banyak yang diregukkan ke dalam tenggorokan para tamu. Terlebih Sang Gubernur Jendral sendiri. Pada saat itulah dia mengajak tamu-tamunya menaiki tembok benteng.

Tembok benteng itu cukup lebar untuk prajuritprajurit berdiri. Dan Jan Pieterszoon Coen sudah berdiri di atasnya sambil mengawasi sektor-sektor di luar benteng.

"Pemandangan di sini lebih indah lagi, Carpentier," katanya kemudian. "Tidakkah saudara lihat hal-hal yang lebih indah?"

"Memang demikianlah, Yang Mulia."
"Pada malam tahun baru 1619 ini aku berdiri di atas tembok bentengku yang hanya seluas 9000 meter lpersegi. Catatkanlah di dalam buku-buku kalian, bahwa tidak lama lagi aku segera meluaskannya lebih besar. Sebagai pembukaan ke cita-cita itu saksikanlah malam ini aku memberi tanda!"

Sang Gubernur Jendral dengan tidak disangkasangka lalu menyulut meriam yang berada di depannya. Meriam pun menggelegar dengan dahsyat. Pelurunya melayang melewati atap kraton Pangerkn Wijayakrama.

Para pengikut Sang Gubernur Jendral terperanjat bukan,kepalang. Lebih-lebih lagi prajurit-prajurit yang sebagian waktu itu sedang berjaga di posnya masing-masing di dalam benteng. Para prajurit kraton yang tidak jauh dari benteng Belanda itu juga terperanjat. Belum selesai mereka terheran-heran kedengaran lagi tembakan berikutnya. Dan tembakan-tembakan itu lewat lagi di atas atap kraton. Pangeran Wijayakrama terbangun- dari tidurnya dan memanggil Kyai Ganar.

"Kenapa semakin gila tindakan si Kapten Jangkung itu, Kyai Ganar? Apa dia menantang berperang? Aku sebenarnya sudah tidak sabar lagi kepadanya. Tapi sekali lagi tanyakan kepada Kapten Jangkung, apa sebab dia membuang-buang pelurunya sampai lewat atap kraton kita. Dia harus membayar denda atau menanggung resiko yang fatal."

Kyai Ganar malam itu juga datang ke Gubernur Jendral dan menyampaikan pesan.

"Maafkan aku, Kyai Ganar,' jawab Sang Gubernur Jendral. "Aku begitu terbuai di dalam pestaku. Kebahagiaan tahun baru tidak bisa kubendung di dalam jiwaku. Aku jadi mabok dan tidak sadar, ketika tanganku yang jahil ini menyulut meriam."

"Ada beberapa orang yang menjadi korban penembakan meriam tersebut, Kapten".

"Sekali lagi kukatakan aku lagi rnabok. Aku tidak sengaja, Kyai: Karena itu sampaikan maafku". Sang Gubernur Jendral lalu membayar seribu real. Tetapi sehabis membayar denda besok malamnya menembaki lagi ke arah istana Pangeran Wijayakrama. Inilah benih-benih permusuhan yang sengaja ditanam sendiri oleh Gubernur Jendral.

Beberapa minggu kemudian terdengar kabar yang' menggemparkan kraton.

"Benarkah kejadian itu, Kyai Ganar?" tanya Pangeran Wijayakrama kepada pembantunya yang setia pada suatu hari.

"Semua orang di Jayakarta ini tahu, Tubagus. Sayangnya hanya itulah. Orang-orang itu tertangkap. Tapi beritanya sudah tersebar luas, bahwa Kapten Jangkung hampir terbunuh". "Orang-orang Banten memang tidak memperdulikan benteng yang kokoh dan terjaga ketat, Kyai Ganar. Coba kalau penjaganya tidak tahu. Sudah jadi bangkai itu Kapten Jangkung yang sombong!" "Dan sejak sekarang kita harus lebih waspada, Tubagus", kata Kyai Ganar. "Biar bagaimanapun mereka yang di benteng menuduh kita yang mengirimkan pembunuh-pembunuh yang tertangkap itu".

"Soalnya orang-orang Banten dan kita sama juga, Kyai. Jadi kita siapkan saja pasukan kita. Daripada diserang lebih baik kita menyerang lebih dulu ke Benteng!"

Dan peristiwa itu terjadilah. Benteng Belanda diserbu dengan mendadak. Jan Pieterszoon Ccen melarikan diri dengan kapal penyelamat ke Ambon. Pangeran Jayakarta atau Wijayakrama berhasil dengan pasukannya menawan Carpentier, orang kedua setelah Gubernur Jendral. Tapi tidak lama kemudian datang lagi Jan Pieterszoon Coen dengan pasukan bantuannya sebanyak enam belas kapal. Kraton Pangeran Wijayakrama dibumihanguskan. Rakyat kacaubalau. Entah bagaimana nasib Pangeran Wijayakrama dan Kyai Ganar. Ada yang mengatakan mereka lari ke Pontang. Setelah itu tidak ada berita.

***